Nasional

Bersifat Eksklusif, Gereja Manggarai Tolak Wisata Halal di Labuan Bajo

Oleh : very - Senin, 06/05/2019 11:08 WIB

Shana Fatina dilantik sebagai Direkur Badan Otorita Pengelola (BOP) Labuan Bajo, oleh Menteri Pariwisata, Arif Yahya, di Balairung Soesilo Soedarman, Gedung Sapta Pesona Jakarta, kantor Kemenpar, pada 15 Januari 2019. (Foto: ist)

Jakarta, INDONEWS.ID -- Gereja Katolik Manggarai pada dasarnya menghargai setiap upaya memajukan pariwisata di Labuan Bajo, Manggarai Barat, dan Flores pada umumnya melalui perluasan pariwisata. Namun, Gereja menolak dengan tegas wacara dan agenda pariwisata halal di Labuan Bajo, Manggarai Barat, Flores, Nusa Tenggara Timur.

“Wacana ini telah menimbulkan keresahan di kalangan masyarakat dan dapat menimbulkan konflik sosial yang pada gilirannya merusak perkembangan pariwisata itu sendiri,” ujar Adminstrator Apostolik Keuskupan Ruteng, Mgr. Silvester San dalam surat “Penolakan Wisata Halal di Labuan Bajo, Flores, NTT”, yang ditujukan kepada Direktris Badan Otorita Pengelola (BOP) Kawasan Labuan Bajo, Ibu Shana Fatina, Senin (6/5).

Surat tersebut juga ditembuskan kepada Kementerian Pariwisata RI, Gubernur NTT, Bupati Manggara Barat, dan Media Massa.

Gagasan pariwisata halal, menurut Mgr. Silvester San, bersifat eksklusif dan kurang menghormati kebhinnekan yang menjadi roh dasar negara Pancasila. Kemajemukan suku, budaya, agama yang membentuk Indonesia akan terganggu dengan adanya aturan dan tatakelola yang eksklusif.

“Pariwisata halal tidaklah sesuai dengan konteks kebudayaan lokal Manggarai dan kekayaan mayoritas masyarakat di wilayah ini. Padahal pariwisata yang sejati mesti berpangkal pada kekhasan dan kekayaan tradisi lokal,” ujar Mgr. Silvester San.

Karena itu, Gereja Katolik Manggarai merekomendasikan beberapa hal sebagai berikut. Pertama, pariwisata mesti berbasis pada budaya dan tradisi lokal, serta selaras dengan kelestarian alam dan keutuhan ciptaan (ekologi). Pariwisata kultural-ekologis inilah yang meneguhkan kebangsaan Indonesia dan memikat wisatawan dari seluruh Nusantara dan manca negara.

Kedua, Pembangunan pariwisata harus terarah kepada kesejateraan umum dan menghargai martabat pribadi manusia. Nilai-nilai kemanusiaan, kemajemukan, inklusivitas dan keadilan sosial mesti menjadi prinsip yang menjiwai seluruh kegiatan pariwisata.

Ketiga, pariwisata hars melibatkan masyarakat lokal baik dalam keuntungan ekonomis yang diperolah maupun dalam partisipasi dan pemberdaayaan orang-orang setempat dalam seluruh proses pariwisata. Jangan sampai masyarakat lokal hanya menjadi “penonton” dan bukannya “pelaku” pariwisata atau dalam istilah masyarat setempat “long ata lonto, lonto ata long”.

Keempat, dalam kaitan ini, perlu segera ditangani masalah-maslaah aktual di Labuan Bajo seperti marjinalisasi penduduk lokal melalui penguasan tanah oleh pihak investor, minimnya akses publik terhadap pantai-pantai, praktik mafia tanah, kekacauan dan konflik akibat sertifikasi tanah ganda dan lemahnya penegakkan hukum.

Kelima, persoalan-persoalan pariwisata di Labuan Bajo, Mangggarai Barat, dan Flores pada umumnya hendaknya diselesaikan berdasarkan hukum yang berlaku dan dalam semangat kearifan lokal, istilah masyarakat setempatnya “lonto leok, reje lele, bantang cama” atau musyawah mufakat yang mengedepankan prinsip keadilan, kejujuran, persamaan dan persaudaraan.

Seperti diketahui, wacana pariwisata halal di Labuan Bajo mengemuka setelah disosialisasikan oleh Direktur Badan Otorita Pengelola (BOP) Labuan Bajo, Shana Fatina pada 30 April 2019 lalu di Labuan Bajo, Manggarai Barat. (Very)

 

 

 

Artikel Terkait