Nasional

Tumbalkan Perempuan, ICJR Desak Pemerintah Reformasi Kebijakan Narkotika

Oleh : very - Rabu, 26/06/2019 13:01 WIB

Akibat dari tindakan penyiksaan terhadap para narapidana ini, Kepala Lapas Narkotika Nusakambangan berinisial HM pun akhirnya dicopot dari jabatannya.

Jakarta, INDONEWS.ID – Hari ini, Rabu, 26 Juni 2019, diperingati sebagai International Day Against Drug Abuse and Illicit Trafficking. Bertepatan dengan kesempatan ini, ICJR mendorong Pemerintah Indonesia untuk kembali mengevaluasi dan segera melakukan reformasi kebijakan narkotika yang ada.

“ICJR kembali mengingatkan Pemerintah Indonesia akan pentingnya reformasi kebijakan narkotika di Indonesia. Kebijakan narkotika yang selama ini hanya fokus pada kriminalisasi sudah terlalu banyak memakan korban, khususnya kelompok rentan seperti perempuan,” ujar Direktur Eksekutif ICJR, Anggara, melalui siaran pers di Jakarta, Rabu.

Anggara mengatakan, selama ini, kebijakan narkotika di Indonesia dititikberatkan pada UU Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika (UU Narkotika), yang masih sarat dengan nuansa kebijakan kriminal yang mengutamakan hukuman berupa pemenjaraan dan bahkan hukuman mati, dibandingkan dengan pendekatan kesehatan masyarakat. Sikap Presiden Joko Widodo yang mendeklarasikan "perang terhadap narkotika" di awal masa kepemimpinannya pun, juga memperburuk penanganan terhadap masalah narkotika di Indonesia.

“Langkah Pemerintah Indonesia untuk mengutamakan kebijakan kriminal dalam menyelesaikan problematika perdagangan gelap narkotika, jelas telah memakan lebih banyak korban, khususnya perempuan,” ujar Anggara.

Tercatat sampai dengan Januari 2019 berdasarkan data Direktorat Jenderal Pemasyarakatan, 5.579 (53%) narapidana perempuan yang ada saat ini dipenjara karena terbukti melakukan tindak pidana yang berkaitan dengan narkotika dengan tanpa adanya kekerasan. Data tahun 2000 sampai dengan 2018, ditemukan 22 kasus pidana mati yang terpidananya adalah perempuan, dengan 18 di antaranya dijerat karena tindak pidana narkotika. Sebanyak 4 dari 18 perempuan tersebut telah dieksekusi sejak tahun 2000.  

“Kegagalan sistem peradilan pidana untuk melihat kerentanan perempuan yang teribat dalam kasus-kasus narkotika karena adanya skema relasi kuasa di dalam masyarakat, yang pada akhirnya memengaruhi kebebasan perempuan untuk menentukan pilihannya, ditambah dengan kencangnya pengumandangan narasi ‘perang terhadap narkotika’ menjadikan perempuan yang terlibat dalam kasus narkotika harus menghadapi hukuman yang berganda dalam proses peradilan pidana yang dihadapinya,” ujarnya.

Berdasarkan data putusan pidana mati ICJR yang digunakan dalam penelitian "Menyelisik Keadilan yang Rentan: Hukuman Mati dan Penerapan Fair Trial di Indonesia (2019)" yang terdiri dari 100 putusan pidana mati dengan dokumen yang lengkap, 5 di antaranya melibatkan perempuan yang dijatuhi pidana mati karena terlibat kasus narkotika.

Dalam riset ICJR lainnya oleh peneliti Maidina Rahmawati, "Analyzing Fair Trial Aspect of Death Penalty for Drug Cases in Indonesia (Policy and Implementation: Special Cases on Women), ditemukan bahwa kerentanan-kerentanan perempuan yang selama ini diabaikan oleh sistem peradilan pidana yang ditunjukkan dalam beberapa kondisi seperti dalam kasus Mary Jane Veloso, Tuti Herawati, dan R.A Sriemoetarinivianti, dimana ketiganya adalah orang tua tunggal (single mother) yang sedang dalam kesulitan ekonomi dan datang dari keluarga yang kurang mampu.

Selain itu, dalam 5 kasus terpidana mati narkotika perempuan yang ditemukan, semua perempuan adalah korban eksploitasi oleh laki-laki: suami, pacar, tetangga, maupun bandar narkotika.

Kasus lainnya yaitu dalam seluruh kasus terpidana mati perempuan ini, juga ditemukan adanya pelanggaran hak-hak terhadap fair trial seperti hak atas penerjemah yang kompeten.

Menurut Anggara, kondisi dimana perempuan menjadi korban dalam penegakan hukum atas kasus narkotika ini, akan berdampak serius apabila jumlah narapidana narkotika perempuan terus bertambah mengingat saat ini problematika overcrowding di Indonesia masih belum teratasi.

Selain itu, kondisi Rutan dan Lapas khusus perempuan yang jumlahnya pun belum mencukupi sehingga pemisahan fasilitas belum dapat dilakukan dengan maksimal, dan belum terjaminnya pemenuhan hak-hak kesehatan reproduksi yang ada di Rutan dan Lapas.

Kondisi ini, menurutnya, akan terus terjadi apabila reformasi kebijakan narkotika tidak segera dilakukan dan diarahkan kepada pendekatan kesehatan dibandingkan penghukuman. Dalam keadaan sekarang, hal ini justru diperburuk dengan masih adanya semangat penghukuman melalui masuknya beberapa tindak pidana yang biasa dipakai menjerat perempuan ke dalam Rancangan KUHP. “Perempuan akan terus-menerus menjadi korban, mengingat kerentanan sosial dan budaya yang melingkupi perempuan sebagaimana telah dijelaskan di atas,” ujarnya.

Karena itu, Pemerintah, terutama Presiden Joko Widodo, yang pada Sidang Umum PBB ke-71 didaulat menjadi duta "He for She" dalam program "Impact 10X" diminta untuk memperhatikan kerentanan perempuan dalam kasus-kasus narkotika ini. Mengingat peningkatan akses kesehatan dan upaya mengakhiri kekerasan terhadap perempuan menjadi salah satu misi yang dibawa oleh duta "He for She".

“Pemerintahan Presiden Joko Widodo harus menunjukkan komitmen dan kesungguhannya dalam mengemban amanat tersebut, dengan merumuskan kembali kebijakan narkotika dan menghindari kacamata pidana dalam masalah narkotika, sehingga kebijakan narkotika yang baru akan lebih melindungi kelompok rentan khususnya perempuan dan menghentikan rantai kekerasan yang dilakukan oleh negara terhadap perempuan yang terlibat kasus narkotika,” pungkasnya. (Very)

 

Artikel Terkait