Nasional

Ombudsman Duga Kasus Baiq Nuril Rawan Malaadministrasi

Oleh : Ronald - Senin, 08/07/2019 08:35 WIB

Aksi solidaritas untuk Baiq Nuril (ist)

Jakarta, indonews.id - Ombudsman Republik Indonesia menduga adanya potensi malaadministrasi dalam penanganan kasus Baiq Nuril oleh Mahkamah Agung (MA). MA diduga mengabaikan Peraturan MA nomor 3 tahun 2017 Tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan.

"Sebagaimana diketahui bahwa pertimbangan ditetapkannya Perma nomor 3 tersebut karena ingin memberikan perlindungan terhadap warga negara dari segala tindakan diskriminasi yang merupakan implementasi dari hak konstitusional sebagaimana tertuang dalam Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945," kata Komisioner Ombudsman RI Ninik Rahayu di Bakoel Koffie, Jakarta Pusat, Minggu (7/7/2019).

Menurutnya, kaum perempuan memang rentan karena masalah diskriminasi gender. Bahkan di kepolisian ada unit Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) yang semestinya dapat membantu mendalami posisi dan kondisi kerentanan perempuan ketika berhadapan dengan hukum. Faktanya, dalam kasus Baiq Nuril belum mengindahkan dimensi gender dalam pengungkapan kasus kekerasan seksual yang dialami oleh korban.

"Maka Hakim sebagai garda terakhir penegakan hukum dalam mengadili kasus terkait perempuan dan anak, termasuk kasus Baiq wajib menggali dan mengoreksi yang telah dilakukan aparat penegak hukum sebelumnya terkait kerentanan akibat diskriminasi gender tersbut," jelas Ninik.
 
Hakim dalam memutus perkara tidak cukup mempertimbangkan tuntutan dan dakwaan yang dibuat oleh Jaksa sebagaimana kasus-kasus tindak pidana pada umumnya. Dalam kasus Baiq Nuril, hakim wajib menggali potensi kekerasan berbasis gender yang menjadi sebab peristiwa pidana itu terjadi.
 
"Hal tersebut telah termaktub pada pertimbangan Perma tersebut. Kewajiban negara untuk memastikan bahwa perempuan memiliki akses terhadap keadilan dan bebas dari diskriminasi dalam sistem peradilan” tegas Ninik.
 
Pada kasus Baiq jika dikaitkan dengan Pasal 1 angka 9 Perma No 3 Tahun 2017 adalah bentuk
relasi kuasa yang bersifat hierarkis dan merugikan. Dalam hal ini Baiq yang berada di posisi lebih rendah.
 
Pada kasus Baiq, posisi pelaku adalah atasan korban, maka dalam segala situasi korban
dikondisikan sebagai pihak yang tidak ada pilihan lain. Saksi korban adalah orang yang tidak memiliki kebebasan untuk melawan kehendak atasannya.
 
"Hakim yang mengadili perkara telah gagal menggali keberanian saksi korban dalam mengungkap kasus yang sulit terungkap ini," tandasnya. (rnl)
 

Artikel Terkait