Nasional

Puspaga, Solusi Norma Hukum dan Adat Perkawinan

Oleh : Tirto.p - Senin, 15/07/2019 15:10 WIB

Jakarta, indonews.id – Salah satu isu legislasi yang sedang menjadi tugas anggota DPR-RI menjelang masa akhir adalah Revisi UU Perkawinan No.1 Tahun 1974. Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) sebagai lembaga pemerintah yang diberikan tanggung jawab dalam mengawal isu ini, telah beberapa kali mengadakan forum diskusi yang melibatkan stakeholders terkait, baik itu LSM maupun swasta.

Pada perundangan tersebut, usia minimal bagi perempuan untuk menikah disebutkan adalah 16 tahun. Di Indonesia, umumnya anak pada usia 16 tahun belum selesai menyelesaikan masa wajib belajar atau lulus dari jenjang Sekolah Menengah Atas (SMA). Karena itu terdapat alasan yang cukup kuat mengapa usulan revisi UU Perkawinan menaikkan batas usia perkawinan menjadi 19 tahun.

"Di luar pertimbangan masa sekolah, dari sudut pandang kesehatan, anak usia 16 tahun lebih memiliki risiko dalam melahirkan seorang bayi. Risiko yang diperoleh mulai dari gizi buruk bayi seperti stunting, hingga menyebabkan kematian pada ibu atau bayi", ungkap Lenny Rosalin, Deputi IV Kementerian PPPA dalam sebuah kesempatan berdiskusi dengan media.

Sebagaimana diketahui, ciri khas warga negara Indonesia adalah taat pada beberapa norma yang berlaku dalam masyarakat, dalam hal ini norma hukum dan norma adat atau komunitas. Norma hukum tentunya mengacu pada UU Perkawinan, dimana nantinya akan mengatur usia minimal 19 tahun bagi anak yang akan menikah. Namun di sisi lain terdapat norma adat atau komunitas yang dapat mendorong terjadinya perkawinan anak di usia dini, yang mana akan bertabrakan dengan norma hukum.

Pada lingkungan adat atau komunitas tertentu dengan tingkat ekonomi dan pendidikan rendah, norma adat merupakan solusi bagi masyarakatnya untuk keluar dari masalah. Misalnya saja anak perempuan yang sebelum menikah merupakan tanggungan orang tua, ketika menikah akan menjadi tanggungan suami. Maka menikah dianggap sebagai solusi dalam mengurangi beban orang tua.

Terdapat juga suatu komunitas masyarakat di area Puncak, Bogor, yang berpandangan bahwa seorang anak perempuan dikatakan hina ketika diketahui belum menikah pada usia 16 tahun. Pandangan tersebut muncul karena anak perempuan yang belum menikah tersebut dianggap akan menjadi tambahan beban ekonomi orang tua untuk jangka waktu yang lebih lama.

Dari satu sisi kita tidak dapat mempersalahkan apa yang menjadi pemahaman norma adat yang berlaku di beberapa komunitas adat, mengingat pada umumnya norma tersebut bertujuan baik yakni menyelamatkan orang tua dari kondisi keuangan yang buruk. Walau demikian, anak menjadi korban dari pra-kondisi yang ada.

"Selama ini Kementerian PPPA bekerja dengan merangkul sebanyak mungkin tokoh berpengaruh. Sosialisasi tentang pentingnya memperhatikan kepentingan anak dilakukan kepada tokoh masyarakat, agama dan pejabat pemerintahan. Alhasil dengan adanya perubahan perspektif dari para tokoh berpengaruh, kebijakan mereka akan menggerus kultur adat yang merugikan anak", lanjut Lenny.

Salah satu wujud keberhasilan kampanye yang dilakukan Kementerian PPPA, khususnya Deputi IV Perlindungan Anak yang dipimpin Lenny, adalah mulai bermunculan kabupaten-kabupaten yang membuat kebijakan tentang perkawinan dengan memberikan syarat rekomendasi Puspaga (Pusat Pembelajaran Keluarga). Tanpa rekomendasi dari Puspaga, yang saat ini sudah tersebar di tengah masyarakat, perkawinan anak usia dini akan terhambat.

Puspaga dalam hal ini bekerja sebagai screening atau seleksi anak yang akan melakukan perkawinan. Jika yang mengajukan kawin tersebut di bawah umur, Puspaga tidak akan memberikan rekomendasi. Mengingat UU Perkawinan belum selesai direvisi, cara melalui Puspaga ini dianggap cukup efektif dalam menekan pertumbuhan perkawinan anak usia dini.

KPPPA menginisiasi 18 Puspaga pada 2016 sebagai layanan di bawah koordinasi Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak. Puspaga adalah sarana pembelajaran yang bertujuan meningkatkan kualitas kehidupan menuju keluarga sejahtera.

Diharapkan kapasitas keluarga meningkat dalam hal mengasuh, melindungi, dan menjaga hak anak lainnya. Pada Puspaga, tersedia tenaga profesi seperti psikolog, pekerja sosial yang paham konvensi hak anak dan sebagainya.Saat ini di Indonesia terdapat 115 Puspaga, 9 di Provinsi dan 106 di tingkat Kabupaten/Kota.

Artikel Terkait