Nasional

Cerita Tentang Simpang Lingkar Semanggi dan Instalasi Getah-Getih

Oleh : very - Kamis, 18/07/2019 16:10 WIB

Rudi S Kamri, pengamat sosial dan politik, tinggal di Jakarta. (Foto: Ist)

Oleh : Rudi S Kamri *)

PERNAHKAH Anda melewati jalan simpang lingkar Semanggi Jakarta ? Jalan itu dibangun oleh Gubernur Basuki Tjahaja Purnama dengan melingkari jembatan Semanggi untuk mengurai kemacetan lalulintas di seputar jalan Gatot Subroto dan Jalan Sudirman-Thamrin yang telah terjadi puluhan tahun tanpa solusi. Dan dengan cerdik BTP membuat terobosan untuk memberikan solusi dengan membangun jalan yang melingkari jembatan Semanggi tanpa mengurangi keindahan jembatan Semanggi sebagai landmark atau ikon kota Jakarta. Bahkan kehadiran Simpang Lingkar Semanggi terlihat semakin menambah keindahan ikonik penampilan jembatan Semanggi.

Dan lebih keren lagi biaya pembangunan Simpang Lingkar Semanggi tanpa sepeserpun menggunakan dana APBD atau BUMD DKI Jakarta. Dana pembangunan proyek tersebut didapat dari CSR sebuah perusahaan swasta yang mempunyai kaitan kegiatan usaha di Jakarta. Proyek ikonik tersebut akhirnya diresmikan dengan bangga oleh Presiden Jokowi yang didampingi oleh Gubernur Djarot pengganti BTP. Sejarah telah mencatat BTP telah meninggalkan warisan ikonik di Jakarta yang akan bertahan dan dinikmati masyarakat Jakarta pada kurun puluhan tahun ke depan.

Bagaimana dengan seni instalasi bambu karya seniman Jogja Joko Avianto yang diberi nama "Getah-Getih" ? Seni instalasi bambu ini pernah dibanggakan oleh Gubernur Anies Baswedan sebagai karya monumental anak bangsa. Makanya dengan bangga dan penuh aroma kebodohan dia memasang seni instalasi itu di bundaran Hotel Indonesia Jakarta. Pada waktu itu Anies membanggakan bahwa seni instalasi tersebut sebagai karya anak bangsa yang akan menjadi ikon kota Jakarta. Hasilnya ?

Dengan tidak mengurangi rasa hormat saya kepada seniman pembuatnya, menurut saya seniman kelahiran Jogja tahun 1976 itu telah gagal total menyampaikan pesan kepada publik melalui karyanya. Makna getah-getih yang berarti merah putih terlalu absurd untuk ditampilkan dari bentuk seni instalasi tersebut. Akhirnya publik mempunyai kesan beragam tentang karya seni itu. Ada yang bilang bentuknya seperti orang senggama dalam posisi miring dan banyak yang bilang bilang bentuknya seperti lengkuas raksasa. Dlsb.

Disamping itu penempatan seni instalasi tersebut menurut saya sangat tidak tepat. Pada saat ditempatkan di bundaran Hotel Indonesia yang merupakan ikon kota megapolitan dan apalagi di bawahnya terdapat stasiun sentral MRT, seni instalasi getah-getih tersebut nampak udik, kumuh dan terasing dari lingkungan sekitarnya. Sehingga penempatan seni instalasi bambu tersebut gagal total menambah keindahan ibukota negara. Mungkin kalau seni instalasi tersebut dipasang di Kebon Binatang Ragunan atau di halaman belakang rumah Anies mungkin lain hal.

Belum lagi anggaran Rp 550 juta yang didapat dari saweran BUMD DKI Jakarta terasa sangat mubazir untuk membuat sebuah karya yang ternyata hanya bertahan 11 bulan. Melalui "getah-getih" Anies telah menunjukkan dengan jelas ketidakmampuan dalam memberikan keindahan ikonik kota Jakarta. Disamping itu dia juga dengan sangat gamblang melakukan pemborosan anggaran yang sangat parah.

Pada saat tadi malam saya melihat pegawai sub dinas kebersihan DKI Jakarta melakukan pembongkaran seni instalasi tersebut kemudian membuang tumpukan bambu yang sudah rusak dan berjamur ke Srengseng, saya melihat seharusnya yang perlu dibongkar dan dibersihkan adalah nalar dan cara berpikir Anies Baswedan. Dia terlalu lama menjadi manusia pongah yang bekerja dan berbuat seenaknya.

Akhirnya membandingkan Simpang Lingkar Semanggi dan seni instalasi "getah-getih" seakan kita dengan jelas bisa membandingkan kualitas nalar dan kapabilitas antara BTP dan Anies. Sesuatu yang pada dasarnya memang tidak sebanding. Jauh..seperti bumi dan langit.

Selamat tinggal "getah-getih",

Terimakasih, karena engkau telah membantu kami menunjukkan dengan jelas betapa salahnya 58% rakyat DKI Jakarta dalam melakukan sebuah pilihan.

Salam SATU Indonesia

18072019

*) Rudi S Kamri, penulis adalah pengamat sosial politik, tinggal di Jakarta

Artikel Terkait