Nasional

Komunitas Cinta Budaya Tanah Air Serukan Persatuan Indonesia

Oleh : hendro - Rabu, 31/07/2019 07:30 WIB

Komunitas pecinta budaya tanah air saat menyerukan persatuan Indonesia di CFD Jakarta lalu.

Jakarta, INDONEWS.ID - Bertempat  di sekitar bundaran Hotel Indonesia, jalan Thamrin Jakarta Pusat, (28/7/2019)lalu, ramai oleh perempuan-perempuan berkebaya warna warni. Hari minggu yang adalah hari Car Free Day rupanya sekaligus diisi perayaan awal HUT RI ke 74, Agustus ini oleh berbagai kelompok yang dimotori oleh Komunitas Cinta Budaya Indonesia. 

Negeri ini yang telah berusia matang memang sudah waktunya memadamkan api dalam sekam. Api dimaksud adalah friksi, gesekan atau bahkan kemarahan yang tiada henti di udara medsos atas munculnya kelompok yang menginginkan negeri diatur oleh hukum Islam atau hukum syariah, dan mereka yang ingin bertahan dengan hukum nasional yang ada.

Secara lahiriah busana yang serba tertutup atau disebut hijab dengan varian ketertutupan bagian tubuh, telah menjadi bagian dari keseharian hidup kita, dimana pun. Dalam pergerakan politik, secara ekstreem kaum berhijab dianggap sebagai simbol kubu syariah, dan yang tidak berhijab di kubu yang lain. Meski pun banyak yang bersikap saling toleran dan berteman baik. 

Seiring sekawan, namun nyata-nyata, kelompok yang menginginkan ideologi lain itu benar adanya. Berbagai cara dilakukan untuk melawan berkembangnya niat itu. 

Yang paling tidak beresiko dan indah di atas "panggung" memang gerakan budaya. Kebaya atau baju etnik Indonesia, bukan hanya busana. Kebaya, sarung, tenun dan cita lainnya lebih merupakan statement. 

Pernyataan bahwa kita memiliki baju tradisional, kita tidak menghendaki pakaian yang menunjukan import budaya lain atau suatu tafsiran yang membelenggu eksistensi perempuan( versus budaya dominasi laki-laki).Upaya mempopulerkan tari-tarian, kain-kain khas daerah, dapat dibaca sebagai upaya untuk menandingi budaya "asing" yang terus menggempur ke-Indonesiaan, bahkan lewat invasi bahasa. 

Cara-cara ini dianggap lebih aman, lebih feasible, dibandingkan debat akidah atau substansi agama. Seberapa lama dan seberapa banyak api dalam sekam itu mampu padam? Kita memang belum cukup keberanian atau jangan2 belum punya cara menyelesaikan perbedaan cara berkeyakinan ini. Muncul kekuatiran, bukan tidak mungkin, akhirnya api konflik membakar sekam kesatuan bangsa.

Kini sudah sangat terasa inklusifisme mengoyak sila ketiga Pancasila. Perhatikan adanya perumahan-perumahan yang khusus diperuntukan bagi pemeluk agama Islam. Lalu ada kecenderungan ibu-ibu hamil mencari dokter kandungan wanita dan sulit memandang profesionalitas ginekolog laki-laki. 

Suatu trend yang tidak terjadi di dua dekade lalu. Gambar-gambar atlit yang berolahraga diblur dibagian karena dianggap mempertontonkan aurat. Ada baju berenang hijab ada kolam khusus perempuan. Perayaan Natal di mall-mall dikebiri. Sejumlah pantai yang dulu terbuka untuk umum, kini diminta untuk menjadi area yang terbagi khusus perempuan dan pria.

 Sejumlah pria menolak bersalaman dengan wanita. Terakhir, sempat ramai desas desus perubahan busana putri Pasukan Pengibar Bendera 17 Agustus lantaran tuntutan keyakinan. 
Semua gejala ini telah menimbulkan rasa tidak nyaman, pusing dan membuat repot kehidupan sosial kita. Pada gilirannya, keyakinan juga akan menimbulkan dampak yang lebih serius; misalnya menolak pembatasan jumlah anak di tengah keterbatasan sumber daya alam kita. 

Dan ini dilakukan oleh pemeluk sejumlah agama. 
Seharusnya hal ini bisa dibicarakan di atas meja. Mereka yang tinggal dan menjadi warga negara, harus paham bahwa apa yang selama ini menjadi milik publik dan untuk kepentingan bersama, biarlah tetap apa adanya.

 Semua dikembalikan pada aturan yang ada. Bagaimana pun hidup memerlukan keteraturan. Bangsa ini memerlukan kerjasama antara jenis kelamin, suku, dan agama dan lain sebagainya dalam perlombaan kreasi dan peningkatan kemampuan diri. 

Sayang bila waktu dan energi kita dihabiskan untuk mempersoalkan wilayah mana yang boleh dimasuki, busana apa, masjid yang mana, rumah yang mana, siapa dokternya. Tidak sedikit perempuan yang merasa tidak disetarakan dengan aturan yang seharusnya merupakan urusan pribadi. Seolah selalu ada "kelompok mereka" dan " komunitas kita".Mari kita berkorban untuk persatuan Indonesia. (Penulis Bunga Kejora, sosiolog)
 

Artikel Terkait