Nasional

Maraknya Razia Buku: Demi Stabilitas Ataukah Bentuk Pembodohan

Oleh : Rikard Djegadut - Kamis, 22/08/2019 20:30 WIB

Kiri-kanan: Moderator Diskusi, Halasan Simare-mare, Natalius Pigai mantan Anggota Komnas HAM RI, Miftah Fadhli, Peneliti di Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat, Rm. Setyo Wibowo, Dosen STF Driyarkara, dan Alfred Nabal, Pengurus Pusat PMKRI (Foto: Ist)

Jakarta, INDONEWS.ID - Merespon maraknya aksi razia buku di Indonesia dalam beberapa tahun terakhir, Pengurus Pusat Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI) melalui Lembaga Kajian, Penelitian, dan Pengembangan menyelenggarakan diskusi publik bertema “Maraknya Razia Buku: Demi Stabilitas ataukah Bentuk Pembodohan?” di Jakarta pada hari kamis (22/8).

Diskusi tersebut menghadirkan sejumlah narasumber antara lain Rm. Setyo Wibowo Dosen STF Driyarkara, Natalius Pigai mantan Anggota Komnas HAM RI, Miftah Fadhli, Peneliti di Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat, dan Alfred Nabal, Pengurus Pusat PMKRI serta Halasan Simare-mare selaku moderator diskusi.

Romo Setyo Wibowo dalam paparannya menyampaikan bahwa razia buku-buku berpaham kiri di Indonesia dinilainya tidak relevan jika melihat konteks sosial politik hari ini.

“Komunisme global sejatinya telah mati. Bahkan negara-negara seperti China dan Rusia tidak sepenuhnya berpaham komunis. China hari ini sistem politiknya komunis, tapi perekonmian mereka berwatak kapitalis,” papar Setyo Wibowo.

Ia menilai, yang harus diwaspadai hari ini adalah kebangkitan populisme dan ekstremisme kanan di Indonesia. Lebih jauh, Wibobo juga menyoroti pentingnya bagi generasi sekarang mempelajari sejarah masa lalu Indonesia secara benar, agar tidak mengalami kesalahpahaman tentang sejarah masa lalu dan tentang komunisme di Indonesia.

Sementara itu, Natalius Pigai menekankan pembredelan buku sebagai bentuk pembungkaman kebebasan intelektual di Indonesia.

“Untuk memerangi pembredelan buku, kita mesti dekat dengan buku. Giat membaca, giat menulis,” ungkap Natalius.

Miftah Fadhli dari Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) menunjukkan fenomena razia buku di Indonesia sebenarnya bukan persoalan hukum, melainkan dilandasi oleh persoalan politik.

“Peristiwa razia buku di Indonesia dilandasi oleh semangat untuk mempertahankan militerisme, dan menggiring kita kembali ke zaman orba,” ungkap Fadhli.

Untuk menghentikan aktivitas razia buku di Indonesia, lanjutnya, perlu dilakukan pencabutan ketetapan MPRS Nomor XXV tahun 1966.

Alfred Nabal, Pengurus Pusat PMKRI menyoroti pentingnya watak inklusif yang harus dimiliki oleh institusi negara. Ia juga mencontohkan beberapa negera seperti AS dan Inggris yang menjadi besar karena memberikan ruang yang luas bagi kebebasan inteletual melaui buku.

“Suatu negara menjadi besar karena instutusinya inklusif, terutama dalam hal kebebasan intelektual. Negara-negara besar seperti Inggris dan AS menjadi besar salah satunya karena sangat menghormati kebebasan intelektual,” imbuhnya.

Ia kemudian mengkritisi institusi negara yang hari ini semakin bersifat ekstraktif dalam hal kebebasan intelektual.

“Razia ilegal buku-buku di Indonesia dan pembiaran yang dilakukan pemerintah hanya menunjukkan watak ekstraktif bangsa kita yang takut dengan perubahan,” tegas Alfred.

Ia kemudian berharap, visi pembangunan sumber daya manusia dalam lima tahun ke depan betul-betul menjadi komitmen besar pemerintah dan masyarakat Indonesia.

“Jangan dilakukan setengah-setengah (membangun sumber daya manusia). Hal pertama yang harus dilakukan agar visi ini berhasil adalah dengan menindak tegas siapa pun yang melakukan razia ilegal buku-buku di Indonesia,” kata Alfred.

Alfred kemudian mengajak semua pihak turut mendukung petisi di change.org untuk menindak tegas para pelaku razia buku ilegal di Indonesia. Hingga saat ini, petisi ini ditandatangani oleh lebih dari 24 ribu orang dari berbagai kalangan.

Harapannya, petisi ini ditanggapi positif oleh pemerintahan Jokowi dengan mengambil langkah tegas bagi para pelaku sweeping buku di Indonesia.*(AN/Rikardo)

Artikel Terkait