Nasional

Soal Revisi UU KPK, Dua Poin yang Ditolak Jokowi Tidak Ada Dalam Draft

Oleh : Rikard Djegadut - Minggu, 15/09/2019 10:45 WIB

Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo (Foto: Ist)

Jakarta, INDONEWS.ID - Tingginya desakan masyarakat agar pemerintah menentukan sikap terkait rancangan revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi yang diusulkan Dewan Perwakilan Rakyat Indonesi membuat Jokowi membuka suara. 

Presiden Jokowi memberikan tanggapan sekaligus sikap terkait rancangan UU KPK yang diusulkan oleh DPR tepat menjelang masa akhir jabatan periode 2014-2019 dalam jumpa pers di Istana Negara, Jakarta, Jumat (13/9/2019). 

Jokowi mengaku menolak sejumlah poin dalam draf revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang diusulkan Dewan Perwakilan Rakyat itu. 

"Saya tidak setuju terhadap beberapa subtansi RUU inisiatif DPR ini yang berpotensi mengurangi efektivitas tugas KPK," kata Jokowi

Jokowi lalu menjabarkan empat poin revisi yang disebutnya ia tolak. Namun faktanya, hanya dua poin yang benar-benar ditolak oleh Kepala Negara. Sebab, dua poin sisanya yang ditolak oleh Jokowi memang tidak pernah ada dalam draf revisi UU KPK yang disusun DPR.

Pertama, Jokowi mengaku tidak setuju jika KPK harus mendapat izin penyadapan dari pihak eksternal. "Misalnya harus izin ke pengadilan, tidak. KPK cukup memperloleh izin (penyadapan) internal dari Dewan Pengawas untuk menjaga kerahasiaan," kata Jokowi.

Namun, dalam draf Revisi UU KPK yang diusulkan DPR memang tak ada ketentuan bahwa KPK harus mendapat izin pengadilan sebelum menyadap terduga koruptor. Dalam Pasal 12 draf revisi UU KPK, hanya diatur bahwa penyadapan dilaksanakan atas izin tertulis dari Dewan Pengawas.

Selanjutnya, Jokowi juga mengaku tidak setuju penyidik dan penyelidik KPK hanya berasal dari kepolisian dan kejaksaan saja. "Penyelidik dan penyidik KPK bisa juga berasal dari unsur Aparatur Sipil Negara yang diangkat dari pegawai KPK maupun instansi pemerintah lain. Tentu saja harus melalui prosedur rekrutmen yang benar," kata Jokowi.

Namun, lagi-lagi dalam pasal 45 draf RUU, memang sudah diatur bahwa penyidik KPK tak hanya berasal dari kepolisian dan kejaksaan, tetapi juga penyidik pegawai negeri sipil. Sementara, dua poin lainnya yang ditolak Jokowi memang diatur dalam draf revisi.

Pertama, Jokowi tidak setuju KPK harus berkoordinasi dengan Kejaksaan Agung dalam penuntutan. Poin ini diatur dalam pasal 12 A draf revisi UU KPK.

Terakhir, Jokowi juga tidak setuju pengelolaan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) dikeluarkan dari KPK dan diberikan kepada kementerian/lembaga lain. Poin ini juga memang diatur dalam pasal 7 draf RUU KPK.

Dengan mengaku menolak empat poin tersebut, Jokowi pun mengklaim bahwa revisi yang dilakukan bukan untuk melemahkan KPK. "Saya tidak ada kompromi dalam pemberantasan korupsi karena korupsi musuh kita bersama."

"Saya ingin KPK punya peran sentral dalam pemberantasan korupsi, yang punya kewenangan lebih kuat dibanding lembaga-lembaga lain," kata Jokowi.

Mirisnya, pengakuan Jokowi yang menolak empat poin revisi UU KPK itu langsung dikutip mentah-mentah oleh banyak media.

Melansir Kompas.com, situs resmi pemerintah seperti Setkab.go.id juga memuat pernyataan Presiden itu. Begitu pula dengan situs Setneg.go.id. Akun Twitter milik Kantor Staf Kepresidenan (KSP), @KSPgoid, bahkan mencantumkan infografik terkait empat poin yang ditolak Jokowi.

Infografik itu juga tersebar di media sosial. Presiden @jokowi Tolak Empat Usulan Revisi UU @KPK_RI oleh @DPR_RI.

Berita selengkapnya di https://t.co/U5FwvvNMUH #JokowiBersamaKPK pic.twitter.com/RbB5TTh8rG — Kantor Staf Presiden (@KSPgoid) September 13, 2019 Penyebaran informasi yang tidak akurat itu pun menuai kritik.

Apalagi, peneliti Indonesia Corruption Watch Adnan Topan Husodo menilai, pengakuan Jokowi menolak poin-poin revisi UU KPK itu didasarkan pada informasi yang tidak kredibel.

Ia mempertanyakan kenapa Jokowi menolak hal yang memang tidak diatur dalam RUU KPK.

"Ya berarti informasinya sendiri tidak kredibel, mosok informasi semacam itu dijadikan dasar membuat pernyataan resmi, memalukan Itu," kata Adnan kepada Kompas.com.

Peneliti ICW lainnya Donal Fariz curiga Jokowi disodori draf RUU KPK yang berbeda oleh Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly.

"Bisa jadi presiden disodori draf yang lain sehingga bisa kecolongan. Hal ini semakin mempertegas bahwa presiden harus tarik Menkumham dari pembahasan RUU KPK," kata Donal.*(Rikardo)

Artikel Terkait