Nasional

Malaikat KPK VS Elite Pinokio

Oleh : hendro - Selasa, 17/09/2019 09:55 WIB

Istimewa

Jakarta, INDONEWS.ID - Algorithme big data, “kebetulan” 63 tahun lalu, 13 Agustus 1956 Menlu Ruslan Abdulgani hampir ditahan oleh Pangdam Siliwangi Kol AE Kawilarang di bandara Kemayoran atas dakwan gratifikasi oleh Dirut Percetakan Negara Pier de Queljoe.  Karena Menlu akan mewakili Indonesia untuk konperensi di London, PM Ali Sastroamijoyo sempat menelpon KSAD Mayor Jendral A H Nasution untuk membebaskan Menlu dari pencekalan. 

Dalam kasus itu ikut terkait mantan Menpen Syamsudin Sutan Makmur (dari kabinet burhanudin Harahap Masyumi) dan wakil dirut Lie Hok Thay, Percetakan Negara didirikan sejak 1809 dan pejabat terasnya masih penerus struktur Hindia Belanda dan baru akan diambil alih  Desember 1957 setelah kabinet Ali II itu jatuh dan negara dinyatakan dalam keadaan darurat perang oleh Presiden Sukarno 14 Maret 1957. 

Tempo bersampul Presiden dengan bayangan Pinokio mulai beredar di sosmed 13 Septembe 2019 dan versi cetaknya beredar 16 Sep 2019. Kasus Piet de Queljoe, Lie Hok Thay, Menlu Ruslan sangat “teri” karena hanya terkait gratifikasi US$ 10.000  (Kalau dikurs sekarang juga hanya Rp. 140 juta. Tapi dizaman Demokrasi parlementer liberal itu memang partai berkuasa (the ruling party) selalu saling menggunakan isu dan aksi anti korupsi untuk mendelegitimasi parpol lawan. 

Sistem  kabinet parlementer Indonesia diawali oleh kabinet presidensial Bung Karno pertama yang hanya berumur 87 hari dari 19 Agustus 1945 – 14 Nov 1945. Lalu diganti sistim parlementer dengan 2 PM dari Partai Sosialis berturutan yaitu Sutan Syahrir (PM termuda usia 36 tahun) dan Amir Syarifudin (politisi Kristen yang tragis setelah berhenti jadi PM terlibat pembrontakan PKI Madiun dan di eksekusi 1948.

PM Ke-4 adalah Wapres Mohamad Hatta memimin transisi kabinet RIS yang mengakui warisan utang Hindia Belanda US$ 1,2 milyar menjadi beban yang harus dilunasi dalam 7 tahun. Kabinet ke-5 ddan ke-6 dipimpin oleh M Natsir dan Sukiman dari Masyumi. Kabinet 7 dan ke-8 dipimpin Wilopo dan Ali Sastromijoyo dari PNI. Kabinet ke-9 adalah penyelenggara pemilu 1955 Burhanudin Harahap dari Masyumi yang jujur karena pemenang pemilunya adalah PNI dan Masyumi di  no2. Sebagai hasil pemilu Ali Sastroamijoyo tampil kembali jadi PM hasil pemilu 1956 pada 24 Maret 1956.

Sayang hanya setahun akan jatuh malah negara dalam keadaan darurat perang karena 15 Februari 1958 akan meletus pemberontakan PRRI Permesta dipimpin Syafrudin Prawiranegara (Menkeu yang menggunting uang pada 19 Maret 1950). Nah dalam suasana jatuh bangun parpol petahana dan oposisi itu sudah terjadi saling tahan, saling vonis politisi mantan menteri di era kabinet baru.  

Denny Indrayana menulis buku tebal tentang sejarah pembrantsan korupsi sejak Orde Lama Bung Karno Orde Baru Jendal Soeharto sampai pasca reformasi sekarang.  Menurut saya, kesalahan terbesar elite Indonesia adalah merasa dirinya jadi malaikat dan oposisi adalah  setan terkorup dan itu berlaku timbal balik. Hari ini partai A memerintah besok diganti partai B. Maka B akan mengusut politisi partai A. Dan seterusnya bolal balik. Nah bagaimana dizaman Orde Lama Bung Karno.

Ya ada juga konflik setelah partai “dijinakkan” maka yang dominan adalah militer dan PKI. Nah militer sendiri tidak bersih dari oknum “terkena skandal korupsi”.  Tapi gebrakan gebrakan oleh Jaksa Agung Suprapto dan penggantinya Gatot Tarunamiharja terkadang mengejutkan juga. Gatot misalnya berani mengusut keterlibatan Ibnu Sutowo dalam barter Tanjung Priok berbuntut kecelakaan lalulintas mobilnya.Juga dualisme  antara 2 lembaga anti korupsi Paran (Panitia Retooling Aparatur Negara) dibawah Jendral Nasution dan Bapekan (Badan Pengawas Kegiatan Aparatur Negara) dibawah Sri Sultan Hamengkubuwono.

Akhirnya dua duanya dibubarkan diganti Kotrar (Komando Operasi Tertinggi Retooling Aparatur Revolusi dipimpin langsung oleh Bung Karno dan Subandrio sebagai  wakilnya. Kotrar akan lengser bersama lengsernya Bung Karno dan presiden kedua Soeharto mengawali gebrakan anti korupsi dengan membentuk Komisi IV diketuai manan PM Wilopo dan elite era liberal IJ Kasimo dari Partai Katolik, Ir Johannas Parkindo dan Anwar Tjokroaminoto PSII . Sayang bahwa Komisi IV hanya berhenti pada rekomendasi pengawasan terhadap sektor migas, kehutanan dan Bulog.  

Memang pada era Orba, ada koruptor menyolok yang ditindak seperti Kepala Dolog Kaltim Budiaji dan Endang Wijaya dalam kasus Pluit. Tapi dalam kasus krisis utang yang nyaris membangkrutkan negara, Ibnu Sutowo hanya diberhentikan dan di interogasi tapi tidka jelas benarkah ia mengakibatkan Pertamina utang US$ 10 milyar pada 1976. 

Fast forward ke situasi 2019 yang mengkarikaturkan presiden dengan Pinokio sebetulnya Tempo harus juga mengintrospeksi diri sendiri  apakah benar sudah cover both all sides.

Pinokio sudah ada sejak zaman Belanda, ada Piet de Queljoe konkret, pinokio bisa ada di eksekutif, legislatif dan juga ada didalam KPK dan mungkin juga ada didalam Tempo sendiri  semua dalam konteks pertemanan, keterkaitan, keterlibatan dan perhopengan secara “tidak sengaja” . Membaca sejarah anti korupsi di Indonesia dan kendalanya kenapa tidak se sukses ICAC Hongkong. Karena di Indonesia yang terlibat dalam korupsi suka tidak suka, adalah “the ruling party” yang  tentu sulit melakukan amputasi terhadap tubuh sendiri.

Karena itu selalu semua orang merasa bisa jadi malaikat dan mencap orang lain sebagai pinokio. Tapi sebetulnya elite Indonesia itu semuanya merasa dirinya malaikat sedang orang lain adalah pinokio. Padahal kalau membaca sejarah Piendequeljoe dan “Pinokio 2019” semua oknum elite berpotensi jadi pinokio dan gagal jadi malaikat.

Karena memang manusia bukan malaikan. Itu pengalaman yang  saya  melamar KPK dengan resep bahwa kalau saya jadiKetua KPKmaka misi KPK adalah membubarkan diri sendiri dalam 1 periode dan menyerahkan kepada polisi dan jaksa serta hakim untuk kembali berfungsi secara profesional dan independen. Keberhasilan KPK adalah jikaKPK berhasil memfungsikan polisi, jaksa hakim secara fungsional. Maka tentu saja meski didukung Sobary, Teten Masduki dan Nono Makarim sampai 22 Besar, saya tidak pernah bisa masuk 10 besar.Ini orang gendeng jadi ketua KPK kok malah mau mengaliminasi KPK.  (Christianto Wibisono penulis buku Jangan Pernah Jadi Malaikat, pengalaman melamar capim KPK 2007)

Artikel Terkait