Internasional

PBB Desak Indonesia Cabut Kasus Veronica Koman

Oleh : Rikard Djegadut - Rabu, 18/09/2019 13:08 WIB

Veronica Koman (Foto: Ist)

Jakarta, INDONEWS.ID - Para ahli Komisaris Tinggi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk Hak Asasi Manusia (OHCHR) mendesak pemerintah Indonesia mencabut mencabut perkara yang menjerat aktivis HAM Veronica Koman sekaligus memberikan perlindungan terhadapnya.

Desakan itu pasca ditetapkannya Veronica Koman sebagai tersangka oleh Polda Jawa Timur atas tuduhan menyebarkan konten berita bohong atau hoaks dan provokatif terkait kerusuhan Papua dan Papua Barat pada 4 September 2019.

Para ahli diketahui bernama Clement Nyaletsossi Voule dari Togo, David Kaye dari Amerika Serikat, Dubravka Šimonovi dari Kroasia, Meskerem Geset Techane dari Etiopia, dan Michel Forst dari Perancis.

"Kami mempersilakan pemerintah mengambil langkah terhadap insiden rasisme, tetapi kami mendorong agar pemerintah segera melindungi Veronica Koman dari segala bentuk pembalasan dan intimidasi. Mencabut segala kasus terhadap dia (Veronica) sehingga dia dapat kembali melaporkan situasi mengenai HAM di Indonesia secara independen," kata para ahli seperti dikutip dari laman OHCHR, Rabu (18/9/2019).

Selain itu, para ahli itu sekaligus menyampaikan bahwa keinginan polisi mencabut paspor Veronica, memblokir rekening, dan meminta Interpol menerbitkan red notice turut menjadi perhatian mereka.


Dalam keterangan tertulisnya, OHCHR juga mendorong pemerintah Indonesia untuk memperhatikan hak-hak peserta aksi serta memastikan layanan internet tetap tersedia di Papua dan Papua Barat.

Sebab, pembatasan layanan internet yang dilakukan Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) sejak 21 Agustus maupun penggunaan kekuatan militer yang berlebihan dinilai tak akan menyelesaikan masalah.

Sebaliknya, para ahli menganggap pembatasan kebebasan berekspresi itu dapat membahayakan keselamatan para aktivis HAM untuk melaporkan dugaan pelanggaran.

"Secara umum, pembatasan internet dan akses terhadap informasi memiliki dampak yang merugikan terhadap kemampuan berekspresi seseorang, serta untuk membagikan dan menerima informasi," demikian bunyi keterangan tertulis mereka.

"Di sisi lain, akses terhadap internet berkontribusi untuk mencegah terjadinya disinformasi serta memastikan transparansi dan akuntabilitas," kata mereka.

Kelima ahli tersebut pun sekaligus menyambut baik ketika pemerintah mulai membuka akses internet di sejumlah daerah di Papua pada 4 September 2019.*(Rikardo)

Artikel Terkait