Nasional

Peneliti Sebut UU PKS Memuat Pasal-Pasal Kontroversial dan Mengambang

Oleh : Rikard Djegadut - Jum'at, 20/09/2019 17:30 WIB

Peneliti selaku pembina di Yayayasan Kesehatan Perempuan, Atashendartini Habsjah (Foto: Ist)

Jakarta, INDONEWS.ID - Angka dari tahun ke tahun menunjukkan peningkatan yang signifikan soal banyaknya fenomena kasus kekerasan seksual terhadap perempuan. Menyikapi kondisi ini, ada urgensi untuk memberikan perlindungan hukum bagi kelompok yang rentan terhadap kekerasan seksual.

Komnas Perempuan mencatat pada 2014 terdapaitut 4.475 kasus kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak perempuan, 2015 sebanyak 6.499 kasus, 2016 sebanyak 5.785 kasus dan pada 2017 tercatat ada 2.979 kasus kekerasan seksual di ranah KDRT atau relasi personal serta sebanyak 2.670 kasus di ranah publik atau komunitas. Ini pun baru yang terlapor.

Temuan ini menuntut DPR untuk segera mensahkan Rancangan Undang-undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) sebagai langkah strategis untuk melindungi pihak atau kelompok yang rentan terhadap kasus ini. Namun, meski demikian, pasal-pasalnya perlu dikaji secara cermat. Sebab, masih banyak yang pasal-pasalnya yang mengambang.

Hal itu disampaikan Peneliti di Yayasan Kesehatan Perempuan, Atashendartini Habsjah dalam sebuah diskusi publik dengan tema: Bincang Kesehatan Perempuan Dalam UU PKS dan RKHUP` di Gedung Nusantara III, Kompelks Senayan, Kamis, (19/902019).

Atas menegaskan bahwa yang berhak bicara tentang perempuan adalah perempuan itu sendiri. Itulah mengapa, lanjutnya, pasal-pasal dalam UU PKS itu banyak yang mengambang dan kontroversial, sebab yang membahasnya bukan orang yang mengerti dan profesional dalam bidang tersebut.

"Apa yang melekat di tubuh kita yakni rahim, dialah yang seharusnya menentukan. Jadi perlu diingat bahwa perempuan harus menentukan yang terbaik untuk dirinya," terang Atas

Peneliti selaku pembina di Yayayasan Kesehatan Perempuan ini meminta agar DPR serius merumuskan kembali pasal-pasal yang dinilainya masih mengambang dan kontroversial. Takutnya, lanjutnya, nanti setelah disahkan, justru tidak implementatif.

"Itu banyak sekali pasal-pasal dalam UU PKS yang ngambang. Kita menginginkan rumusan pasal-pasal UU PKS ini bisa diimplementasikan untuk mengatasi kasus kekerasan seksual pada perempuan yang kondisinya saat ini sangat mendesak."

Ia kemudan meminta, agar UU PKS segera disahkan karena urgen, sebab sangat dibutuhkan. Namun perlu dibahas secara cermat soal penggunaan terminologi, perumusan atas pasal-pasalnya. Hingga saat ini, baik di DPR, masyarakat dan pemerintah pun masih kesulitan mendefinisikan istilah seperti seksualitas, kekerasan, aborsi dan lain-lain.

"Gender persepktif kita masih berbeda. Itu perlu disamakan dulu, baru kita ke tahap berikutnya," ungkap perempuan yang mengaku dirinya memperjuangkan UU PKS ini disahkan demi ketiga cucunya, yang semuanya adalah perempuan.

Atas mengatakan, Anggota Dewan kita bahkan tidak mengerti arti dari penggunaan istilah termination of pregnancy,  yang mana istilah itu sangat berbeda dengan aborsi. Menghentikan kehamilan, tambahnya berbeda dengan aborsi.  Ini satu contoh dari sekian banyak terms yang digunakan dalam pasal-pasal UU PKS, yang pemahamamnnya belum disamakan.

"Penggunaan termination of pregnancy, karena anggota dewan tidak profesional dalam bidangnya, makannya dipakai kata aborsi."

Selain itu, lanjutnya, UU PKS itu hanya menyasar pada pelaku kekerasan bukan perlindungan bagi si korban. Di negara lain, Ia mencontohkan, UU seperti ini dibuat tidak hanya memberikan hukuman pada pelaku tapi juga memberikan pemulihan pada korban, di antaranya memberikan perlindungan, rehabilitasi, traumatic treatment dan lain sebagainya.

"UU PKS ini hanya memuat pasal-pasal untuk menghukum pelaku, itu pun implementasinya masih diragukan. Jadi kita harus-hati-hati banget ya, merumuskannya," tutup Atas.*(Rikardo)

Artikel Terkait