Internasional

11 Ribu Nyawa Melayang, Kurdi Nilai Trump Sebagai Sekutu Pengkhianat

Oleh : Rikard Djegadut - Kamis, 17/10/2019 11:59 WIB

Presiden Amerika Donuld Trump (Foto: Ist)

Jakarta, INDONEWS.ID - Manuver Presiden Donald Trump dan Presiden Turki Recep Tayyib Erdogan di Suriah telah menuai amarah pasukan Kurdi dengan menuding Trump melakukan pengkhianatan.

Peringatan pun datang dari orang-orang di sekelilingnya di Gedung Putih, Kongres, dan bahkan partai pendukungnya, Republik tentang dampak dari manuver Trump menarik mundur seluruh pasukan AS dari Suriah, dan meninggalkan pasukan Kurdi.

Langkah Trump membuat SDF sendirian menghadapi ancaman serangan Turki. Hal itu juga membuat AS tidak lagi dipercaya sekutu dan merendahkan derajat AS di mata masyarakat internasional.

Pasukan Kurdi merupakan sekutu terdekar AS saat menghadapi serangan besar-besaran ISIS di Suriah. Selama lebih dari 3 tahun, pasukan Kurdi membantu pasukan AS memberangus ISIS hingga akhirnya meraih kemenangan.

Sekitar 11 ribu pasukan Kurdi tewas dalam perang melawan ISIS. Jumlah yang mungkin tidak jadi perhitungan Trump sebelum membuat keputusan.

Trump juga sepertinya tidak mempertimbangkan saran Menteri Pertahanan Jim Mattis dan John Bolton, penasehat keamanan nasional. Sehingga keduanya memilih mundur dari jabatannya, dan Trump mempersilahkan.

Kritikan pedas terbaru dilontarkan Jenderal John Allen, mantan komandan pasukan Amerika di Afganistan dan mantan utusan khusus presiden untuk Koalisi Global Memberangus ISIS di masa pemerintahan presiden Barack Obama, bahwa banjir darah di Suriah terjadi, namun tak terbayangkan hasilnya.

Hingga sepekan invasi militer Turki ke perbatasan utara Suriah memburu pasukan Kurdi, sudah sekitar 200 orang Kurdi, militer dan sipil, tewas. Ribuan orang terluka dan ratusan rumah hancur.

Dipicu tekanan kuat dari Kongres, baik Republik maupun Demokrat, Trump mengeluarkan pernyataan akan menghancurkan perekonomian Turki melalui sanksi ekonomi. Opsi perang tidak akan dipilih.

Strategi Trump di Suriah telah membuat sulit posisi AS. Jika awalnya keputusan menarik seluruh pasukan AS dari Suriah, Afganistan dan Irak disebut sebagai pemenuhan kampanye pemilihan presiden 2016 guna mendapatkan dukungan dalam pemilihan presiden 2020 dan menghemat anggaran, kini Trump menyaksikan kuburan massal dan bangkitnya ISIS dengan memanfaatkan situasi di Suriah.

Namun Menteri Luar Negeri Turki Mevlut Cavusoglu mengatakan, tidak ada dampaknya sanksi ekonomi AS terhadap posisi negara itu. Operasi militer Turki tidak akan mundur sekalipun berbagai sanksi dijatuhkan. Sebab, tujuan operasi ini memberangus teroris yang mengancam Turki.

Pemerintah Prancis dan Jerman memutuskan menghukum Turki dengan embargo seluruh senjata yang dijual ke Turki karena invasi negara itu ke Suriah dianggap mempengaruhi stabilitas kawasan Eropa.

Alhasil, sulit menyakini Trump akan sungguh-sungguh menghukum Turki. Mengingat Trump yang memberikan lampu hijau operasi militer Turki ke Suriah lewat percakapan telepon dengan presiden Erdogan delapan hari lalu, seperti dilaporkan Guardian, 14 Oktober 2019.

Erdogan pun tegas mengatakan, dia akan menanggapi secara agresif upaya Barat mengisolasi Turki dan bersumpah untuk tidak menghentikan serangan ke Kurdi yang berada di perbatasan Suriah-Turki.

"Kami akan menyelesaikan apa yang sudah kami mulai," kata Erdogan menegaskan ambisinya menyingkirkan Kurdi dari perbatasan seperti yang dilakukan di Afrin tahun 2018, tanpa kritik pedas dari masyarakat internasional.*(Rikardo).

Artikel Terkait