Nasional

Menteri ESDM Baru Bukan Bagian Mafia & Berani Melawan Kartel-Oligarki

Oleh : indonews - Jum'at, 18/10/2019 08:49 WIB

Peneliti Alpha Research Database & Penulis Buku Freeport: Bisnis Orang Kuat Vs Kedaulatan Negara,Ferdy Hasiman(Foto:IST)

Oleh: Ferdy Hasiman *)

Presiden Jokowi sedang mencari figure tepat siapa yang akan mengisi posisi menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). Apakah menteri ESDM sekarang (Ignas Jonan) tetap dipertahankan atau diganti dengan sosok baru. Jika sosok baru publik berharap bukan titipan partai politik, sekelompok group bisnis dan bukan bagian dari mafia migas yang menjadi sumber masalah di sektor energi.

Menteri ESDM harus bersih, memiliki kapasitas, berani melawan mafia dan kekuatan oligarki yang sudah lama membentuk kartel di sektor energi dan tambang. Kartel-oligarki di ESDM adalah modus untuk melakukan monopoli Sumber Daya Alam (SDA) mulai energi, tambang sampai urusan kelistrikan.

Kita berharap tak ada lagi jaringan mafia migas yang dulu menggunakan PT Pertamina Energi Trading (Petral/anak usaha Pertamina) yang bertugas membeli Bahan Bakar Minya (BBM) di perusahaan-perusahaan trading di Singapura. Sulit berantas mafia migas, karena rantai jaringan mereka panjang, mulai dari Pertamina, BUMN, Partai Politik sampai di Istana.

Ada cerita, seorang mafia yang sangat terkenal dulu suka mengatur-atur Presiden dan mempengaruhi kebijakan penting di ESDM dan Pertamina. Mafia migas memiliki petron sangat kuat. Itulah mengapa memutus rantai jaringan mafia migas sulit dan sulit bagi Presiden paska reformasi berani melikuidasi Petral.

Jokowi sudah berani melikuidasi Petral di awal periode pemerintahannya, melalui Team Reformasi Tata Kelola Migas. Hanya pemerintahan kuat yang berani melikuidasi Petral.

Sejak Petral dibubarkan Pertamina membeli langsung minyak melalui Integrated Supply Chain (ISC). Sejak proses impor minyak mentah dan bahan bakar minyak (BBM) beralih ISC, Pertamina bisa hemat US$ 523 juta atau sekitar Rp 6,9 triliun selama tahun 2015-2016. Per tahun 2014, total aset Petral mencapai US2 miliar.

Berbisnis dengan Petral di jaman dulu menjanjikan. Tak sembarangan pelaku bisnis yang bisa bekerjasama dan mendapat tender dari Petral. Butuh akses, pengalaman dan harus mampu melayani dengan baik semua rantai jaringan mafia mulai dari Pertamina-penguasa agar bisa survive.

Mafia migas menikmati untung dari penurunan produksi minyak nasional. Sejak tahun 2010-2019 misalnya, produksi minyak terus menurun di bawah 900.000 Barrel Oil Per Day (BOPD). Sementara konsumsi BBM (bensin, solar) domestic mencapai 1.6 juta BOPD. Itu artinya, harus mengimpor 700.000-800.000 BOPD.

Ada cerita seperti mitos bahwa mafia yang bertugas membeli minyak dan dijual kembali ke Pertamina hanya mengambil untung US$3-5 per barrel minyak. Jika saja keuntungan setiap barrel minyak mencapai US$3, maka mafia migas mendapat untung US$2.1 juta atau RP 29.4 miliar per hari jika dirupiahkan dengan kurs Rp 14.000/dolar. Per bulan Rp 882 miliar dan per tahun Rp 10,5 triliun.

Dana itu kemudian dibagi-bagi ke rantai jaringan mafia, sehingga banyak sekali elit bisnis dan politik yang mendapat berkah. Jadi, Petral ini benar-benar menunjukan ada kartel-oligarki di sektor Energi. Bisnis mafia migas dengan Petral itu adalah bisnis triliun rupiah dan ini tentu korupsi sangat besar.

Sampai sekarang, rantai mafia migas masih menempel seperti benalu di Partai Politik, sambil mencari cela bagaimana mereka mencoba bermain kembali dan bagaimana Presiden Jokowi bisa melunak.

Atas dasar itu, kami menganjurkan agar Presiden Jokowi perlu sterilkan kementerian ESDM dari Partai Politik dan yang pernah dicurigai masuk radar mafia migas.

Jika masih memilih jaringan mafia, tidak ada guannya Jokowi melikuidasi Petral dengan susah payah tahun 2015 silam, karena akan muncul lagi mafia-mafia migas dalam bentuk yang baru.

Hasil audit investigas Team Tata kelolah migas sudah diajukan ke penegak hukum, seperti KPK. Tetapi, entah mengapa KPK tidak melakukan proses lebih lanjut atas laporan team Tata Kelolah Migas tahun 2015 itu.

Tiba-tiba saja KPK mengumumkan tersangka Bambang Irianto, Dirut PT Pertamina Energy Service (PES) anak usaha Petral, satu hari setelah Presiden menadatangi persetujuan UU KPK. “Kita tidak paham apa motif KPK, apakah ini motif politis karena ini menjadi senjata empuk melawan politisi yang sedang “melemahkan KPK”.

Tetapi banyak perusahaan dan orang kuat akan diseret jika KPK terus melakukan pendalaman atas kasus mafia migas ini. Bambang itu hanya pion kecil saja, jaringan mafia minyak masih panjang.Jika tidak politis, KPK seharusnya sudah menuntaskan kasus ini sejak Team Tata Kelolah mafia migas melaporkan data sejak tahun 2015.

Pada saat penetapan Bambang, KPK misalnya, mulai mencurigai National Oil Company (NOC) yang menjadi produsen dan penyuplly BBM dan LPG ke tanah air.Ada nama Emirates National Oil Company (ENOC).

KPK mencurigai ENOC ini dipakai benderanya oleh Kernel Oil Pte Ltd dan dicurigai mengundang ENOC meskipun tahu bahwa perusahaan itu bukan perusahaan yang mengirim cargo ke PES atau Pertamina. Kernel Oil juga pernah menyeret mantan Ketua SKK Migas, Rudi Rubiandini ke penjara.

Sementara ENOC selama ini santer diketahui menjadi distributor BBM terbesar ke PT AKR Corporindo,sebuah perusahaan milik orang kuat di republik ini. Pengungkapan kasus mafia migas sampai tuntas penting dalam krangka penegakan hukum dan menertibkan sektor energy dari kartel-oligarki.

Presiden Jokowi perlu teliti,berani melawan tekanan siapapun, termasuk partai pengusung. Jokowi harus benar-benar menggunakan hak prerogatifnya dalam memilih menteri ESDM agar ketahanan energi terjaga, ESDM dibebaskan dari mafia dan Jokowi mampu memberantas kartel-oligarki di ESDM.

Ferdy Hasiman adalah Peneliti Alpha Research Database & Penulis Buku Freeport: Bisnis Orang Kuat Vs Kedaulatan Negara *)

 

 

Artikel Terkait