Nasional

Cadar dan ASN: Kontroversi dan Kontekstualisasi

Oleh : very - Selasa, 05/11/2019 09:46 WIB

Muhammad AS Hikam adalah pengamat politik dari President University, Jababeka. (Foto: ist)

Oleh: Muhammad AS Hikam *)

KONTROVERSI yang muncul seputar wacana pelarangan terhadap cadar (niqab) di kalangan ASN tampaknya tak akan segera surut. Hemat saya, salah satu penyebabnya adalah kegagalan pemerintah dalam meletakkan kebijakan publik secara kontekstual.

Pemerintah, khususnya Menteri Agama (Menag), meletakkan wacana pelarangan cadar tersebut pada konteks program deradikalisasi. Tak pelak, cadar lantas menjadi sang "tertuduh" secara kategoris sebagai representasi atau simbol atau tanda dari radikalisme. Bagi sebagian umat Islam, cadar dan pemakaian cadar adalah refleksi kesalihan individual, bukan ideologis dan atau politis. Bahwa ada anggapan negatif terhadap cadar, hal itu dianggap sebagai resiko yang bahkan dimaknai sebagai laku mulia jika sabar dan tabah serta ikhlas menghadapinya.

Isu pelarangan cadar lantas menjadi medan pertarungan antara kehendak untuk bersikap salih versus stigma radikalisme. Mudah untuk diperkirakan bahwa para pemakai cadar akan memosisikan diri sebagai victims, pihak yang didzolimi, yang dipersekusi, dan yang dilanggar hak asasinya. Bahkan bisa saja mereka mengklaim sebagai pihak yang dihalangi untuk melaksanakan hak beragamanya!

Padahal jika soal cadar ini diletakkan pada konteks aturan dress code (cara berpakaian) yang dimiliki oleh ASN sebagai pelayan publik, implikasi dan respon bisa jadi tak akan sekontroversial itu. Sebab pada hakekatnya setiap lembaga publik tentunya sah untuk memilikin dan menetapkan aturan cara berpakaian, sesuai dengan lingkungan dan tuntutan pekerjaan seperti misalnya ASN. Memakai niqab dalam konteks ASN bisa saja dilarang pada saat tertentu, tetapi ketika tak berada pada situasi privat ( misalnya ketika di rumah, atau libur) hal itu tidak diganggu.

Jadi meletakkan masalah pada tempatnya menjadi sangat penting di sini. Niqab sendiri jelas bukan sebuah kewajiban syar`i, tak seperti misalnya jilbab yang menurut sebagian pendapat merupakan keharusan bagi seorang Muslimah. Dengan demikian, memakai jilbab berbeda status hukumnya dengan cadar. Bahkan dalam kemiliteran di Barat pun memakai jilbab adalah hal yang biasa dan diizinkan di banyak negara. Tapi memakai niqab atau cadar, saya kira tidak.

Jika pemerintah tidak mampu membedakan konteks, maka kebijakan publik akan selalu berpotensi kontroversial. Implikasinya adalah gagalnya program deradikalisasi itu sendiri karena kebijakan tersebut malah menciptakan antipati dan bisa dimanipulasi untuk propaganda bahwa pemerintah memusuhi ummat, anti Islam, dll. Wallahua`lam.

*) Muhammad AS Hikam adalah pengamat politik dari President University, Jababeka

Artikel Terkait