Nasional

Pakar Otda Paparkan Langkah-langkah Revisi UU Pilkada

Oleh : hendro - Sabtu, 16/11/2019 15:15 WIB

pakar Otonomi Daerah, Djohermansyah Djohan

Jakarta, INDONEWS.ID - Dalam rangka revisi Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2016 tentang PIlkada yang tengah menghangat, Guru Besar IPDN Prof. Dr. H. Djohermansyah Djohan, M.A yang akrab disapa Prof Djo berpendapat  pada prinsipnya kebijakan publik tidak ada yang sempurna. Prof Djo menilai bahwa perbaikan kebijakan adalah suatu keniscayaan.

Ditemui di rumah dinas beliau di IPDN Kampus Jakarta (16/11), Prof Djo mengungkapkan berbagai penyimpangan praktik Pilkada selama ini, kebijakan Pilkada langsung berbiaya tinggi, penuh permainan politik uang, politisasi birokrasi, amburadulnya pengawasan. Hasil Pilkada juga mengecewakan dengan banyaknya Kepala Daerah serta ribuan PNS yang terseret masuk penjara.

Menurut pakar Otonomi Daerah ini kelemahan kebijakan Pilkada yang paling fatal adalah menyeragamkan sistem Pilkada, semua Kepala Daerah dipilih langsung. Padahal Indonesia ini kan plural. Budaya kita sendiri mengatakan lain lubuk lain ikannya.

"Kata orang Padang, dimana bumi dipijak disanalah langit dijunjung. Artinya, secara tradisi dan kultur kita mengakui adanya perbedaan bumi dan langit serta jenis lubuk dan ikan yang ada di Indonesia. Ini genuine, keaslian kultur kita yang berbeda-beda tetapi tetap satu. Inilah yang sebenarnya Bhineka Tunggal Ika itu, bukan menyeragamkan yang berbeda-beda itu," jelasnya.

Lebih lanjut, Presiden i-Otda secara spesifik mengatakan, bahwa kondisi Indonesia yang beragam karena faktor-faktor seperti geografis, demografis, sosial budaya, sosial ekonomi, sosial politik, dan agama di daerah yang berbeda-beda.

“Oleh sebab itu pula peran Gubernur, Bupati dan Wali Kota jangan dipukul rata. Gubernur itu merangkap sebagai wakil pemerintah pusat, sedangkan bupati dan wali kota hanya menjadi kepala daerah semata yangg harus dibina dan disupervisi oleh gubernur. Harus ada hirarkis yang jelas dan tegas," ungkapnya.

Karena itu, tegas prof Djo,  sistem Pilkada asimetriklah yang cocok untuk Indonesia, bukan yang simetrik.  Karena ada Kepala Daerah yang dipilih langsung, ada Kepala Daerah yang dipilih secara tidak langsung, ada Kepala Daerah yang ditetapkan oleh DPRD, dan ada pula yang cukup diangkat oleh Presiden saja. "Banyak varian yang bisa disesuaikan dengan sejumlah tipikal dan kesanggupan daerah masing-masing," ujarnya.

Selanjutnya lulusan terbaik APDN Bukitinggi dan IIP ini menjelaskan sebagai langkah awal dapat beranjak pada pemilahan daerah yang memiliki Otonomi Khusus dahulu.

“Bisa jadi daerah Otsus ini bisa bertambah, termasuk Sumbar dan Bali, kemudian langkah selanjutnya pilah lagi atas dasar karakteristik wilayah urban dan rural. Daerah urban bisa dapat selenggarakan Pilkada langsung, rural tidak langsung. Asumsinya daerah urban tingkat pendidikannya sudah baik, pendapatan juga baik, serta Pendapatan Asli Daerahnya juga baik. Ini contoh beberapa indikator, pemilihnya cenderung tak goyah akan godaan money politics. Hal-hal serupa inilah yang memang harus segera dirumuskan oleh pemerintah pusat,.” demikian pungkas Prof Djo.

Artikel Terkait