Nasional

Kepala Daerah Dipilih DPRD, Perludem: Langkah Mundur Tidak Produktif

Oleh : Mancik - Rabu, 20/11/2019 13:22 WIB

Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Titi Anggraini.(Foto:Kompas.com)

Jakarta,INDONEWS.ID - Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) menilai, rencana mengembalikan Pemilihan Kepala Daerah(Pilkada) melalui DPRD merupakan bentuk langkah mundur dalam pelaksanaan demokrasi di Indonesia dan bukan ide yang produktif.Hal ini disampaikan oleh Direktur Eksekutif Perludem, Titi Anggraini, menanggapi rencana Mendagri Tito Karnavian,untuk melakukan evaluasi terhadap Pilkada langsung dan kembali dipilih oleh DPRD.

Mengembalikan Pemilihan Kepala Daerah karena biaya politik tinggi, menurut Titi, merupakan alasan yang kurang dapat dipertanggungjawabkan. Alasannya, karena politik biaya tinggi justru disebabkan oleh elit politik di Indonesia, bukan masyarakat.

"Usulan mengembalikan pemilihan kepala daerah ke DPRD ini jelas logika yang melompat, tidak produktif terhadap wacana mengevaluasi pilkada, serta merupakan langkah mundur demokratisasi di Indonesia," kata Titi dalam keterangan tertulisnya kepada Indonews di Jakarta, Rabu,(20/11/2019)

Titi kemudian memberikan tantangan kepada elit politik di Indonesia untuk menemukan faktor utama penyebab politik berbiayai tinggi, terutama pada setiap pelaksanaan Pemilu dan Pemilihan Kepala Daerah.Elit politik mesti mampu menemukan jawabannya sendiri sebagai dasar melakukan proses evaluasi terhadap Pilkada secara langsung selama ini.

Terhadap wacana mengembalikan pemilihan kepala daerah kembali dipilih oleh DPRD untuk menekan biaya politik, Titi, cenderung tidak percaya. Pemilihan kepala daerah oleh DPRD justru melahirkan praktik politik yang penuh dengan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme(KKN) yang tinggi.

"Jika ingin melakukan evaluasi pilkada, khususnya terkait dengam biaya politik yang tinggi, pembentuk undang-undang, utamanya elit politik, mesti menjawab dan menemukan penyebab biaya politik yang tinggi itu apa?
Bukan secara tiba-tiba langsung mengusulkan pemilihan kembali ke DPRD," jelasnya.


Tiga Tawaran Perludem Evaluasi Pilkada Langsung

Titi juga menekankan, jika pemerintah memiliki niat baik untuk melakukan evaluasi terhadap Pilkada langsung, mestinya menyeluruh dan menyentuh masalah yang berkaitan pelaksanaan Pilkada langsung selama ini. Pemerintah mesti mampu menghentikan praktik menyetor uang tiket oleh calon kepala daerah kepada Parpol sebelum Pilkada berlangsung.

Purludem memberikan tiga tawaran solusi terhadap masalah pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah, terutama masalah mahar politik yang menjadi salah satu penyebab mahalnya biaya politik di daerah.

Pertama: membuat transparan dan akuntabel sumbangan setiap orang kepada partai, jika memang itu dilakukan di dalam kontestasi pilkada. Artinya, uang yang diberikan kepada partai, harus dicatatkan dan dilaporkan secara terbuka. Nominalnya mesti mengikuti batasan sumbangan kepada partai politik sebagaimana diatur di dalam UU Partai Politik. Dengan begitu, seorang bakal calon tidak boleh memberikan uang dengan nominal begitu besar, dan tidak dicatatkan dan dilaporkan.

Kedua: jika uang yang diberikan dengan alasan dipergunakan untuk kampanye, uang tersebut mesti dicatatkan di dalam laporan awal dana kampanye pasangan calon. Jika tidak dicatatkan, langkah penindakan pelanggaran laporan dana kampanye dapat dilakukan oleh Bawaslu.

Ketiga:rumusan larangan mahar politik di dalam UU Pilkada harus diperbaiki. Klausul "memberikan" imbalan dari bakal calon kepada partai, bisa diganti dengan menjanjikan. Kemudian klausul "menerima" imbalan dari bakal calon untuk partai, diganti dengan "meminta".Dengan begitu, pembuktian pelanggaran mahar politik dapat lebih mudah. Penegakan hukum akan bisa berjalan dengan efektif.

Perludem juga meminta kepada pemerintah dan DPR untuk melakukan eveluasi terhadap UU Pilkada terutama hal mengatur tentang batasan belaja kampanye oleh calon kepala daerah. Tidak adanya batasan belanja kampanye dalam UU Pilkada, membuat pasangan calon kepala daerah, mengeluarkan uang secara bebas tanpa batas.

"Aturan batasan belanja kampanye juga mesti diikuti dengan langkah penegakan hukum dari pengawas pemilu terhadap kejujuran laporan dana kampanye dengan realitas aktifitas kampanye di lapangan. Dengan begitu, laporan dana kampanye yang tidak komprehensif dan tidak mencerminkan kegiatan kampanye yang sebenarnya dapat ditindak tegas," tegas Titi.

Proses evaluasi Pilkada langsung mesti diuraikan secara benar dan menyeluruh, tidak parsial dan setengah-tengah. Pemerintah tidak boleh mencari jalan pintas dan merampas partisipasi politik warga negara yang dalam praktiknya mulai menguat dan menunjukkan kontribusi bagi konsolidasi demokrasi di Indonesia.*

 

Artikel Terkait