Nasional

LPSK Usulkan Tiga Langkah Penyelesaian Kasus HAM di Masa Lalu

Oleh : very - Selasa, 10/12/2019 20:01 WIB

Seminar penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu yang digelar LPSK, di Jakarta. (Foto: ist)

 

Jakarta, INDONEWS.ID -- Tanggal 10 Desember diperingati sebagai hari Hak Asasi Manusia. Seluruh negara-negara di dunia memperingati, tidak terkecuali Indonesia. Namun, di balik setiap perayaannya, Pemerintah Indonesia masih memiliki segudang pekerjaan rumah yang menumpuk untuk menyelesaikan pelanggaran HAM berat di masa lalu.

Upaya penyelesaian pelanggaran HAM berat masa lalu ini tidak mudah. Upaya pemerintah untuk menuntaskan kasus-kasus HAM berat di masa lalu juga menemui hambatan, baik secara teknis maupun politis.

Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) berpendapat inilah saatnya negara mengambil keputusan dengan mempertimbangan beberapa jalur/mekanisme penyelesaian pelanggaran HAM berat di masa lalu. Pernyataan pemerintah melalui Menkopolhukam Mahfud MD yang akan melakukan penyelesaian pelanggaran HAM berat masa lalu ini dengan cara non yudisial tanpa mengabaikan mekanisme yudisial, atau sebaliknya perlu mendapat dukungan. 

Wakil Ketua LPSK Edwin Partogi Pasaribu mengatakan langkah pemerintah untuk menyelesaikan pelanggaran HAM berat di masa lalu mungkin bisa dimulai dengan bertanya kepada para korbannya yaitu model penyelesaian seperti apa yang mereka kehendaki. “Setelah mendengarnya, pemerintah harus segera mengambil keputusan model yang diterapkannya. Apapun model penyelesaian yang dipilih berpotensi menimbulkan pro kontra. Namun, bila sulit sampai pada pilihan mekanisme yang ideal, jalan tengahnya adalah mekanisme yang paling mungkin untuk diterapkan. Di sini pemerintah dituntut untuk memiliki keberanian dalam mengambil keputusan,” ujarnya seperti dikuitip dari siaran pers Humas LPSK di Jakarta, Selasa (10/12).

Agar lebih progresif, lanjut Edwin, ada baiknya imajinasi dalam penyelesaian pelanggaran HAM berat masa lalu tidak dibatasi mekanisme formil yudisial maupun non yudisial. Karena akan berkonsekuensi pada proses yang panjang, penuh tantangan serta berpotensi menuai banyak polemik. Namun demikian, pemerintah tetap harus menyediakan ruang pada mekanisme penyelesaian yang menggunakan pendekatan hukum baik melalui pengadilan HAM dan atau KKR sebagai jalan pengungkapan peristiwa pelanggaran HAM yang terjadi. 

Edwin mengatakan, upaya sinergi yang bisa dilakukan oleh negara di luar proses formil itu adalah memenuhi hak para korbannya dan mengenang peristiwa kemanusiaan yang pernah terjadi untuk tidak terulang. “Sejatinya, negara tidak sepenuhnya alpa kepada para korban. Setidaknya sejak tahun 2010 hingga saat ini negara melalui LPSK telah memberikan bantuan medis dan psikologis kepada korban pelanggaran HAM berat. Tidak kurang 3.700 korban dari 7 peristiwa pelanggaran HAM berat telah mendapatkan bantuan tersebut,” ujarnya.

LPSK, kata Edwin, mengusulkan setidaknya ada tiga langkah yang bisa ditempuh pemerintah dalam rangka menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat di masa lalu.

Pertama, setiap pelanggaran HAM berat menimbulkan hak atas reparasi (pemulihan) bagi korbannya. Salah satu bentuk reparasi yaitu permintaan maaf. Pemerintah dapat menyampaikan permohonan maaf secara terbuka atas peristiwa pelanggaran berat HAM yang pernah terjadi. Permintaan maaf ini setidaknya merupakan bentuk keinsyafan negara pernah memperlakukan warganya secara tidak manusiawi, yang bertentangan dengan kewajiban negara untuk menghormati dan menjamin HAM. 

Kedua, pemerintah dapat membuat memorialisasi. Pembuatan memorialisasi ini sebagai bagian dari upaya pemerintah untuk memberikan hak satisfasi kepada korban. Langkah ini dapat dijadikan momentum bersama sebagai bangsa untuk mempertahankan ingatan dan peringatan agar peristiwa yang sama tidak terulang. 

Ketiga, pemerintah dapat memberikan bantuan kepada para korban dengan pendekatan rehabilitasi psikososial. Apa itu rehabilitasi psikososial? Rehabilitasi psikososial  merupakan salah satu hak bagi korban pelanggaran HAM yang berat selain bantuan medis dan psikologis yang diberikan negara kepada korban melalui Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) seperti yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perubahan terhadap UU No. 13/2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban.

Rehabilitasi sosial ditujukan untuk membantu meringankan, melindungi, dan memulihkan kondisi fisik, psikologis, sosial, dan spiritual korban sehingga mampu menjalankan fungsi sosialnya kembali secara wajar seperti pemenuhan sandang, pangan, papan, bantuan memperoleh pekerjaan, atau bantuan kelangsungan pendidikan. Pemenuhan rehabilitasi psikososial hanya mungkin bila terjadi kerjasama antara LPSK dan Kementerian/Lembaga terkait.

Wakil Ketua LPSK Maneger Nasution menambahkan, ada baiknya pemerintah juga memfasilitasi affirmative action kepada para korban pelanggaran HAM berat ini untuk mendapatkan kebutuhan mendasar berupa jaminan kesehatan (BPJS) kelas satu.

“Mengingat usia sebagian besar korban yang makin senja. Pemerintah daerah juga bisa membuat kebijakan pembebasan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) sebagai salah satu keistimewaan hak yang diperoleh para korban pelanggaran HAM berat,” ujar Maneger.  

LPSK berpendapat ini saatnya pemerintah melakukan aksi nyata dengan menyediakan mekanisme pengungkapan peristiwa pelanggaran HAM berat dan mengakhiri impunitas (peniadaan hukuman), mengenang peristiwa tersebut untuk menjadi memori bersama dan sekaligus memenuhi hak para korban sebagai langkah yang simultan dan tak saling menyandera.

“Sudah saatnya kita memuliakan kedudukan para korban sebagaimana mandat konstitusi untuk menjamin HAM setiap warganya,” pungkasnya. (Very)

Artikel Terkait