Nasional

Eks HTI Masih Lakukan Manuver, Pemerintah Perlu Beri Sanksi Hukum

Oleh : very - Kamis, 16/01/2020 10:47 WIB

Analis intelijen dan terorisme Stanislaus Riyanta. (Foto: ist)

Jakarta, INDONEWS.ID -- Sesuai dengan Perppu Nomor 2 Tahun 2017 tentang Organisasi Kemasyarakatan, Hizbut Tahrir Indonesia telah dibubarkan. Pembubaran ormas tersebut sebagai sanksi efektif bagi ormas yang bertentangan dengan Pancasila, yang dianggap sebagai perbuatan tercela dalam pandangan moralitas masyarakat Indonesia. Sesuai putusan hakim dalam pembubaran HTI, disebutkan bahwa HTI terbukti berkeinginan mengubah negara Pancasila menjadi khilafah.

Analis intelijen dan terorisme Stanislaus Riyanta mengatakan, fakta hukum telah memutuskan bahwa sejak 19 Juli 2017 status badan hukum HTI telah dicabut. Pasalnya, HTI dinilai tidak menjalankan asas, ciri dan sifat ormas yang termaktub dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan yaitu “tidak bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945”. Sikap HTI ini dinilai berpotensi menimbulkan benturan di masyarakat yang dapat mengancam keamanan dan ketertiban masyarakat serta membahayakan NKRI.

Namun, setelah HTI resmi dibubarkan apakah gerakan untuk mendirikan negara khilafah di Indonesia berhenti?

“Walaupun secara legal HTI sudah dibubarkan di Indonesia, namun penyebaran ideologi khilafah yang bertentangan dengan Pancasila ditengarai masih kuat dilakukan oleh eks HTI. Setelah dibubarkan, lambang-lambang yang menyerupai HTI dan seruan untuk menegakkan khilafah muncul dalam berbagai momentum di Indonesia termasuk di antaranya pada Pemilu 2019, dan berbagai unjuk rasa lainnya terutama yang dilakukan oleh kelompok yang menentang pemerintah,” ujar Stanislaus seperti dikutip dari siaran pers di Jakarta, Kamis (16/1).

Menurunya, eks HTI nampak menunjukkan eksistensinya bersama dengan kelompok yang menentang pemerintah termasuk oposisi dan memanfaatkan kesempatan dengan menawarkan ideologi khilafah saat ada ketidakpuasan masyarakat terhadap pemerintah.

“Cara-cara yang mereka lakukan yaitu dengan menumpang acara politik atau momentum lainnya ini dilakukan dengan menggunakan kedok sebagai aksi panggilan agama, sehingga pihak-pihak yang melakukan perlawanan terhadap aksi eks HTI akan langsung diberi stigma melawan agama,” ujarnya.

Manuver-manuver oleh eks HTI itu, katanya, selain dilakukan secara terbuka menumpang aktivitas politik termasuk unjuk rasa menentang kebijakan pemerintah, diduga juga dilakukan secara “bawah tanah” termasuk dengan sasaran pelajar dan mahasiswa. Eks HTI tersebut misalnya, menawarkan ideologi khilafah yang diserukan sebagai jalan baru untuk mencapai tujuan, yang jelas bertentangan dengan Pancasila. Tentu saja aksi “bawah tanah” ini juga berlindung dibalik kedok agama.

Karena itu, menurut Stanislaus, untuk mencegah eks HTI terus melakukan manuver dan gerakannya menjadi gunung es yang terus membesar maka pemerintah perlu tegas dalam menyikapi aksi tersebut. “Pemerintah harus mempunyai instrumen yang tegas untuk mendukung Undang-Undang tentang Ormas sehingga orang atau kelompok yang jelas melanggar Undang-Undang tersebut bisa dikenai sangsi hukum,” ujar alumnus Universitas Indonesia itu.

Selain itu HTI yang sudah dibubarkan juga harus disertai dengan ancaman sangsi hukum bagi pihak-pihak yang masih beraktivitas menyuarakan tujuan HTI atau menggunakan atribut HTI. “Tanpa sangsi hukum yang kuat maka eks HTI dengan bebas tetap melakukan propaganda untuk mendirikan negara khilafah,” ujarnya.

HTI memang sudah dibubarkan oleh pemerintah, namun eks anggotanya tetap melakukan aktivitas menyebarkan ideologi khilafah. “Gerakan tanpa organisasi resmi mereka justru lebih berbahaya karena untuk menjeratnya terkendala aturan hukum yang belum mendukung. Ketegasan pemerintah diperlukan dalam mencegah manuver eks HTI,” pungkasnya. (Very)

 

Artikel Terkait