Nasional

NU, Ihwal Kepemimpinan Kharismatik atau Manajemen Organisasi?

Oleh : very - Rabu, 12/08/2020 11:22 WIB

Pengamat politik dari President University AS Hikam. (Foto: channel indonesia)

Oleh: Muhammad AS Hikam*)

INDONEWS.ID -- Kata almaghfurlah Gus Hasyim, mantan Ketum PBNU: "Berbeda pendapat sudah biasa di kalangan NU. Yang belum biasa berbeda pendapatan". Sindiran humoris khas pondok pesantren ini sepintas hanya lucu, padahal kalau ditafsirkan bisa bermakna dalam dan "devastating" alias dahsyat. Sebab, menurut hemat saya, ia memotret dua hal yang sering dianggap dikotomis dalam ormas yang dijuluki "tradisional" seperti NU: yakni locus dari kepemimpinan

Jika terjadi kasus seperti perbedaan pandangan soal keluar atau tetap ikut dalam program Program Organisasi Penggerak (POP) besutan Kemendikbud, misalnya, muncul pertanyaan: Apakah pemimpin kharismatik mulai tergusur oleh keniscayaan kepemimpinan modern di NU?

Menurut saya tidak. Pertanyaannya bukan soal sumber kepemimpinan. Kharisma masih kuat, tetapi yang menjadi persoalan ormas Islam terbesar itu, bahkan bisa dikatakan "mletho", adalah sistem manajemen organisasinya. Masa sih untuk menyikapi urusan POP malah terjadi "kompetisi" alias lomba untuk saling mengatasnamakan PBNU dan Rais Aam?

Kalau menerapkan manajemen paling dasar saja, apalagi kalau merujuk pada AD/ART PBNU, mestinya kan hanya melalui satu pintu: Lembaga Pendidikan dan Maarif NU (LPM NU). Bukan saja ia adalah lembaga yang tupoksinya jelas merupakan instrumen PBNU untuk masalah pendidikan, tetapi ia juga bukan bekerja atas nama pribadi. Sementara, apa yang dilakukan Katib Aam Syuriah PBNU, jelas bukan tupoksi beliau untuk bikin deal dengan Kemendikbud terkait POP. Paling pol beliau bisa saja melakukan konsultasi dengan Mendikbud dan itupun mesti berbarengan dengan pemegang otoritas di Tanfidiyah PBNU, yaitu lagi-lagi LPM NU.

Jadi menurut saya, soal kharisma para masyayikh (Ulama atau Kyai atau Ustadz) masih kokoh di organisasi NU. Cuma dalam mengelola organisasi yang, menurut saya, masih ketinggalan kalau dibanding ormas lain dalam masyarakat sipil Indonesia. Lihat saja Muhammadiyah, misalnya, selain tidak ada kasus berantem soal siapa yang berhak mewakili organisasi dalam kasus POP, juga tak ada yang "berlomba" bikin statemen di media (yang anak kecil pun tahu ini akan potensial digoreng jika ada perbedaan sedikit saja!)

Sistem manajemen yang baik justru akan mampu menyeimbangkan dan memberdayakan antara komponen kharisma dengan efektifitas organisasi. Kalau manajemen rapuh, maka dalam jagad yang makin banyak godaan untuk berbeda pendapatan saat ini dan ke depan, makin rentan organisasi dari upaya pelemahan.

Belum apa-apa sudah mulai berkembang spekulasi bahwa NU pecah soal mereaksi POP. Nanti belum lagi kalau "keribetan" internal PBNU ini dibaca dengan perspektif lain, misalnya dikaitkan dengan Muktamar nanti. Siapa yang paling dapat nama kalau kerjasama NU-Mendikbud jadi atau tidak jadi? Dua-duanya bisa saja "diolah" menjadi bahan kampanye bagi warga nahdliyyin.

Mengutip (dengan agak sembarangan) kata-kata Presiden Bill Clinton, tentang masalah kunci yang dihadapi AS saat beliau berkuasa, beliau bilang: "It`s the economy, stupid!", maka jangan-jangan dalam konteks PBNU dan jam`iyyah NU sekarang dan yang akan datang adalah "It`s the management, Insya Allah."??.

*) Penulis adalah Menteri Riset dan Teknologi pada era Presiden Gus Dur, dan pengamat politik dari President University.

Artikel Terkait