Nasional

Eks Karyawan Permata Bank Jadi Terdakwa, Ahli: Mengandung Pelanggaran HAM & Ketentuan Hukum

Oleh : Rikard Djegadut - Rabu, 12/08/2020 14:01 WIB

Terdakwa Kasus Bank Permata Ardi Sedaka dalam sidang lanjutan yang digelar Selasa (11/8/2020).

Jakarta, INDONEWS.ID - Sidang perkara tuduhan Tindak Pidana Perbankan (Tipibank) terhadap Bank Permata berlanjut. Sidang dengan agenda mendengarkan keterangan ahli di antaranya mantan Kepala PPATK Yunus Hussein dan ekonom Faisal Basri digelar pada Selasa (11/8/2020). Keduanya dihadirkan oleh Penasihat Hukum Ardi Sedaka, salah satu dari delapan mantan pegawai Bank Permata yang menjadi terdakwa.

Kasus ini muncul ke publik karena adanya laporan balik dari debitur PT Megah Jaya Prima Lestari (MJPL) kepada Bank Permata selaku pemberi kredit. Kredit yang diberikan kepada MJPL mulai bermasalah pada tahun 2017 silam dan karena tidak ada kejelasan, maka Bank Permata melaporkan hal ini kepada Penegak Hukum.

Meski pengurus MJPL sempat masuk dalam daftar pencarian orang (DPO), akhirnya mereka berhasil ditangkap tim Buru Sergap (Buser) Bareskrim Polri pada November 2019 lalu. Saat ini para pengurus MJPL bermasalah tersebut sudah diadili dan dinyatakan bersalah.

Laporan balik MJPL terhadap Bank Permata ternyata tetap diproses dan akhirnya menyeret 11 orang mantan direksi dan karyawan Bank Permata menjadi tersangka dan delapan orang di antaranya telah menjadi terdakwa. Ardi Sedaka dan tujuh terdakwa lainnya telah mendekam dalam tahanan kejaksaan/pengadilan di Bareskrim Polri sejak Juni 2020.

Kejanggalan kasus ini semakin tersingkap dalam proses pengadilan. Tiga terdakwa kemudian menyatakan memperbaiki atau mencabut keterangan BAP yaitu Eko Wilianto, Muhammad Alfian Syah, dan Ardi Sedaka. Ketiganya menyatakan alasan mereka bahwa BAP sudah dirancang pertanyaan maupun jawabannya.

Sebelumnya, mantan Komisioner HAM Dianto Bachriadi, Ph.D yang juga dihadirkan sebagai Ahli. Dalam pandangannya ia menyampaikan bahwa proses persidangan pidana dengan terdakwa Ardi Sedaka banyak mengandung pelanggaran HAM dan pelanggaran ketentuan hukum, khususnya dalam proses penyidikan dan penetapan terdakwa.

Hal ini mengacu pada prinsip “due process of law” yang pada dasarnya antara lain mengikuti prosedur dan mengedepankan obyektivitas dan ketidak-berpihakan. Jika sejak tahap awal proses pemidanaan seseorang yang diduga melakukan tindak pidana tidak dijalankan dengan berpegang pada prinsip `due process of law`, maka peradilan bisa tersesat salah arah.

Selain itu, Abdul Wahid Oscar, SH, MH, mantan Hakim Pengawas pada Badan Pengawasan Mahkamah Agung, dalam keterangannya sebagai Ahli menyatakan bahwa Penyidik merangkap sebagai Saksi berarti melampaui kewenangan. Demikian juga jika dakwaan dibuat tidak dengan cermat, maka dakwaan tersebut kehilangan kewibawaannya.

Sidang hari ini dipenuhi teman-teman Ardi Sedaka dari dua Almamater yang hadir memberikan dukungan. Ardi adalah lulusan SMA Kanisus tahun 1983 (CC83) dan juga Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia angkatan 1983 (FEUI83).

Dalam kasus yang menyeretnya ini, Ardi dibantu oleh tim Penasihat Hukum yang dikoordinir oleh Didit Wijayanto Wijaya, SH, MH, juga sesama alumni CC83 dan juga FEUI83.

“Kami alumni CC83 & FEUI83 sangat berharap agar semua penegak hukum dan otoritas yang terkait dapat bahu-membahu mencegah agar rekayasa kriminalisasi terhadap perbankan seperti ini tidak akan terulang. Selain merusak moral teman-teman bankir profesional, kriminalisasi ini juga dapat menghambat perkembangan kredit perbankan secara nasional,” pungkasnya.*

Artikel Terkait