Bisnis

Pemerintah Diminta Hati-hati pada "Jebakan Divestasi Saham" Freeport

Oleh : very - Selasa, 29/08/2017 18:06 WIB

Guru Besar Hukum Internasional UI, Hikmahanto Juwana. (Foto: Ist)

Jakarta, INDONEWS.ID - PT Freeport Indonesia akhirnya menyetujui keinginan pemerintah untuk melepas 51 persen sahamnya. Pernyataan itu disampaikan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ignasius Jonan bersama Menteri Keuangan Sri Mulyani dan CEO Freeport-McMoran Richard Adkerson.

Jonan mengatakan, kesepakatan itu sesuai dengan instruksi Presiden Joko Widodo untuk mengedepankan kepentingan nasional, kepentingan rakyat Papua, kedaulatan negara dalam pengelolaan sumber daya alam, serta menjaga iklim investasi tetap kondusif.

Pakar Hukum Internasional dari Universitas Indonesia (UI) Hikmahanto Juwana mengatakan mengapresiasi kesepatan tersebut. “Pengumuman dari Menteri Jonan terkait hasil negosiasi dengan Freeport kalau menurut saya ini sudah bagus, asal jangan sampai pemerintah terjebak dalam beberapa hal,” ujarnya di Jakarta, Selasa (29/8/2017).

Ada beberapa alasan kesepakatan itu dinilai bagus. Pertama, karena  pemerintah berhasil mewajibkan Freeport untuk mematuhi Pasal 170 UU 4/2009 yaitu untuk Kontrak Karya tidak lagi melakukan ekspor jika tidak dimurnikan di dalam negeri.

Kalaupun saat ini masih melakukan ekspor, maka hal itu karena Freeport memilih untuk melakukan konversi dari KK menjadi IUPK (Izin Usaha Pertambangan Khusus).

Kedua, dalam konteks IUPK berdasarkan pasal 102 dan 103, tidak ada ada batas waktu lamanya melakukan kewajiban memurnikan di dalam negeri. Tapi berdasarkan PP 1/2017 Freeport hanya diberi waktu selama 5 tahun. Untuk itu, Freeport berjanji akan mulai membangun smelter.

Keuntungan lain yang diperoleh pemerintah dari kesepakatan itu, kata Hikmahanto, adalah KK Freeport yang seolah mensejajarkan Freeport dengan Pemerintah, hanya menjadi cerita masa lalu. Pasalnya, sesuai rejim izin, maka Freeport layaknya merupakan pelaku usaha yang berada di bawah regulasi pemerintah.

Terkait perpajakan, juga disepakati bisa lebih besar sebagaimana diatur dalam pasal 169 (c). Pasal tersebut menentukan bahwa dalam soal penerimaan negara maka ketentuan yang berlaku adalah ketentuan yang menyatakan penerimaan negara yang paling besar.

Hikmahanto mengakui, memang ada “biaya” yang harus ditanggung dari kesepakatan tersebut, yaitu perpanjangan 2x10 tahun.

Namun, menurut Hikmahanto, hal itu tidak menjadi soal. Pasalnya, ada kewajiban Freeport untuk melakukan divestasi hingga 51%. “Nah kalau 51% itu tidak termasuk yang 9 koma sekian persen (yang saat ini dimiliki pemerintah) maka berarti setelah divestasi dilakukan pemerintah akan memegang 60-an% alias mayoritas pemegang saham,” ujarnya.

Karena itu, Hikmahanto menilai wajar jika Freeport yang dimiliki secara mayoritas untuk mendapat perpanjangan 2x10 tahun. “Bahkan pada suatu hari nanti kalau sudah bisa dimiliki 100% tidak perlu dibatasi oleh jangka waktu. Disinilah letak keuntungan Indonesia dari hasil negosiasi,” ujarnya.

Namun, Hikmahanto mengingatkan pemerintah agar hati-hati terkait harga divestasi saham yang akan ditawarkan Freeport. “Saya yakin ini akan alot. Freeport pasti minta harga premium sementera pemerintah minta harga serendah-rendahnya,” ujarnya.

Hikmahanto mewanti-wanti jangan sampai pemerintah membeli saham sangat mahal, atau saking mahalnya akhirnya pemerintah tidak bisa lakukan divestasi. “Itu yang saya maksud jebakan,” katanya.

Karena itu, katanya, Pemerintah dan Freeport seharusnya menyepakati mekanisme dan rumusan harga berikut variabel divestasi sejak dini.

“Ini penting agar publik tidak melihat pemerintahan Jokowi lemah di mata Freeport atau kesan dipecundangi oleh Freeport,” pungkasnya.

 

Artikel Terkait