Sosial Budaya

Delegasi RI yang "Tambun" Jadi Pertanyaan Komite Pekerja Migran PBB

Oleh : very - Rabu, 06/09/2017 15:44 WIB

Aktivis buruh migran Indonesia. (Foto: Ist)

Jenewa, INDONEWS.ID -  Pemerintah Indonesia telah melakukan dialog dengan Komite Pekerja Migran PBB pada tanggal 5 September 2017. Dalam putaran sesi pertama dialog selama tiga jam, Pemerintah Indonesia yang diwakili Abdul Wahab Bangkona, Staf Ahli bidang Hubungan Internasional Menteri Ketenagakerjaan RI menyampaikan highlight dari laporan pemerintah yang telah di-submit kepada Komite. 

Direktur Eksekutif Migrant CARE Wahyu Susilo yang hadir pada kesempatan itu mengatakan, menanggapi laporan inisial pemerintah Indonesia, Komite memberikan respon untuk menggali, mengkonfirmasi dan memperdalam informasi.

“Dalam putaran pertama sesi tanya jawab, pemerintah Indonesia dicecar dengan 75 pertanyaan dari 7 anggota Komite Pekerja Migran, 1 orang Rappourteur Komite dan Special Rappourteur untuk perlindungan hak-hak pekerja migran,” ujarnya melalui siaran pers bersama Masyarakat Sipil yang terdiri dari Migrant CARE, YKS, Migrant CARE Malaysia, SARI, dari Jenewa Switzerland, Rabu (6/9).

Komite menyoroti delegasi pemerintah Indonesia yang sangat besar alias "tambun" yakni 23 orang. Dalam kesempatan yang sama, delegasi dari Mexico berjumlah 15 orang, sementara Ecuador 5 orang.

Tidak hanya dalam hal jumlah, delegasi pemerintah Indonesia juga disorot dalam hal keterwakilan perempuan yang sangat njomplang. Dari 23 delegasi, hanya tiga orang yang perempuan. “Hingga menimbulkan pertanyaan dari Komite, apakah di Indonesia tidak ada aturan tentang keterwakilan perempuan?,” ujarnya.

Selain mengenai delegasi, hal-hal yang dipertanyakan Komite Pekerja Migran yaitu terkait posisi revisi UU Nomor 39 tahun 2014 yang telah berlangsung lama dan harus disesuaikan dengan konvensi. Mereka mempertanyakan apakah aturan itu sudah disesuaikan dengan kovensi dan waktu akan disahkan.

Komite Pekerja Migran juga menyoroti MoU dengan 13 negara tujuan yang dinilai belum sesuai dengan prinsip-prinsip konvensi, dan karena itu harus segera direvisi.

Kebijakan dan peran perusahaan pengirim tenaga kerja swasta yang dominan dan banyak melakukan praktek yang merugikan buruh migran dan melanggar HAM asasi manusia juga menjadi sorotan. Hal itu misalnya terkait mekanisme monitoring dan penjatuhan sanksinya.

Komite juga menanyakan posisi pemerintah Indonesia yang hingga saat ini belum meratifikasi Konvensi ILO 181 tentang agency.

Yang juga mendapat sorotan yaitu terkait kasus hukuman mati yang banyak dihadapi buruh migran perempuan di beberapa Negara tujuan. Saat ini setidaknya ada 212 kasus buruh migran Indonesia yang terancam hukuman mati. Komite mempertanyakan sikap pemerintah Indonesia dalam melakukan upaya-upaya perlindungannya.

“Bagaimana perlindungan terhadap PRT migran di Negara-negara yang tidak memiliki regulasi tentang PRT? Sementara mereka rentan mengalami kekerasan fisik dan seksual. Seperti di Arab Saudi dan beberapa Negara di Timur Tengah. Apa upaya yang sudah dilakukan untuk melindungi mereka?” ujar Komite Pekerja Migran.

Komite juga menanyakan alasan pengambilan kebijakan moratorium dengan 19 negara di Timur Tengah, kemudian dampaknya terhadap buruh migran.

 

Tata Kelola

Komite Pekerja Migran juga menanyakan tentang upaya mencegah praktek korupsi dalam tata kelola migrasi di Indonesia. Pasalnya, banyak anak buruh migran yang lahir di Negara tujuan, mengalami kesulitan dalam mendapatkan akta kelahiran.

“Mereka menanyakan tentang anak-anak yang ditinggalkan orang tuanya bermigrasi, apakah ada kebijakan dan program untuk memastikan pendidikan dan pola asuh bagi mereka, remitansi buruh migran Indonesia, berapa jumlahnya dan bagaimana upaya pemerintah Indonesia dalam memfasilitasi pengiriman ke Indonesia dan memanfaatkannya di dalam negeri,” kata Wahyu.

Komite juga menanyakan mekanimse yang sudah dikembangkan pemerintah Indonesia dalam mencegah buruh migran agar tidak menjadi korban trafficking.

Pertanyaan juga diajukan terkait kompetensi diplomat dan konsuler di perwakilan pemerintah Indonesia dalam melayani buruh migran; partisipasi masyarakat sipil dalam perlindungan buruh migran; biaya penempatan buruh migran yang mahal; kurikulum training bagi calon buruh migran terutama perempuan; serta inisiatif yang sudah dibangun di tingkat lokal.

“Merespon pertanyaan Komite tersebut, pemerintah Indonesia diberikan waktu selama 15 menit untuk menyiapkan jawaban. Jawaban yang diberikan pemerintah Indonesia tidak detail sebagaimana pertanyaan Komite. Pemerintah yang diwakili Lalu Muhamad Iqbal (Kemenlu), Hermono (BNP2TKI) dan Abdul Wahab Bangkona (Kemenaker) menjawab secara general tentang upaya-upaya yang telah dilakukan,” ujar Wahyu.

Migrant CARE mengatakan mengapreasiasi pertanyaan dan pernyataan Komite Pekerja Migran PBB atas laporan inisial pemerintah Indonesia. Berbagai laporan masyarakat sipil, baik tertulis maupun oral statement yang dilaporkan pada tanggal 4 dan 5 September menjadi pertimbangan dan informasi alternatif. 

Ditambahkannya, dalam agenda hari ini pada sessi kedua akan dilakukan dialog pemerintah Indonesia dengan Komite yang berlangsung selama tiga jam (10.00 – 13.00 waktu Jenewa). Selanjutnya, Komite akan menyusun observasi dan rekomendasi.

“Migrant CARE berharap bahwa sesi kali ini akan menghasilkan rekomendasi yang substantif bagi pemerintah Indonesia untuk segera melakukan perubahan kebijakan dan tata kelola migrasi yang eksploitatif, korup dan tidak melindungi,” pungkas Wahyu. (Very)

Artikel Terkait