Nasional

Menyelesaikan Persoalan Rohingya Tanpa Persoalan

Oleh : very - Kamis, 07/09/2017 13:46 WIB

Agung Virdianto, penulis adalah mahasiswa Pasca Sarjana dan Komunitas Pengkajian Studi Perbandingan Ilmu Ekonomi-Politik

Agung Virdianto*)

INDONEWS.ID - Perang dan damai merupakan dualisme kehidupan manusia yang tak pernah kunjung selesai. Selama perkembangan peradaban manusia dari zaman klasik, pertengahan maupun era peradaban manusia sedemikian maju ternyata intensitas perang dibelahan dunia justru semakin meningkat bahkan perang membasmi etniknya sendiri seperti yang terjadi di Myanmar.  Perang pembasmian etnik yang terjadi di Myanmar melibatkan peran negara yang paling dominan yaitu kekuatan militer. Pasca Perang Dunia II munculnya kembali fenomena praktek-praktek pembunuhan massal di kawasan Asia yang dilakukan pemerintah Myanmar terhadap etnik muslim Rohingnya memunculkan banyak kecaman dari berbagai negara terhadap pemerintah Myanmar.

Semestinya organisasi internasional yang capable untuk menangani permasalahan pembantaian etnik Rohingya dengan memberikan sanksi internasional yang lebih keras agar menghentikan pembersihan etnik yang dilakukan oleh militer. Lantas bagaimana diplomasi yang dilakukan Pemerintah RI dalam menyelesaikan krisis kemanusiaan yang kembali melanda Rakhine ?

 

Penguasaan Sumber Daya Alam

Pasca perang dingin perubahan terbesar terjadi dalam perkembangan konflik perang bersenjata antar negara namun beralih kepada konflik sipil berlatar belakang perbedaan ras, etnik, budaya dan agama untuk memperebutkan otoritas wilayah. Konflik sipil ini telah memulai sebuah fase baru yang sangat fenomenal. Mengutip Lincoln P. Bloomfield dan Allen (Managing International Conflict) dalam mencermati fenomena konflik etnik di era pasca perang dingin, bahwa kekerasan muncul dan disebabkan oleh sesama masyarakatnya sendiri untuk memperebutkan wilayah otoritas yang lambat laun menjadi sebuah kekuatan yang lebih besar melebihi persaingan politik. Apakah yang melatar belakangi konflik memperbutkan otoritas wilayah dengan pendekatan negara melalui kekuatan militer tersebut ?

Daerah Arakan - Rakhine, yang dihuni mayoritas etnis Rohingya memiliki sumber daya alam yaitu minyak dan gas. Perkiraan adanya cadangan minyak dan gas sebesar 7,836 triliun kaki kubik gas dan 1,379 milyar barel  minyak di wilayah strategis tersebut, kekayaan sumber daya alam itu menarik sejumlah investor baik bersifat korporasi dunia membangun blok-blok minyak dan gas termasuk Myanmar Petroleum Resources (Myanmar) dan ONGC (India) yang telah beroperasi dan berproduksi dengan membangun pipa gas yang memiliki kapasitas 193,6 juta kubik per hari. Pengelolaan kekayaan alam tersebut mendapatkan keuntungan tersendiri bagi kelompok elitemiliter yang dominan menguasai sektor ekonomi mencanangkan kebijakan pintu terbuka menarik investasi asing masuk ke wilayah Myanmar.

Dengan alasan keamanan jalur pipa gas dan minyak tersebut yang sering mengalami gangguan bersenjata dari kelompok etnik Rohingya, pemerintah mencari-cari kelemehan asal usul etnik Rohingya berasal dari Bangladesh yang dianggapnya pendatang gelap yang harus dikembalikan lagi ke etnik asalnya. Mencapai target pembenaran atas tindakan tersebut kebijakan pembersihan etnis dilakukan militer tanpa melihat agama yang dianut etnik tersebut. Kekejaman militer Myanmar terhadap etnik Rohingya sudah terjadi sejak tahun 1991 hingga saat ini. Bagi pihak militer kepentingan bisnis lebih dominan daripada kepentingan isu pelanggaran HAM internasional. Apalagi kepandaian strategi dari elite militer Myanmar yang sudah dapat menemukan momentum dengan kebijakan terbukanya membawa investorkorporasi dunia berinvestasi di wilayah kaya SDA diharapkan dapat mencounter isu pembersihan etnik.

Pihak pemerintah Myanmar tidak pernah mengakui tindakan pembersihan etnik muslim Rohingya yang dianggapnya bahwa etnik Rohingnya adalah pendatang gelap dari Bangladesh walaupun sudah hidup berabad-abad di Myanmar dan harus dikembalikan ke wilayah asalnya. Operasi militer tentara Myanmar yang sangat kejam tersebut sudah berlangsung cukup lama. Hal ini dapat terjadi karena kompensasi dari korporasi dunia yang melibatkan negara-negara besar seperti Inggris, Amerika, Tiongkok, Korea Selatan, Uni Eropa dan sejumlah negara Teluk berinvestasi di sektor gas dan minyak di wilayah bergejolak. Pada tahun 2016 Kepala Pusat Pengungsi PBB di Bangladesh Tenggara, John McKissick, mengatakan Myanmar berusaha mengenyahkan kelompok minoritas Muslim Rohingya melalui pembersihan etnik dengan kekuatan militer. Namun pemerintah Myanmar menuding laporan PBB terkait kekejaman yang dialami etnis Rohingya, merupakan tuduhan tak berdasar dan tanpa bukti. Dengan tetap membantah adanya pembantaian, usul pengiriman investigator PBB ditolak dan akses masuk menuju Rakhine ditutup, termasuk untuk jurnalis.

 

Kebijakan Militer di Sektor Ekonomi

Konflik pembersihan etnik yang terjadi di Myanmar tidak terlepas dari warna militeristik dalam mengambil keputusan ekonomi di pemerintah yang masih sulit untuk ditinggalkan hingga saat ini. Sejarah mencatat kerusahan Uprising 8888 yang terjadi pada tahun 1998, keputusan ekonomi oleh penguasa militer terkait penurunan nilai mata uang yang berdampak uang kertas tidak bernilai sehingga rakyat kehilangan tabungan yang dimiliki. Kondisi tersebut mendorong masyarakat untuk mengganti pemerintah militer menjadi demokratis namun dijawab oleh penguasa militer dengan tindakan represif yang menyebabkan 3.000 demonstran tewas. Perestiwa serupa yang terjadi pada tahun 2007, kebijakan ekonomi dengan mencabut subsidi impor diesel dan gas alam untuk sektor transportasi dan listrik oleh masyarakat yang menyebabkan kenaikan harga mencapai 500%. Kondisi tersebut memicu unjuk rasa masyarakat yang dipelopori oleh para Biksu.

Dampaknya para Biksu yang terlibat dalam demonstrasi ini diserang secara brutal oleh pihak militer dengan mengikat mereka pada tiang serta melepaskan jubah yang mereka pakai. Menjadi ciri dari warna militer di Myanmar walaupun sudah mengalami transisi demokratisasi tapi ketika berhadapan dengan kebijakan ekonomi, pelangaran HAM tidak diperdulikan oleh militer Myanmar.

Menarik untuk mencermati tulisan Marco Bunte, menjelaskan mengenai intervensi militer kedalam politik dan ekonomi di Myanmar, militer dianggap sebagai sebuah kekuatan yang memperjuangkan kemerdekaan Myanmar dan berperan sebagai penjaga dan benteng pertahanan Negara walaupun sudah mengalami demokratisasi, panggung militer masih dominan dalam kebijakan ekonomi di Myanmar. Fakta terjadinya pembersihan etnik muslim di Myanmar menunjukkan kelemahan dari pemerintahan demokratis yang masih didikte oleh kekuatan militer yang berganti baju agar dapat membuka isolasi secara ekonomi dengan menarik investor membenamkan modalnya mengelola blok gas dan minyak di wilayah Arakan – Rakhine yang banyak dihuni etnik Rohingya. Setelah lima dekade dikendalikan oleh kekuatan militer, transisi demokratisasi belum dapat berjalan dengan normal dengan waktu pemerintahan sipil yang baru berjalan dua tahun sejak kemenangan NLD pada pemilu terbuka pertama kali tahun 2015, apalagi Aung San Suu Kyi secara hukum tidak bisa menduduki kursi presiden, namun dipercaya secara de facto penasehat pemimpin Myanmar atau State Councellor.

Pemerintah RI menyesalkan terjadinya peristiwa di Rakhane dialami etnik Rohingya dan pemerintah RI secara resmi melalui Menlu melakukan koordinasi dengan Sekjen PBB dan utusan khusus untuk Rohingnya, Kofi Annan untuk menyelesaikan konflik yang terjadi. Presiden Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Mohamad Sohibul Iman melihat masalah isu etnis Rohingya tidak dapat ditarik ke tanah air karena isu tersebut dapat memecah belah bangsa karena isu kelompok mayoritas dan minoritas cukup sensitif di Indonesia. Selain itu, sudah tepat langkah diplomasi yang dilakukan pemerintah RI melalui Menteri Luar Negeri Retno Marsudi bertemu Panglima Angkatan Bersenjata Myanmar, Jenderal Senior U Min Aung Hlaing di Nay Pyi Dawdan Aung San Suu Kyi penasehat pemerintah untuk mencegah tindakan represif militer Myanmar. Kepedulian sangat tinggi pemerintah RI terkait krisis kemanusian yang dialami etnik Rohingya, Pemerintah Indonesia tengah membangun rumah sakit di Marauk U, Rakhine State dan program bantuan di bidang kesehatan, pendidikan, ekonomi, dan peningkatan kapasitas termasuk oleh AKIM (Aliansi Kemanusiaan Indonesia untuk Myanmar) yang akan siap masuk membantu pengungsi jika sudah mendapat ijin dari pemerintah Myanmar.

Pemerintah Tiongkok dapat diajak berkerjasama untuk menghentikan tindakan militer Myanmar karena sangat mendalam hubungan Burma sebelum berubah menjadi Myanmar dengan Tiongkok yang banyak membantunya ketika mengalami isolasi secara politik dan ekonomi.

Kata kunci agar etnik yang di pedalaman Myanmar tidak dibasmi oleh pihak junta militer adalah dapat diajak kerjasama. Etnis Wad dan Kokang yang dipimpin raja opium tingkat Asia, Khun Saagar bisa selamat dari kejaran junta militer. Mereka melakukan kerjasama mengelola ladang pertanian opium yang tentunya sangat menguntungkan secara finansial. Keuntungan dari penjualan opium inilah menjadi kapitaliasi militer untuk mendukung operasi militer dan membeli peralatan militer. Hasil bisnis opium dengan Tiongkok dan Thailand menjadi kekuatan junta militer Myanmar kebal terhadap sanksi-sanksi ekonomi dari Amerika Serikat, Uni Eropa, Asean dan PBB. Kedekatan junta militer Myanmar dengan Tiongkok sudah terjalin sejak lama berdasarkan hubungan bisnis opium dan ideologi. Sama halnya dengan kondisi yang dialami etnik Rohingya, jika mereka mau tunduk dan kooperatif dengan pihak militer dengan tidak “menganggu” bisnis militer dengan pihak korporasi dunia mengelola SDA yang nilainya sangat besar.

Tampaknya militer Myanmar menyadari betul bahwa dalam setiap konflik geopolitik tidak menutup kemungkinan adanya potensi SDA. Peranan minyak dan gas dibalik konflik geopolitik internasional sudah pernah dikemukakan Guildford (1973) yang menarik, bahwa bila berbicara masalah dunia perminyakan maka nuansa politiknya sebesar 90%  sedang sisa 10% berbicara tentang minyak itu sendiri. Georges Clemencau, komandan pasukannya Napoleon Bonapate dalam Perang Dunia/PD I (1914-1918) menyatakan, “Setetes minyak berharga sama seperti setetes darah dari prajurit kita. Minyak sama-sama diperlukan seperti darah”.

*) Penulis adalah mahasiswa Pasca Sarjana dan Komunitas Pengkajian Studi Perbandingan Ilmu Ekonomi-Politik

Artikel Terkait