Nasional

Partai Demokrat: Politik TNI Harus Selamanya Politik Negara, Bukan Politik Panglima TNI

Oleh : very - Senin, 25/09/2017 09:33 WIB

Wakil Sekretaris Jenderal Partai Demokrat Rachland Nashidik. (Foto: Vivanews.com)

Jakarta, INDONEWS.ID - Partai Demokrat meminta semua pihak untuk tetap menjaga “kewarasan politik” dalam menyikapi turbulensi politik yang terjadi akhir-akhir ini.

“Kita semua perlu lebih tenang dan menjaga jarak dari manuver-manuver politik yang sudah menabrak batas kepatutan maupun Undang-undang. Contohnya, manuver politik Panglima TNI Gatot Nurmantyo,” ujar Wakil Sekretaris Jenderal Partai Demokrat Rachland Nashidik, melalui pernyataan pers, Minggu (24/9) malam.

Partai Demokrat menilai pernyataan Panglima TNI yang membocorkan “data intelejen” bahwa ada institusi di luar TNI hendak membeli 5000 pucuk senjata dengan mencatut nama Presiden Jokowi dan ancaman penyerbuan institusi terkait, adalah sikap yang tidak patut.

“Kesalahan Panglima TNI yang pertama adalah ia tidak sepatutnya membocorkan data intelejen, apalagi yang sensitif, kepada publik. Ia harus lapor Presiden. Ia dapat juga menyampaikan kepada DPR. Bukan kepada sesepuh dan purnawirawan TNI dalam acara yang diliput luas oleh wartawan dan dipandang sebagai upaya untuk menghimpun dukungan bagi manuver-manuver politiknya,” ujar Rachland.

Rachland mengatakan, pernyataan Jenderal Gatot Nurmantyo yang secara fundamental paling fatal adalah saat Panglima TNI itu mengancam akan menyerbu.

Partai Demokrat mengingatkan bahwa dari sisi prinsip democratic accountability, militer tidak boleh mengambil kebijakan politik. Kebijakan politik hanya absah diambil oleh pengelola otoritas negara yang dipilih oleh pemilu demokratik. 

“Panglima TNI tidak dipilih  oleh pemilu. Panglima TNI diangkat oleh Presiden. Kewajibannya bukan mengambil kebijakan, melainkan menjalankan dan mengelola operasi,” ujarnya. 

Salah satu puncak keberhasilan reformasi TNI, lanjut Rachland, adalah memindahkan kebijakan pengerahan dan penggunaan kekuatan angkatan perang dari militer ke tangan otoritas politik. Hal itu tercantum dalam pasal 3 dan pasal 17 UU TNI. 

Seperti diketahui, dalam pembahasan Rancangan Undang Undang TNI pada awal dekade lalu, yakni awal tahun 2000, polemik institusi yang berwenang mengerahkan kekuatan TNI cukup sengit. Saat itu, publik menyoroti Pasal 19 dalam RUU, yang dipandang kontroversial karena mengijinkan Panglima TNI “dalam keadaan mendesak” mengerahkan kekuatan angkatan perang - asal dalam tempo 1 x 24 jam melapor Presiden. Namun, pasal itu - melalui perdebatan panjang di DPR yang melibatkan pimpinan TNI – akhirnya disepakati digugurkan. 

Walhasil, Undang Undang TNI yang kini berlaku menegaskan kedudukan TNI berada di bawah Presiden (Pasal 3) dan pengerahan kekuatan TNI adalah kewenangan Presiden (Pasal 17).

Partai Demokrat menyatakan Panglima TNI Gatot Nurmantyo telah melampaui kewenangan dan melanggar Undang Undang saat mengancam akan “menyerbu” BIN dan Polisi.

“Dalam tempat pertama ia (Panglima TNI) tidak boleh mengeluarkan ancaman demikian karena seharusnya ia sadar dan patuh bahwa pengerahan dan penggunaan kekuatan TNI bukan kewenangannya, melainkan kewenangan Presiden atas persetujuan DPR. Politik TNI harus selamanya politik negara, bukan politik Panglima TNI,” kata Rachland. 

“Bagi kelangsungan demokrasi, kita semua cukup waras untuk memahami: pemesanan 5000 senjata serbu oleh badan intelejen, bila itu benar, sama berbahayanya dengan Panglima TNI yang berpolitik praktis dan melampaui kewenangannya,” pungkasnya.

 

Artikel Terkait