Nasional

Analis: Polemik Soal Senjata Telah Selesai, Dukung Pemerintah Tetap Kompak

Oleh : very - Senin, 25/09/2017 14:09 WIB

(Kiri ke kanan) Kepala BIN Jenderal Polisi Budi Gunawan, Menko Polhukam Wiranto, Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo, dan Kapolri Jenderal Tito Karnavian. (Foto: Ist)

Jakarta, INDONEWS.ID - Beberapa hari ini ruang publik gaduh karena isu komunis alias PKI. Selain itu, ruang publik juga bising dengan munculnya isu pemesanan 5 ribu senjata secara ilegal.

Panglima TNI Gatot Nurmantyo dalam sebuah kesempatan mengatakan  bahwa ada rencana pengadaan 5 ribu senjata ilegal oleh institusi di luar TNI dan Polri, dengan mencatut nama Presiden Jokowi. Munculnya isu ini tentu semakin mamanaskan ruang publik yang sebelumnya sudah terisi dengan isu kebangkitan komunis. 

Untungnya, polemik terkait 5 ribu senjata ini cepat diredam oleh Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan Jendral TNI (Purn) Wiranto. Dalam keterangan resminya, Wiranto manyatakan bahwa pengadaan senjata tersebut dilakukan oleh BIN guna keperluan pendidikan intelijen. Jumlah yang dipesan lima ratus (500) bukan lima ribu (5.000) dengan menggunakan dana APBN. Pengadaan senjata tersebut, karena bukan jenis senjata organik TNI, maka perizinan cukup melalui Mabes Polri.

Analis intelijen dan terorisme, alumnus Pascasarjana Kajian Stratejik Intelijen Universitas Indonesia, Stanislaus Riyanta mengatakan, penjelasan Wiranto tersebut sekaligus mengakhiri kegaduhan dan polemik yang sudah terjadi.

“Polemik soal senjata sudah selesai. Kegaduhan seperti ini seharusnya tidak perlu terjadi di ruang publik. Apalagi jika ternyata isu yang muncul tersebut kurang akurat dan terbantahkan. Publik akan melihat bahwa pemerintah kurang solid dan ini secara langsung bisa membuat masyarakat cemas,” ujarnya melalui siaran pers, Senin (25/9).

Stanislaus mengatakan, informasi intelijen sebaiknya tidak muncul di ruang publik, apalagi menyangkut rahasia negara. Berbeda jika informasi intelijen tersebut memang perlu dikeluarkan guna kepentingan menumbuhkan kewaspadaan masyarakat, misalnya terkait ancaman terorisme. 

“Saat ini yang paling penting dilakukan adalah meningkatkan kekompakan pemerintah dan bersama-sama dengan masyarakat mewujudkan negara Indonesia yang aman, damai dan sejahtera. Kegaduhan-kegaduhan yang muncul bisa menjadi titik rawan masuknya ancaman bagi negara,” ujar Mahasiswa Doktoral Fakultas Ilmu Administrasi UI ini.

Stanislaus meminta masyarakat agar terus mendukung pemerintah yang sah dan konstitusional. “Masyarakat jangan sampai bersimpati terhadap pemimpin lembaga A kemudian menjadi antipati terhadap pemimpin lembaga B. Lembaga-lembaga pemerintah harus dilihat dalam satu kesatuan untuk pemerintah Indonesia yang harus didukung penuh,” tegasnya. 

Diakui Stanislaus bahwa kemajuan teknologi membuat informasi dengan mudah menyebar ke ruang publik. Masyarakat dengan mudah memperoleh informasi apapun. Karena itu, masyarakat diminta berhati-hati agar informasi itu tidak menimbulkan dampak negatif.

Stanislaus menegaskan bahwa kehati-hatian dalam memberikan informasi dan mengambil keputusan harus dilakukan oleh siapapun yang mempunyai kewenangan untuk hal tersebut. Masyarakat jangan sampai masuk dan terjebak dalam arus informasi yang bias persepsi. 

“Hal yang paling penting dilakukan oleh masyarakat justru mencintai negaranya dan mendukung pemerintahnya yang sah dan konstitusional. Dengan rasa cinta tanah air dan kepercayaan kepada negara yang kuat maka masyarakat memberikan dukungan dan energi positif kepada pemerintah,” pungkasnya. (Very)

 

Artikel Terkait