Nasional

ATVSI Nilai Konsep "Single Mux Operator" Ciptakan Monopoli dan Tidak Demokratis

Oleh : very - Senin, 25/09/2017 21:02 WIB

Ketua Asosiasi Televisi Swasta Indonesia (ATVSI) Ishadi SK. (Foto: Liputan6.com)

Jakarta, INDONEWS.ID-  Pembahasan Rancangan Undang Undang Penyiaran saat ini telah memasuki tahap harmonisasi, pembulatan dan pemantapan antara Badan Legislasi (Baleg) dengan Komisi I DPR RI. Jika kesepakatan dalam rapat tersebut tercapai, Baleg akan menyerahkan draf RUU ke Komisi I DPR yang nantinya Komisi I akan membawa draf RUU Penyiaran ke Sidang Paripurna DPR untuk disahkan menjadi RUU Penyiaran Inisiatif DPR.

Meskipun demikian, melihat hasil rapat harmonisasi, pembulatan dan pemantapan pada tanggal 20 September yang lalu, konsep RUU Penyiaran tersebut dinilai masih jauh dari harapan dalam menciptakan industri penyiaran yang sehat dikarenakan masih ada sejumlah poin yang secara substansi belum menemukan titik temu.

Sepertinya Komisi 1 DPR masih tetap ngotot bahwa Baleg tidak memiliki kewenangan dalam melakukan perubahan substasnsi atas konsep RUU Penyiaran versi Komisi 1 sedangkan dilain pihak Baleg berpendapat bahwa kewenangan tersebut diberikan kepada Baleg berdasarkan UU No 12/2011 dan UU MD3.

Salah satu dari perubahan substansi yang dilakukan oleh Baleg adalah tentang model bisnis migrasi sistem penyiaran televisi terresterial penerimaan tetap tidak berbayar (TV FTA) analog menjadi digital. Intinya Komisi 1 tidak bersedia untuk mengubah konsep single mux operator dan penetapan Lembaga Penyiaran Publik Radio Televisi Republik Indonesia (LPP RTRI) sebagai satu-satunya penyelenggara penyiaran multipleksing digital.

Ketua Asosiasi Televisi Swasta Indonesia (ATVSI) Ishadi SK menilai, penerapan konsep single mux berpotensi menciptakan praktik monopoli dan bertentangan dengan demokratisasi penyiaran. Dalam konsep tersebut frekuensi siaran dan infrastruktur dikuasai oleh single mux operator dalam hal ini LPP RTRI, justru menunjukkan adanya posisi dominan atau otoritas tunggal oleh Pemerintah yang diduga berpotensi disalahgunakan untuk membatasi pasar industri penyiaran.

”Kami tegaskan menolak konsep single mux tersebut. Bisa dilihat bahwa konsep yang sarat dengan praktik monopoli itu jelas-jelas bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, sekalipun hal tersebut dilakukan oleh lembaga uyang dimiliki oleh Pemerintah,” jelas Ishadi SK dalam keterangan tertulisnya kepada wartawan di Jakarta, Senin (25/9).

Ishadi menegaskan bahwa konsep single mux bukan solusi dalam migrasi TV analog ke digital. Penetapan single mux operator, katanya, akan berdampak kepada LPS eksisting yang akan menghadapi ketidakpastian karena frekuensi yang menjadi roh penyiaran dan sekaligus menjadi jaminan terselenggaranya kegiatan penyiaran dikelola oleh satu pihak saja. Selain itu, terjadi pemborosan investasi infrastruktur yang sudah dibangun dan menyebabkan terjadinya pemutusan hubungan kerja karyawan stasiun televisi yang selama ini mengelola infrastruktur transmisi.

“Solusinya dengan memajukan penyiaran multipleksing yang dilaksanakan oleh LPP dan LPS atau yang dikenal dengan model bisnis hybrid. Konsep hybrid merupakan solusi dan bentuk nyata demokratisasi penyiaran yang merupakan antitesa dari praktek monopoli (single mux),” imbuh Ishadi.

Ishadi mengatakan, saat ini konsep single mux operator hanya diterapkan oleh dua negara anggota International Telecommunication Union (ITU), yaitu Jerman dan Malaysia. Di kedua negara tersebut, market share TV FTA hanya 10% dan 30% sedangkan sisanya didominasi oleh TV kabel dan DTH. Sedangkan di Indonesia justru market shares TV FTA sebesar 90% sedangkan sisanya 10% adalah TV Kabel.

“Kita harus melihat bahwa konsep single mux yang ditetapkan di Malaysia justru tidak berjalan mulus dan banyak masalah sejak diluncurkan. Tingkat layanannya rendah dan harga tidak kompetitif sehingga para stasiun televisi termasuk stasiun televisi yang dimiliki oleh Pemerintah tidak mau membayar biaya sewa kanal. Dan ini tidak sehat bagi industri penyiaran,” kata Ishadi.

Lebih lanjut Ishadi mengatakan, berbagai upaya sudah dilakukan oleh ATVSI, salah satunya dengan melakukan road show ke sejumlah partai politik yang ada di DPR, dengan menjelaskan konsep dan juga poin penting usulan alternatif ATVSI kepada para ketua partai politik.

 

Marjinalisasi Lembaga Penyiaran

Sementara itu Pengamat Komunikasi Politik Universitas Palita Harapan Emrus Sihombing mengatakan, untuk menjamin kebebasan berpendapat sejatinya negara memberikan otonomi kepada lembaga penyiaran untuk mengelola aspek, termasuk frekuensi dan infrastruktur yang terkait dalam proses produksi program acara.

Menurut Emrus, pengelolaan frekuensi dan infrastruktur secara sentralistik atau tunggal membuat lembaga penyiaran termajinalisasi. Dengan skema itu tentu berpotensi menimbulkan praktik monopoli yang mendorong terciptanya persaingan usaha yang kurang sehat.

“Selain itu, bisa terjadi dominasi operator terhadap lembaga penyiaran. Sebab operator menguasai frekuensi dan infrastruktur yang dapat membatasi gerak langkah lembaga penyiarn memproduksi program acara yang secepat mungkin disampaikan kepada publik dan bermutu,” ujar Emrus.

Senada dengan Emrus, Direktur Eksekutif Lembaga Pengembangan Pemberdayaan Masyarakat Informasi Indonesia (LPPMII), Kamilov mengatakan bahwa penetapan LPP Radio Televisi Republik Indonesia (RTRI) menjadi penyelenggara tunggal penyiaran multipleksing digital atau lebih dikenal dengan Single Mux, bertentangan dengan semangat demokrasi yakni terkait larangan praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat.

Kamilov Sagala menilai isi RUU Penyiaran 2017 tidak sejalan dengan Pasal-pasal dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.

Menurut Kamilov, Komisi 1 tidak memperhatikan keseimbangan antara kepentingan pelaku usaha dengan kepentingan umum. Penetapan LPP RTRI menjadi Multiplexer Tunggal juga akan berakibat pada menurunnya iklim usaha yang kondusif serta jaminan kepastian dan kesempatan berusaha tidak ada karena sudah terjadi praktek monopoli oleh LPP RTRI melalui RUU Penyiaran ini.

Karena itu, Kamilov meminta Komisi 1 DPR RI agar menjadi pihak yang menjamin tumbuhnya iklim kompetisi yang sehat dalam industri penyiaran.

“Namun disesalkan, Komisi 1 malah menjadi pihak yang merusak iklim kompetisi dengan hanya mendengar masukan-masukan pihak yang tidak sepenuhnya mengerti proses penyelenggaraan TV FTA di Indonesia. Komisi 1 sebaiknya mendengar masukan dari pelaku industri secara komprehensif, bukan malah mengabaikan prinsip demokrasi dalam industri penyiaran,” pungkasnya. (Very)

 

Artikel Terkait