Nasional

Ada 6 Kejanggalan Praperadilan Novanto, Publik Diminta Antisipasi Putusan Terburuk

Oleh : very - Jum'at, 29/09/2017 10:59 WIB

Hakim tunggal Cepi Iskandar memimpin sidang praperadilan Setya Novanto. (Foto: Republika.co.id)

Jakarta, INDONEWS.ID - Putusan praperadilan penetapan tersangka Setya Novanto akan dikeluarkan pada Jumat (29/9/2017) hari ini. Selama proses persidangan praperadilan yang dimulai pada 12 September 2017, KPK sudah kooperatif menghadirkan 193 bukti untuk menguatkan dasar penetapan SN sebagai tersangka, serta ahli-ahli baik di bidang hukum maupun teknologi informasi dalam persidangan.

Namun demikian, Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Lalola Easter meminta publik untuk mengantisipasi kemungkinan besar dikabulkannya permohonan tersebut oleh Hakim Tunggal, Cepi Iskandar.

“Hal ini bukan tanpa dasar, karena berdasarkan pemantauan yang dilakukan oleh ICW, paling tidak ada 6 (enam) kejanggalan dari seluruh proses persidangan yang berlangsung selama satu pekan ini,” ujarnya di Jakarta, Kamis (28/9).

Berikut, keenam kejanggalan praperadilan Setya Novanto versi ICW:

  1. Hakim menolak memutar rekaman bukti keterlibatan SN dalam korupsi KTP-El. 

Pada sidang praperadilan Rabu, 27 September 2017, Hakim menolak memutar rekaman KPK sebagai bukti keterlibatan SN dalam korupsi KTP-El. Penolakan ini sangat janggal, karena Hakim berpandangan bahwa pemutaran rekaman tersebut sudah masuk pokok perkara, padahal rekaman pembicaraan tersebut adalah salah satu bukti yang menunjukkan keterlibatan SN dalam perkara korupsi KTP-El.

Dengan dasar rekaman tersebut, KPK menetapkannya sebagai salah satu bukti –yang dibarengi dengan 193 bukti lainnya- untuk menetapkan SN sebagai tersangka.

“Di sisi lain, Hakim Cepi Iskandar justru membuka ruang pengujian materi perkara dengan menolak eksepsi KPK terkait dengan pembuktian keterpenuhan unsur pada Pasal 2 ayat (1) UU Tipikor, yang menjadi salah satu dalil permohonan praperadilan SN. Padahal, pembuktian keterpenuhan unsur Pasal 2 ayat (1) UU Tipikor sudah masuk pada pembuktian pokok perkara, dan tidak sepatutnya disidangkan lewat mekanisme praperadilan,” ujar Lalola.

  1. Hakim menunda mendengar keterangan ahli dari KPK

Pada 27 September 2017, Hakim Cepi Iskandar menolak Ahli Teknologi Informasi Universitas Indonesia, Bob Hardian Syahbudin sebagai ahli dalam persidangan praperadilan. Alasan Hakim Cepi menolak kehadiran Bob Hardian sebagai ahli adalah, karena materi yang disampaikan pada persidangan sudah masuk pokok perkara pembuktian korupsi KTP-El. Di saat yang sama, Bob Hardian sudah memberikan keterangan tertulis pada proses penyidikan korupsi KTP-El.

“Ahli dihadirkan untuk memberi kesaksian terkait dengan temuannya dalam evaluasi sistem teknologi informasi KTP-El. Namun, hakim menolak kehadiran Bob Hardian sebagai ahli, dan dengan demikian menunda pemberian keterangannya,” ujarnya.

  1. Hakim menolak eksepsi KPK

Hakim Cepi Iskandar menolak eksepsi KPK yang disampaikan pada 22 September 2017. Dalam eksepsinya, KPK menyampaikan 2 (dua) hal yang menjadi keberatannya yaitu terkait status penyelidik dan penyidik independen KPK dan dalil permohonan SN yang sudah memasuki substansi pokok perkara.

Keabsahan dan konstitusionalitas penyelidik dan penyidik independen KPK sudah ditegaskan oleh Mahkamah Konstitusi melalui Putusan Nomor 109/PUU-XIII/2015, namun hal tersebut tidak dipertimbangkan oleh Hakim, padahal putusan tersebut mengikat sebagai norma hukum atas peraturan perundang-undangannya yang diuji materilkan. 

Selain itu, Hakim Cepi Iskandar juga mengabaikan keterangan KPK yang menyebutkan bahwa dalil permohonan SN sudah masuk dalam pokok perkara. SN menguji keabsahan alat-alat bukti yang dijadikan dasar untuk menjeratnya sebagai tersangka dugaan korupsi, yang diatur dalam Pasal 2 ayat (1) UU Tipikor.

“Logika yang sama tidak muncul ketika KPK mengajukan permohonan untuk memperdengarkan rekaman pembicaraan, yang menguatkan dalil keabsahan penetapan SN sebagai tersangka,” jelas Lalola.

  1. Hakim abaikan permohonan Intervensi dengan alasan gugatan tersebut belum terdaftar di dalam sistem informasi pencatatan perkara.

Dalam sidang praperadilan 22 September 2017, Hakim Tunggal Cepi Iskandar mengabaikan permohonan intervensi yang diajukan oleh Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) dan Organisasi Advokat Indonesia (OAI). Pengabaian tersebut dilakukan dengan alasan gugatan dari para pemohon intervensi belum terdaftar dalam sistem informasi pencatatan perkara.

Keterangan tersebut sungguh janggal, karena berdasarkan penelusuran, MAKI sudah mendaftarkan gugatan sebagai pemohon intervensi sejak 6 September 2017. Gugatan intervensi tersebut sejatinya menguatkan posisi KPK, namun akhirnya tidak diperhitungkan oleh Hakim, padahal permohonan sudah didaftarkan sebelum sidang pertama dilakukan pada 12 September 2017. 

  1. Hakim bertanya kepada Ahli KPK tentang sifat adhoc lembaga KPK yang tidak ada kaitannya dengan pokok perkara praperadilan.

Dalam mendengar keterangan dari ahli Hukum Tata Negara Universitas Andalas Feri Amsari, Hakim bertanya mengenai sifat adhoc lembaga KPK, padahal tidak ada materi sidang praperadilan yang berkaitan dengan hal tersebut. “Pertanyaan ini jelas tidak pada tempatnya, sehingga motivasi Hakim Cepi Iskandar ketika mengajukan pertanyaan tersebut, patut dipertanyakan,” ujarnya.

  1. Laporan kinerja KPK yang berasal dari Pansus dijadikan bukti Praperadilan

Kuasa Hukum SN membawa sejumlah bukti, yang salah satunya adalah LHP BPK Nomor 115/HP/XIV/12/2013 atau LHKP KPK 115, yang pada intinya menjabarkan kinerja KPK selama 10 tahun ke belakang.

“Dokumen ini diduga diperoleh tanpa melalui mekanisme yang sah, karena dokumen tersebut diduga diperoleh dari Pansus Angket KPK, bukan dari lembaga resmi yang seharusnya mengeluarkan, yaitu BPK,” pungkasnya. (Very)

 

Artikel Terkait