Nasional

Skenario Politik dan Strategi Indonesia Menuju 2019

Oleh : indonews - Senin, 02/10/2017 10:41 WIB

Stanislaus Riyanta, analis intelijen, alumnus Pascasarjana Kajian Stratejik Intelijen Universitas Indonesia, saat ini sedang menempuh studi Doktoral di Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia. (Foto: Ist)

Oleh: Stanislaus Riyanta*)

SITUASI politik Indonesia menuju Pilkada 2018 dan Pilpres 2019 saat ini kian memanas. Beberapa tokoh mulai muncul di panggung politik. Bahkan petinggi militer mulai ditarik-tarik ke arena politik. Tentu saja hal yang wajar jika masyarakat maupun perorangan menginginkan tokoh tertentu yang menjadi idolanya untuk tampil menjadi pemimpinnya. Namun kewajaran tersebut harus dijaga supaya tetap dalam koridor kepentingan bangsa dan negara.

Di sisi lain, momentum Pilkada 2018 yang akan mendahului Pilpres 2019 diperkirakan akan menjadi uji kekuatan dan kesempatan menggalang massa. Diperkirakan ada kelompok tertentu yang akan menguji efektifitas isu-isu SARA sebagai daya tarik menggalang massa. Aksi  ini diprediksi akan menggunakan Pilkada DKI Jakarta sebagai model. Penggunaan isu SARA dalam politik harus diwasapadai dan dicegah supaya tidak berdampak polarisasi di masyarakat.

 

Kemunculan Gatot Nurmantyo

Usaha menarik petinggi militer, dalam hal ini Panglima TNI Gatot Nurmantyo, membuat situasi nasional cenderung panas. Motivasi politik inilah yang diduga menjadi pemicu ketidakharmonisan antara TNI dengan Polri, BIN dan Kemhan. Kelompok radikal kanan yang terus mencoba menggandeng Panglima TNI sebagai tokoh yang diduga akan diproyeksikan sebagai capres memicu ketidakharmonisan yang terjadi antara TNI dengan lembaga lain.

Gatot Nurmantyo terbaca oleh publik sedang mengumpulkan modal politiknya. Safari ke kampus-kampus dan partai politik, serta berbagai peryataan dalam berbagai forum semakin menguatkan persepsi bahwa Gatot Nurmantyo sedang membangun kepercayaan dan simpati publik untuk kepentingan 2019, meskipun dalam berbagai kesempatan Gatot Nurmantyo masih enggan mengakuinya. Isu soal adanya 5 ribu senjata ilegal dan kebangkitan komunis semakin menambah polarisasi pendukung Gatot dan kelompok yang bukan pendukung Gatot. Tentu saja Gatot juga memperoleh tambahan pendukung dari pihak yang tidak mendukung Joko Widodo.

Kemunculan Gatot dalam panggung politik diprediksi sangat mengganggu Prabowo Subianto. Jika memang Gatot ingin maju dalam Pilpres 2019 maka hal itu akan memecah suara dari pendukung Prabowo. Basis pemilih Prabowo yang mendambakan Presiden dari kalangan militer akan terpecah, sebagian akan beralih ke Gatot sebagai tokoh alternatif dengan basis militer.

Munculnya Gatot di sisi lain bisa menguntungkan Joko Widodo. Kekuatan rival Joko Widodo pada pemilu sebelumnya, Prabowo Subianto, akan terbelah. Namun sebaliknya, Gatot yang terlihat mulai membangun basis massa terutama dari kalangan kalangan Islam dan pihak yang menginginkan militer sebagai Presiden, jika tidak jadi maju dalam Pilpres, akan sangat menguntungkan Prabowo Subianto. Hal ini terjadi karena basis pemilih Gatot akan berpindah dan memilih Prabowo, yang mempunyai basis militer, daripada memilih Joko Widodo yang berbasiskan sipil.

Opsi  Joko Widodo untuk merangkul Gatot Nurmantyo sebagai cawapres patut dipertimbangkan. Jika hal ini yang terjadi maka Prabowo Subianto akan bekerja dengan keras untuk melawan Joko Widodo, mengingat basis massa pendukung militer sebagai pemimpin negara akan tergerus dengan pencalonan Joko Widodo – Gatot Nurmantyo. Strategi membiarkan Gatot masuk arena politik untuk meraih massa dan memecah basis massa Prabowo Subianto, kemudian menarik dan menjadikan pasangan tentu saja bukan hal yang mustahil untuk dilakukan oleh Joko Widodo.

Joko Widodo mempunyai banyak alternatif untuk memilih pasangan selain Gatot Nurmantyo. Pilihan dari calon alternatif seperti Sri Mulyani atau Susi Pudjiastuti bisa meraih suara dari kelompok rasional dan moderat, walaupun tentu akan memperoleh tantangan berat dari kelompok berbasikan agama dan yang menginginkan kombinasi sipil-militer.

 

Celah Kerawanan Joko Widodo

Isu komunisme, anti Islam, dan pro China terus didengungkan oleh kelompok oposisi Joko Widodo. Isu ini jelas ditujukan untuk melemahkan kepercayaan masyarakat terhadap Joko Widodo. Tidak hanya menyerang Joko Widodo, kelompok radikal kanan yang gencar mengusung isu-isu populis tersebut terlihat mulai berhasil menggandeng Gatot Nurmantyo, yang saat ini dianggap oleh sebagian publik mulai berseberangan dengan Joko Widodo. Bahkan Gatot Nurmantyo dianggap mulai melakukan manuver politik kepada  Joko Widodo dengan mengkritisi lembaga-lembaga pemerintah yang pemimpinnya sangat dipercaya Joko Widodo seperti Polri dan BIN, walaupun hal ini selalu dibantah oleh Gatot Nurmantyo dan Pemerintah.

Joko Widodo harus menutup celah kerawanan yang bisa menjadi sasaran tembak dari kelompok oposisi. Situasi lembaga negara yang akhir-akhir ini kurang harmonis terutama antara TNI dengan Polri, BIN dan Kemhan harus diselesaikan. Isu soal senjata dan komunis yang dikapitalisasi untuk pembenaran langkah dan pernyataan Panglima di mata kelompok oposisi pemerintah harus segera dihentikan. Joko Widodo harus bersikap tegas untuk mengatasi situasi ini.

Aksi kelompok radikal kanan juga akan terus menganggu Joko Widodo. Isu Perppu No 2 Tahun 2017 yang dianggap sebagai penghambat laju kelompok radikal akan digunakan sebagai senjata menyerang Joko Widodo yang dianggap menjalankan sikap anti demokrasi. Kelompok yang sudah berhasil memenjarakan Ahok dan memenangkan Anies sebagai Gubernur DKI Jakarta ini akan terus mengkapitalisasi isu komunis yang dianggap musuh dan lawan kelompok berbasis agama untuk melemahkan Joko Widodo.

Joko Widodo bisa menggunakan dan merangkul kelompok islam moderat untuk mementahkan isu anti Islam. NU dan Muhammadiyah bisa dirangkul dengan semangat dan tujuan nasionalisme untuk melawan aksi dari kelompok Islam radikal. Walaupun terbaca bahwa kelompok radikal kanan tidak akan menggunakan cara-cara non konstitusional untuk menguasai politik Indonesia. Kesuksesan Pilkada DKI Jakarta membuat kelompok radikal kanan semakin percaya diri untuk menggunakan saluran demokrasi sebagai jalan menguasai perpolitikan Indonesia.

 

Potensi Kebangkitan Cendana

Kekuatan keluarga Cendana tidak bisa diremehkan. Cendana dengan kekuatan jaringan dan finasialnya bisa menggalang kelompok massa. Kebangkitan Cendana dalam percaturan politik di Indonesia tidak semata-mata harus ada trah Cendana yang maju dalam Pilpres, tetapi bisa juga dengan mendukung orang dari luar keluarga Cendana.

Kedekatan keluarga Cendana dengan kelompok tertentu bisa dibaca mulai dari aksi-aksi yang menentang Ahok. Keberpihakan keluarga Cendana pada kelompok tertentu memang wajar dan sah-sah saja, termasuk jika nanti keluarga Cendana menjadi sponsor bagi calon yang menjadi lawan bagi Joko Widodo. Kekuatan jaringan dan finasial Cendana harus diperhitungkan dengan cermat karena bisa menjadi pengusung kuda hitam dalam Pilpres 2019 nanti.

 

Skenario Indonesia 2019

Ada tiga skenario yang mungkin terjadi dalam Pilkada 2018 dan Pilpres 2019 nanti. Skenario ini bukan mengacu pada siapa pemenang atau siapa yang kalah, tetapi menggambarkan bagaimana situasi Indonesia pada Pilkada 2018 dan Pilpres 2019.

Skenario pertama adalah skenario terbaik. Dalam skenario ini situasi politik di Indonesia berjalan dengan aman dan tertib, tidak terjadi konflik, aparat negara berkerja dengan profesional dan Pemilu menghasilkan pemimpin yang diterima oleh masyarakat. Skenario ini disebut skenario optimistis. Skenario ini bisa terjadi jika pemerintah berhasil meredam isu-isu SARA yang berpotensi menjadi pemicu polarisasi. Selain itu pemerintah juga berhasil melakukan perbaikan administrasi di KPU. Kinerja aparat intelijen dan aparat keamanan baik sehingga ancaman yang mungkin terjadi dapat dideteksi dan dicegah sejak dini. Masyarakat yang semakin dewasa dalam berpolitik tidak menganggap perbedaan sebagai masalah tetapi sebagai kekayaan bangsa.

Skenario kedua adalah skenario transformatif. Dalam skenario ini terjadi ancaman dan gangguan keamanan yang disebabkan dampak dari dinamika politik. Polarisasi yang terjadi akibat isu-isu SARA menjadi pemicu konflik. Aparat yang sudah disiapkan sebelumnya berhasil menangani konflik dengan baik. Skenario ini terjadi jika memang ancaman konflik tidak bisa dicegah namun aparat sudah mempersiapkan diri dengan baik. Selain itu aparat juga profeisonal dan kompak dalam menangani konflik sosial sebagai tugas negara yang mulia dan bebas dari kepentingan politik. Meskipun skenario ini menimbulkan trauma tapi pemerintah bisa melakukan pemulihan dengan baik.

Skenario ketiga adalah skenario pesimistis atau skenario terburuk. Dalam skenario ini terjadi ancaman gangguan keamanan akibat dampak pilpres dan tidak bisa tertangani. Skenario ini bisa terjadi jika polarisasi yang menguat tidak hanya di masyarakat tetapi juga di lembaga negara seperti TNI dengan Polri. Aparat keamanan tidak fokus dengan tugasnya karena sibuk meredam situasi dengan lembaga lain yang tidai harmonis. Ancaman tidak bisa dideteksi dini dan gagal dicegah. Penanganan terlambat sehingga konflik horisontal terjadi dan menimbulkan korban.

 

Strategi Tanggap Skenario

Strategi untuk mencegah dan menghadapi skenario transformatif dan skenario persimistis perlu disiapkan sehingga situasi dapat diarahkan pada skenario optimistis. Startegi yang perlu dilakukan oleh pemerintah agar Pilkada 2018 dan Pilpres 2019 berjalan dengan aman, tertib dan damai adalah:

Pertama, melakukan konsilidasi lembaga-lembaga negara agar tetap kompak dan harmonis di bawah satu kendali Presiden. Jika ada pimpinan lembaga yang ingin berpolitik sebaiknya secara tegas keluar dari lembaga negara sehingga bisa lebih fokus mencapai tujuan politiknya tanpa menggangu kinerja lembaga negara yang melayani masyarakat.

Kedua, menangkal isu-isu yang mengarah terjadinya polarisasi. Isu-isu komunis, anti islam, pro China, dan lainnya harus segera ditangkal dengan sebanyak mungkin merangkul elemen masyarakat yang masih menjunjung tinggi Pancasila, Bhineka Tunggal Ika, dan nasionalisme.

Ketiga, menutup segala celah kerawanan yang bisa menjadi pintu masuk ancaman Pilkada 2018 dan Pilpres 2019 seperti administrasi kependudukan yang kurang baik, sikap intoleran sektarian dan radikal yang menumpulkan nasionalisme, dan termasuk potensi pertikaian TNI-Polri yang akan mengurangi kewaspadaan dan tugas pokoknya menjaga pertahanan dan keamanan negara.

Keempat, melakukan aksi kontra intelijen guna mencegah terjadinya aksi intelijen dari pihak lain.

 

Penutup

Pilkada 2018 dan Pilpres 2019 sebagai rangkaian kegiatan politik di Indonesia harus dilaksanakan dengan aman, damai dan tertib. Potensi ancaman seperti konflik sosial berpeluan besar terjadi. Hal ini dimungkinkan karena ada celah kerawanan seperti disharmonisasi aparat keamanan dan polarisasi akibat isu SARA.

Skenario terburuk tidak boleh terjadi. Pemerintah dan masyarakat harus bahu-membahu untuk menciptakan situasi terbaik sehingga skenario optimis yang terjadi. Kekompakan pemerintah dan kesadaran masyarakat untuk berorientasi kepada eksistensi negara yang berideologi Pancasila dan Berbhineka Tunggal Ika menjadi kunci agar Indonesia tetap kondusif pada sebelum, pada saat, dan sesudah Pilkada 2018 dan Pilpres 2019.

 *) Stanislaus Riyanta, analis intelijen, alumnus Pascasarjana Kajian Stratejik Intelijen Universitas Indonesia, saat ini sedang menempuh studi Doktoral di Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia.

 

Artikel Terkait