Pojok Istana

Sudah Dihembuskan Anies Baswedan, Jokowi Harus Waspadai Gejala Politik "Post-Truth"

Oleh : very - Jum'at, 20/10/2017 17:25 WIB

Acara Ngopi Projo bertajuk Siapa Wapres Jokowi 2019? di Balai Sarwono, Kemang, Jakarta Selatan, Jumat (19/10/2017). (Foto:Very/Indonews.id)

Jakarta, INDONEWS.ID - Berbagai survei memperlihatkan kepuasan masyarakat terhadap kerja pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla berada pada tingkat yang cukup besar.

Sebut saja di antaranya, survei Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) yang menunjukkan tingkat kepuasan terhadap pemerintahan Jokowi mencapai 68 persen. Survei Indikator Politik Indonesia juga menempatkan kepuasan terhadap pemerintahan Jokowi mencapai 68,3 persen.

Namun, kepuasan terhadap kinerja Presiden Jokowi ini tidak serta merta diikuti oleh tingkat elektabililtasnya. Hal ini bisa terbaca dari tingkat elektabilitas Jokowi yang berada di bawah 50 persen.

Direktur Indikator Politik Indonesia Burhanuddin Muhtadi mengatakan, hal itu memperlihatkan terjadinya gejala “post-truth”, yaitu orang memilih bukan berdasarkan kinerja, tetapi karena faktor lain seperti identitas.

“Karena itu, walalu saat ini Jokowi merupakan capres dengan elektabilitas tertinggi, tetapi menurut saya belum aman. Walau orang mengakui kinerjanya, tetapi belum tentu mereka memilih Jokowi. Inilah yang disebut dengan post-truth,” ujar Burhanuddin dalam acara “Ngopi  Projo, Ngobrol Politik Indonesia yang mengambil tema Siapa Wapres Jokowi 2019?”, di Balai Sarwono, Kemang, Jakarta Selatan, Jumat (20/10/2017).

Ngobrol politik itu juga menghadirkan Ketua Umum Projo (Pro-Jokowi) Budi Arie Setiadi dan wartawan senior Kompas, Budiarto Shambazy.

Burhanuddin mengatakan, fenomena politik post-truth ini telah terjadi dalam Pilkada DKI Jakarta pada 2017 lalu. Walau tingkat kepuasan masyarakat terhadap Basuki Tjahaja Purnama-Djarot Saiful Hidayat cukup tinggi, yaitu mencapai 74 persen, tetapi pasangan ini justru terjungkal.

“Di Indonesia, khususnya di Pilkada DKI, kinerja incumbent bukan satu-satunya faktor keterpilihan. Buktinya, warga DKI yang puas pada Ahok mencapai 74 persen, tetapi tidak memilih Ahok. Kita temukan ada 30 persen pemilih yang puas pada Ahok, tapi tidak memilih Ahok. Ini bisa saja terjadi pada pemilu 2019,” ujarnya.

Burhan – panggilan Burhanuddin- mengatakan, fenomena post-truth merupakan perilaku politik warga global yang memilih pejabat publik tidak semata-mata karena faktor objektif, tapi karena tarikan emosional. “Ini sebenarnya kabar yang buruk buat proses pendewasaan politik kita. Karena alasan memilih karena faktor primordial, dan bukan karena pertimbangan meritokrasi,” ujarnya.

Burhan mengatakan, sebagian pihak coba kembali mereproduksi fenomena ini untuk kepentingan Pilpres 2019. Hal ini misalnya terbaca dalam Pidato Politik Anies Baswedan usai dilantik menjadi Gubernur DKI Jakarta beberapa waktu lalu.

Menurut Burhan, pidato politik Anies mengirim pesan ke arah politik primordial. “Pidato Anies yang menggunakan kata pribumi dan terjajah itu memang bukan fenomena baru. Tapi hal itu hanya bisa dibaca oleh mereka yang mengerti (politik). Dan dalam konteks ini, harus dibayar mahal, kalau elektoral dipilih berdasarkan pilihan primordial,” ujarnya. (Very)

Artikel Terkait