INDONEWS.ID

  • Selasa, 21/08/2018 08:55 WIB
  • Menakar Golput Ahokers dalam Pilpres 2019

  • Oleh :
    • indonews
Menakar  Golput Ahokers dalam Pilpres 2019
Muhammad AS Hikam. (Foto: Ist)

Muhammad AS Hikam*)

Kekhawatiran sementara pihak bahwa para pendukung mantan Gubermur DKI,  Basuki Tjahaja Purnama, alias Ahok, atau yang disebut dengan "Ahokers",  akan menjadi Golput yang mengurangi perolehan suara petahana, patut untuk dicermati. Hal ini merupakan salah satu implikasi dari terpilihnya KH. Ma`ruf Amin (MA), Ketua MUI dan juga Rais Aam PBNU, sebagai cawapres petahana Presiden Jokowi pada 9 Agustus 2018 lalu.

Baca juga : Kartelisasi Politik dan Masa Depan Demokrasi Indonesia

Seperti diketahui, MA adalah sosok yang menjadi salah satu ikon dalam kasus pidana penghinaan agama yang menimpa Ahok pada 2017, yang bukan saja berujung pada vonis penjara 2 tahun kepada sang Gubernur, tetapi juga berkontribusi sangat signfikan terhadap kekalahan beliau dalam Pilkada 2017 melawan pasangan calon Anies Baswedan dan Sandiaga Uno. 

Terpilihnya MA sebagai cawapres, bukan saja mengejutkan tetapi sekaligus juga menimbulkan kontroversi: apakah pilihan Presiden Jokowi, yang notabebene adalah sosok yang sangat dekat dengan Ahok, merupakan perubahan paradigmatik yang sangat mendalam? Bahkan bagi para Ahokers yang memiliki idealisme membangun demokrasi yang berasaskan Pancasila dan UUD 1945, pilihan Presiden Jokowi tersebut dianggap sebagai semacam sebuah "U-turn" politik yang terjadi karena tekanan parpol demi kepentingan mereka sendiri dalam rangka mengantisipasi Pilpres 2014.

Baca juga : Ancaman Pemazkulan Presiden Adalah Intimidasi Politik Murahan

Itulah sebabnya ketika kemudian wacana golput para Ahokers itu muncul di ruang publik, hal tersebut segera mendapat respon yang bermacam-macam, mulai dari anggapan bahwa wacana tersebut hanya merupakan reaksi psikologis spontan akibat kekagetan dan/ atau keterkejutan (shock) sementara, sampai pada anggapan bahwa wacana tersebut benar-benar akan memiliki resonansi elektoral berupa tergerusnya suara Presiden Jokowi dalam Pilpres 2019.

Saya termasuk pengamat yang tidak menyepelekan dampak golputnya para Ahokers, bukan saja terhadap elektoral tetapi juga proses konsolidasi demokrasi di negeri ini yang, meminjam istilah Buya Syafii Maarif, masih dalam kondisi `terseok-seok`.

Baca juga : Demo Mahasiswa Harus Jadi "Wake up Call" Bagi Presiden

Benar bahwa ada kemungkinan keterkejutan para Ahokers ini hanya gejala sementara, namun hemat saya apabila petahana tidak melakukan manajemen politik yang efektif, isu ini bisa menjadi bola liar. Ia bisa saja menyebabkan golput para Ahokers marak dan, bahkan, bisa juga mendorong perpindahan pilihan kepada paslon Prabowo Subianto-Sandiaga Uno.

Karenanya, dalam konteks pemenangan Pilpres 2019 dari petahana, pemetaan yang jelas terhadap simpul-simpul Ahokers sangat perlu dilakukan untuk mengetahui pengelompokan mereka. Demikian pula pendekatan yang ditujukan untuk mempertahankan dan, jika perlu, menarik kembali dukungan terhadap petahana.

Penting kiranya untuk melakukan upaya rekonsiliasi terhadap MA dengan Ahok sehingga pihak yang disebut terakhir itu dapat bekerjasama dalam mendukung Presiden Jokowi baik pada sebelum, selama, maupun setelah Pilpres. Kebersamaan antara kedua tokoh tersebut akan dilihat para pendukungnya sebagai pertanda telah terjadi kesalingpahaman atau kekompakan.

Golputers bukan hanya bisa muncul dari pendukung Ahok saja, tetapi juga mereka yang mendukung Mahfud MD (MMD), yang menamakan diri sebagi Golongan Mahfud (Golfud). Ada kabar, suara mereka akan diberikan hanya dalam Pileg khususnya untuk PSI tetapi tidak ikut memilih dalam Capres. Baik Golput asal Ahokers maupun Golfud, bisa saja hanya fenomena sementara tetapi bisa juga akan menguat jelang Pilpres.

Walaupun suara mereka tidak besar namun tetap memiliki pengaruh elektoral dan, seyogyanya, perlu diperhitungkan. Apalagi jika hasil Pemilu 2014 dijadikan sebagai "benchmark", yakni selisih kemenangan Presiden vs Prabowo Subianto yang hanya 6%. Walaupun dalam berbagai suvei sampai saat ini elektabilitas Presiden Jokowi jauh meninggalkan Prabowo (10-20%), namun bisa saja terjadi perubahan selama beberapa bulan ke depan.

*) Muhammad AS Hikam adalah pengamat politik dari President University

Artikel Terkait
Kartelisasi Politik dan Masa Depan Demokrasi Indonesia
Ancaman Pemazkulan Presiden Adalah Intimidasi Politik Murahan
Demo Mahasiswa Harus Jadi "Wake up Call" Bagi Presiden
Artikel Terkini
Panglima TNI Hadiri Rapat Koordinasi di Kemenkopolhukam Bahas Situasi di Papua dan Permasalahan Tanah di Sumsel
Cegah Perang yang Lebih Besar, Hikmahanto Sarankan Menlu Retno untuk Telepon Menlu Iran Agar Tidak Serang Balik Israel
Menakar Perayaan Idulfitri dengan Kearifan Lokal Secara Proporsional
Pj Bupati Maybrat Sidak Kantor Distrik Ayamaru Jaya, Ini yng Dijumpai
Bahas Inklusivitas Keuangan hingga Stabilitas Geopolitik, Menko Airlangga Berbincang Hangat dengan Mantan Perdana Menteri Inggris Tony Blair
Tentang Kami | Kontak | Pedoman Siber | Redaksi | Iklan
legolas