INDONEWS.ID

  • Kamis, 13/09/2018 12:01 WIB
  • Menerka Suara Pemilih Milenial di Pilpres 2019

  • Oleh :
    • very
Menerka Suara Pemilih Milenial di Pilpres 2019
Penulis adalah alumnus pasca sarjana Universitas Indonesia. Tinggal di Jakarta Timur. (Foto; Ist)

Oleh : Toni Ervianto *)

Kedua kubu yang akan bertarung dalam Pilpres 2019 baik Joko Widodo-KH Ma’ruf Amin ataupun Prabowo Subianto-Sandiaga Uno sama-sama ingin menggaet suara dari kelompok milenial atau pemilih pemula yang berusia 17 s.d 21 tahun. Target politik ini wajar saja sebab jumlah pemilih muda mencapai 70 sampai 80 juta pemilih dari sekitar 193 juta pemilih atau mencapai 35 s/d 40 persen. Namun, tidak mudah untuk menggaet suara dari kelompok ini yang memiliki “political taste” yang berbeda dari generasi sebelumnya, sehingga sangat menarik untuk diterka kemana suara pemilih milenial akan disalurkan dalam Pilpres 2019.

Baca juga : Putra Asli Papua dan NTT Diusulkan Jadi Menteri Milenial Kabinet Jokowi

Suara dari segmen kelompok milenial ini juga menjadi perhatian serius bagi para kontestan Pemilu tidak hanya di Indonesia, namun juga di beberapa negara. Sejarah mencatat bahwa di Amerika Serikat, pada November 2016 menjadi peristiwa bersejarah. Negeri Paman Sam memilih pemimpin barunya setelah Barack Obama yang telah melewati dua periode. Bagi generasi milenial Amerika Serikat, ini adalah arena partisipasi politik mereka mengingat populasi generasi milenial di Pemilu kali ini terbesar dibanding Pemilu sebelumnya. Siapa pilihan mereka? USA Today merilis, sebesar 72 persen generasi milenial memilih Bernie Sanders. Politikus berusia 72 tahun itu sebelumnya mendapat dukungan lebih dari 80 persen dari pemilih dengan usia di bawah 30 tahun di Iowa, New Hampshire, dan Nevada. Bernie Sanders sendiri akhirnya kandas, dan Partai Demokrat diwakili oleh Hillary Clinton. Namun, suara 72 persen dukungan kaum milenial masih tak berubah.

Sedangkan di Inggris, dalam peristiwa Brexit bisa menjadi indikator keterlibatan partisipasi politik generasi milenial. Dilansir dari CNN, jajak pendapat YouGov menyebutkan, 64 persen usia 25 sampai 29 tahun ingin Inggris Raya tetap bersama Uni Eropa, sementara 61 persen dari mereka yang berusia antara 30 sampai 34 menginginkan untuk pergi termasuk juga pemilih usia 45 tahun ke atas. Survei ini melibatkan 4.772 orang di Inggris Raya. Sayangnya, suara kelompok milenial ini kalah, sehingga akhirnya Inggris Raya keluar dari Uni Eropa.

Baca juga : KPU Tetapkan Presiden dan Wapres Terpilih Sore Ini

Derek Thompson kontributor untuk The Atlantis menulis, bahwa para generasi milenial, memiliki pandangan politik yang liberal, bahkan berpihak di sayap kiri dan menyerempet dengan aliran sosialis. Ini yang kemudian turut juga mendorong sikap politik mereka untuk lebih terlibat merealisasikan pandangan politiknya atau memilih orang yang mendekati dengan pandang mereka.

 

Baca juga : KPU Berharap Kedua Paslon Terpilih Hadiri Rapat Pleno Penetapan Presiden dan Wakil Presiden 2019-2024

Karakteristik pemilih milenial

Pemilih di kalangan generasi milenial memiliki tipe dan karakteristiknya tersendiri. Sikap politik milenial juga terlihat jelas. Mereka berani bersuara, meski harus berseberangan dengan kelompok yang lebih tua atau para orang tua mereka. Pemilih milenial tidak suka dengan pemimpin yang korupsi ataupun kebohongan di publik. Milenial lebih suka pemimpin yang lugas, ramah, dan asyik untuk anak muda.

Generasi millenial di Indonesia memiliki semangat inklusif yang lebih tinggi daripada generasi sebelummnya yakni semangat merangkul segala macam latar belakang, ras, suku, agama. Politik inklusif menjadi cara atau metode strategis untuk berpatisipasi dalam berpolitik, demokrasi, dan Pemilu.

Tom Brokaw dalam The Greatest Generation (1998) menyebutkan ada 5 ciri generasi milenial yaitu, melek teknologi, bergantung pada mesin pencari, learning by doing, tertarik pada multimedia dan membuat konten internet. Sedangkan, dalam buku berjudul Indonesia 2020: The urban middle class milenial (2016) Hasanudin Ali dan Lili Purwandi menyebutkan Urban middle class milenial memiliki ciri 3C yakni Creative, Connected dan Confidence.

Menurut Pengamat Politik Voxpop Center Pangi S Chaniago, generasi milenial memiliki sifat kreatif, percaya diri, tidak loyal serta tidak ingin menjadi objek politik. Generasi milenial bukan tipe yang mau diatur. "Mereka sangat erat kaitannya dengan media sosial. Generasi milenial akan menjadi kunci kemenangan di Pileg dan Pilpres 2019," ujarnya.

Sementara itu, Poltracking Indonesia mencatat, pada Pemilu 2019 setidaknya terdapat 40% pemilih berusia 17-35 tahun. Secara konseptual, rentang usia ini sebenarnya mencangkup Generasi Y (milenial) yang lahir pada periode (1980-1994) dan Generasi Z yang lahir setelah 1994. Namun, belakangan istilah milenial di Indonesia digunakan untuk menyebut "generasi muda". Potensi partisipasi pemilih milenial ini diperkirakan sekitar 76%-77%, cukup besar bila dibandingkan dengan rentang usia yang lain.

Pemilih milenial juga menjadi incaran karena mereka saat ini tidak hanya menjadi konsumen informasi. Pemilih milenial adalah mereka yang cukup aktif berinternet, tempat diskursus politik menyebar nyaris tanpa kontrol. Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) pada 2017 mencatat, rentang usia 19-35 tahun menyentuh 49,52% pengguna Internet di Indonesia. Artinya, para pemilih milenial ini akan berkontribusi besar dalam persebaran wacana seputar dunia politk.

Namun, gejala kelompok milenial “bosan” dengan perkembangan politik juga pernah diberitakan sebuah media online nasional. Dikutip dari media tersebut yaitu "Daripada ngomongin politik, lebih baik main ML (Mobile Legend, game yang sedang digandrungi), politik itu menyebalkan, urusan orang-orang tua, apalagi sekarang, berantem dan pecah belah, sebar ujaran kebencian, memuakkan."

Sejumlah lembaga survei pernah meneliti arah pilihan generasi milenial, setidaknya pernah dilakukan CSIS, LSI Denny JA dan Harian Jawa Pos. Menilik temuan survei Centre for Strategic and Internasional Studies (CSIS) yang dirilis 2017 lalu, Jokowi masih lemah pada segmen pemilih milenial yang hanya 31,7%. Bahkan Jokowi kalah dari Prabowo Subianto yang mengantongi 35,7%. Karenanya, kelemahan tersebut bisa menjadi peluang bagi penantang lain untuk dimaksimalkan sebaik mungkin.

Sedangkan, survei LSI Denny JA dilakukan pada 12-19 Agustus 2018. Metode yang digunakan multistage random sampling di 34 provinsi. Survei dilakukan dengan wawancara tatap muka menggunakan kuesioner kepada responden sebanyak 1.200 orang. Adapun margin of error survei LSI Denny JA tersebut 2,9 persen. Jokowi-Ma`ruf unggul pada pemilih Muslim, pemilih non-Muslim, masyarakat ekonomi rendah, perempuan, dan milenial. Sementara itu, Prabowo-Sandiaga Uno hanya unggul di kantong pemilih kaum terpelajar. Meski hanya unggul di satu kantong pemilih, Prabowo-Sandiaga dinilai masih punya peluang untuk menaikkan elektabilitas. Sebab, Prabowo-Sandiaga unggul pada kantong kaum terpelajar yang dinilai penting karena bisa menjadi pengiring opini.

Adapun JawaPos.com pernah menggelar jajak pendapat kecil-kecilan dengan mewawancarai delapan orang yang tergolong dalam generasi milenial. Hasilnya mereka yang memilih Jokowi beralasan antara lain : Pertama, selama pemerintahan Jokowi, sangat bisa dirasakan pembangunan masyarakat dan birokrasi di pemerintahan menjadi lebih baik. Kedua, pemerintahan Jokowi sangat transparan. Pembangunan di kawasan pinggiran selalu menjadi prioritas. Ketiga, Jokowi selalu terjun ke lapangan untuk menyerap aspirasi penduduknya.

Sedangkan mereka yang memilih Prabowo Subianto beralasan pertama, tidak ingin Indonesia ditindas oleh negara lain yang juga mencuri kekayaan yang dimiliki Indonesia. Kedua, Prabowo mempunyai kesan berwibawa dan ditakuti asing. Ketiga, ada yang memilih mantan Danjen Kopassus itu lantaran kasihan yang bersangkutan sangat ingin menjadi pemimpin bangsa.

Memenangkan hati pemilih milenial berarti memenangkan "perang" wacana di media massa karena pusaran informasi akan berada di tangan mereka. Untuk memenangkan hati mereka, maka pencitraan yang taktis mesti dipilih. Sebab jika tidak, warning Franz Magnis Soeseno bisa menjadi kenyataan. Demokrasi bukan mengenai memilih yang terbaik, melainkan mengenai mencegah yang paling buruk berkuasa (Franz Magnis Soeseno dalam buku Iman dan Hati Nurani, 2004).

*) Penulis adalah alumnus pasca sarjana Universitas Indonesia. Tinggal di Jakarta Timur.

 

 

 

Artikel Terkait
Putra Asli Papua dan NTT Diusulkan Jadi Menteri Milenial Kabinet Jokowi
KPU Tetapkan Presiden dan Wapres Terpilih Sore Ini
KPU Berharap Kedua Paslon Terpilih Hadiri Rapat Pleno Penetapan Presiden dan Wakil Presiden 2019-2024
Artikel Terkini
Siapkan Penyusunan Peraturan Pembangunan Ekonomi Jangka Panjang, Delegasi Baleg DPR RI Berdiskusi dengan Pemerintah Kenya
Bakti Sosial dan Buka Puasa Bersama Alumni AAU 93 di HUT TNI AU ke-78
Satgas BLBI Tagih dan Sita Aset Pribadi Tanpa Putusan Hukum
Gelar Rapat Koordinasi Nasional, Pemerintah Lanjutkan Rencana Aksi Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan
Pj Bupati Maybrat Diterima Asisten Deputi Bidang Pengembangan Kapasitas SDM Usaha Mikro
Tentang Kami | Kontak | Pedoman Siber | Redaksi | Iklan
legolas