INDONEWS.ID

  • Rabu, 18/09/2019 16:30 WIB
  • Kepala Desa Bisa Lapor Pasangan Kumpul Kebo Dinilai Sebagai Celah Kesewenangan

  • Oleh :
    • very
Kepala Desa Bisa Lapor Pasangan Kumpul Kebo Dinilai Sebagai Celah Kesewenangan
Demonstrasi tolak RUU KUHP. (Foto: Antara)

Jakarta, INDONEWS.ID -- Pemerintah dan DPR telah mengunci draft final RKUHP pada 15 September 2019. Namun draft yang rencananya akan disahkan dalam rapat paripurna DPR dalam hitungan hari tersebut nyatanya malah mundur jauh ke belakang.

Salah satu bukti kemunduran dari hasil negosiasi politik tersebut antara lain dengan ditambahkannya unsur Kepala Desa sebagai pihak yang dapat melaporkan tindak pidana kohabitasi atau hidup bersama sebagai suami istri di luar perkawinan yang sah.

Baca juga : Bakti Sosial dan Buka Puasa Bersama Alumni AAU 93 di HUT TNI AU ke-78

“Adanya penambahan unsur Kepala Desa tersebut malah akan semakin memperlebar celah kesewenang-wenangan dalam urusan privasi warga negara,” ujar Direktur Eksekutif ICJR, Anggara, melalui siaran pers di Jakarta, Rabu (18/9).

Kriminalisasi terhadap perbuatan hidup bersama sebagai suami istri di luar perkawinan atau kohabitasi sebelumnya telah dikunci oleh Tim Perumus dengan delik aduan absolut yang pengaduannya hanya dapat dilakukan oleh suami, istri, orang tua, dan anak. Namun setelah Pemerintah dan DPR melakukan pembahasan di ruang yang terutup pada 14-15 September 2019, ketentuan tersebut berubah dengan diperbolehkannya Kepala Desa atau dengan sebutan lainnya untuk melaporkan adanya pasangan yang hidup bersama sebagai suami istri di luar perkawinan sepanjang tidak terdapat keberatan dari suami, istri, orang tua, anak.

“Perluasan yang diatur dalam Pasal 419 draft RKUHP per 15 September 2019 ini jelas akan memperburuk kondisi pengaturan yang memiliki celah kesewenang-wenangan yang lebar, selain keberadaan pasal tersebut juga merupakan masalah overkriminalisasi,” ujarnya.

Menurut Anggara, sulitnya akses pada pencatatan perkawinan, pengaturan pasal perzinahan dan samen leven dalam RKUHP tanpa pertimbangan yang matang berpotensi membahayakan 40 hingga 50 juta masyarakat adat dan 55% pasangan menikah di rumah tangga miskin yang selama ini kesulitan memiliki dokumen perkawinan resmi.

Baca juga : Satgas BLBI Tagih dan Sita Aset Pribadi Tanpa Putusan Hukum

Tanpa sosialisasi yang jelas, adanya laporan dari Kepala Desa untuk tindak pidana kesusilaan seperti kohabitasi akan berpotensi memidanakan 40% remaja yang sudah melakukan aktivitas seksual (BKKBN, 2014) dan menghambat program pendidikan 12 karena akan secara langsung meningkatkan angka kawin yang sudah dialami 25% anak perempuan di Indonesia (BPS, 2016).

“Kawin cepat akan menjadi pilihan rasional untuk menghindari penjara, berdampak pada anak perempuan yang hamil di usia terlalu muda, meningkatkan risiko kematian ibu, kematian bayi, dan stunting,” ujarnya.

Selain itu, bentuk-bentuk kemunduran lainnya dalam pembahasan terakhir antara Pemerintah dan DPR tersebut menyangkut masalah kriminalisasi perbuatan cabul sesama jenis yang dalam draft sebelumnya tidak menyebutkan adanya persamaan maupun perbedaan jenis kelamin.

Baca juga : Gelar Rapat Koordinasi Nasional, Pemerintah Lanjutkan Rencana Aksi Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan

Draft RKUHP versi 15 September 2019 khususnya dalam Pasal 421 mengkriminalkan setiap orang yang melakukan perbuatan cabul dengan penekanan baik yang berbeda atau sama jenisnya, padahal syarat-syarat yang dapat mengkiriminalisasi pencabulan sesama jenis telah terpenuhi di dalam syarat pada pasal pencabulan meskipun. Sehingga penyebutan jenis kelaminnya berbeda atau sama secara redaksional merupakan hal yang tidak perlu.

Di sisi lain, kata Anggara, dengan adanya penyebutan secara spesifik “sama jenisnya” tersebut malah merupakan bentuk diskriminasi terhadap kelompok minoritas seksual. Akibatnya, adanya perlakuan yang berbeda terhadap kelompok minoritas seksual dalam level peraturan seperti ini jelas akan semakin memicu kerentanan bagi kelompok orientasi seksual yang berbeda untuk dikriminalisasi maupun distigma ketika bergaul dalam hidup bermasyarakat.

Sebagai catatan, menurut data LBH Masyarakat , sepanjang 2017 terdapat 973 kasus kekerasan terhadap komunitas minoritas seksual (LGBT) atau sesama jenis di seluruh Indonesia. Angka ini akan meningkat apabila Pemerintah dan DPR tetap memaksakan rumusan diskriminatif dalam RKUHP.

“Oleh karenanya, ICJR dengan tegas menolak dimasukkannya ketentuan-ketentuan tersebut di atas dalam RKUHP untuk menghindarkan adanya celah kesewenang-wenangan oleh negara dalam memasuki ruang-ruang privasi warga negara dan diskriminasi terhadap kelompok minoritas seksual,” katanya.

Selain itu, ICJR juga kembali mendesak agar Pemerintah dan DPR menunda pengesahan RKUHP terlebih dengan kondisi draft per 15 September 2019 yang jauh mundur ke belakang tersebut. Kondisi tersebut sebenarnya juga tidak mengherankan ketika proses pembahasannya pun dilakukan secara tertutup dan sangat ekslusif.

“Untuk itu, ICJR mendorong Pemerintah dan DPR untuk kembali membahas secara terbuka khususnya terkait pasal-pasal dalam RKUHP baik yang bersifat overkriminalisasi maupun yang masih bermasalah lainnya dengan mengedepankan pendekatan berbasis bukti,” pungkasnya. (Very)

Artikel Terkait
Bakti Sosial dan Buka Puasa Bersama Alumni AAU 93 di HUT TNI AU ke-78
Satgas BLBI Tagih dan Sita Aset Pribadi Tanpa Putusan Hukum
Gelar Rapat Koordinasi Nasional, Pemerintah Lanjutkan Rencana Aksi Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan
Artikel Terkini
Bakti Sosial dan Buka Puasa Bersama Alumni AAU 93 di HUT TNI AU ke-78
Satgas BLBI Tagih dan Sita Aset Pribadi Tanpa Putusan Hukum
Gelar Rapat Koordinasi Nasional, Pemerintah Lanjutkan Rencana Aksi Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan
Pj Bupati Maybrat Diterima Asisten Deputi Bidang Pengembangan Kapasitas SDM Usaha Mikro
Pj Bupati Maybrat Temui Tiga Jenderal Bintang 3 di Kemenhan, Bahas Ketahanan Pangan dan Keamanan Kabupaten Maybrat
Tentang Kami | Kontak | Pedoman Siber | Redaksi | Iklan
legolas