INDONEWS.ID

  • Rabu, 13/11/2019 11:59 WIB
  • Quo Vadis BPIP, Pak Jokowi?

  • Oleh :
    • very
Quo Vadis BPIP, Pak Jokowi?
Rudi S Kamri. (Foto: Ist)

Oleh : Rudi S Kamri *)

Jakarta, INDONEWS.ID -- Apa manfaat yang dirasakan masyarakat atas hasil kerja Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) selama ini ?Jawabannya, saya haqul yaqin 99,99% rakyat Indonesia sependapat dengan saya : TIDAK ADA !!!

Baca juga : Menakar Perayaan Idulfitri dengan Kearifan Lokal Secara Proporsional

Dengan segala idealisme dan harapan yang tinggi di awal pembentukan institusi ini, ternyata BPIP jauh dari harapan dan hampir unfaedah untuk rakyat Indonesia. Nama-nama besar yang ada di Dewan Pengarah seperti Megawati, Mahfud MD,  Try Sutrisno, Buya Syafii Maarif dan lain- lain ternyata tidak mampu menghasilkan karya nyata yang berarti untuk membuat nilai-nilai luhur Pancasila terimplementasi dalam kehidupan masyarakat sehari-hari.

Harapan tinggi dan gaji super tinggi yang diberikan negara untuk institusi ini ternyata tidak mampu dijalankan dengan seharusnya oleh para pemangku kepentingannya. Kesalahan terbesar di awal pembentukan lembaga ini karena dipercayakan pada orang-orang yang "terlalu besar" sehingga wacana misi besar yang mereka diskusikan hanya bergaun di ruang hampa dan tidak mampu ditarik dalam program kerja yang membumi.

Baca juga : Pj Bupati Maybrat Sidak Kantor Distrik Ayamaru Jaya, Ini yng Dijumpai

Konon kabarnya yang membuat lembaga ini mandul adalah karena terlalu besarnya wewenang dan otoritas dari Dewan Pengarah BPIP sehingga membuat satuan pelaksana yang dipimpin Kepala BPIP kurang bebas berkreasi, berinovasi dan bergerak implementatif. Yudi Latif sebagai Kepala BPIP yang pertama konon frustasi dan terpental dari lembaga ini karena merasa terkunci langkahnya dalam membuat program kerja oleh kekuasaan Dewan Pengarah yang terlalu besar dan kuat. Benar atau tidak kabar ini hanya Tuhan dan Yudi Latif yang tahu.

Kalau saya ditanya, apakah keberadaan lembaga BPIP masih diperlukan ? Saya akan menjawab masih sangat diperlukan dan harus ada. Fenomena marak dan berkembangnya ideologi khilafah yang sedang menjadi virus yang destruktif bagi bangsa ini, menjadi salah satu alasan mengapa BPIP perlu dan harus ada di republik ini. Penguatan nilai-nilai Pancasila sebagai sebuah "isme" yang `built-in` dalam jiwa rakyat Indonesia menurut saya adalah benteng yang super tangguh untuk membendung radikalisme ideologi khilafah di negeri ini.

Baca juga : Bahas Inklusivitas Keuangan hingga Stabilitas Geopolitik, Menko Airlangga Berbincang Hangat dengan Mantan Perdana Menteri Inggris Tony Blair

Dengan pertimbangan tersebut dan mengevaluasi kinerja BPIP yang minus selama ini, seharusnya Presiden Jokowi berani melakukan re-engineering secara total lembaga ini. Salah satunya adalah dengan mengurangi otoritas dan kekuasaan Dewan Pengarah. Mereka selayaknya hanya membuat garis besar program dari lembaga ini dan mengawasi pelaksanaannya. Penguatan kewenangan operasional seharusnya lebih diberikan kepada Dewan Pelaksana dari BPIP.

Lebih penting dari itu seharusnya Presiden Jokowi lebih berani bersikap realistis untuk tidak harus memasukkan nama-nama tokoh bangsa yang "terlalu besar" dalam lembaga ini. Kebesaran nama tokoh terbukti tidak menjamin lembaga ini bisa menghasilkan karya yang bermanfaat bagi rakyat. Di sisi lain saya mensinyalir pemahaman tentang Pancasila dari tokoh-tokoh tua tersebut terkadang sudah tidak sesuai lagi dengan kebutuhan dan perkembangan zaman sehingga terkesan terlalu filosofis dan tidak implementatif.

Presiden Jokowi seharusnya berani membuat terobosan yang radikal untuk membebaskan BPIP dari cengkeraman  oligarki politik yang sudah uzur dan tidak sesuai dengan perkembangan zaman dan kebutuhan masyarakat. BPIP seharusnya dipegang oleh figur-figur nasionalis pembaharu yang berani membuat terobosan untuk mengimplementasikan nilai-nilai luhur Pancasila ke dalam bahasa sederhana, milenial dan sesuai dengan `user need` yaitu rakyat Indonesia.

Pancasila harus disederhanakan dalam bahasa yang membumi dan sesuai dengan perkembangan zaman untuk membentuk karakter dan kepribadian bangsa yang kuat dan bermartabat. Di samping itu Pancasila seharusnya diposisikan bukan sekedar sebagai sebuah ideologi negara yang baku dan kaku tapi juga harus mampu diinfiltrasikan ke dalam  `personal & society values` rakyat Indonesia. Dan tugas ini menurut saya tidak akan bisa dibebankan kepada figur-figur yang dasar pemikirannya sudah `old fashioned` dan ketinggalan zaman.

Presiden Jokowi harus berani melakukan terobosan strategis akan hal itu. Kalau tidak, keberadaan BPIP akan kembali menjadi tanpa guna dan tanpa makna serta sekadar menghabiskan anggaran negara dengan sia-sia.

Salam SATU Indonesia

*) Rudi S Kamri adalah pengiat media sosial, tinggal di Jakarta.

Artikel Terkait
Menakar Perayaan Idulfitri dengan Kearifan Lokal Secara Proporsional
Pj Bupati Maybrat Sidak Kantor Distrik Ayamaru Jaya, Ini yng Dijumpai
Bahas Inklusivitas Keuangan hingga Stabilitas Geopolitik, Menko Airlangga Berbincang Hangat dengan Mantan Perdana Menteri Inggris Tony Blair
Artikel Terkini
Cegah Perang yang Lebih Besar, Hikmahanto Sarankan Menlu Retno untuk Telepon Menlu Iran Agar Tidak Serang Balik Israel
Menakar Perayaan Idulfitri dengan Kearifan Lokal Secara Proporsional
Pj Bupati Maybrat Sidak Kantor Distrik Ayamaru Jaya, Ini yng Dijumpai
Bahas Inklusivitas Keuangan hingga Stabilitas Geopolitik, Menko Airlangga Berbincang Hangat dengan Mantan Perdana Menteri Inggris Tony Blair
PTPN IV Regional 4, Bangun Tempat Wudhu Masjid Tuo
Tentang Kami | Kontak | Pedoman Siber | Redaksi | Iklan
legolas