INDONEWS.ID

  • Jum'at, 22/09/2017 09:21 WIB
  • Praperadilan, Pemeriksaan KPK dan "Sakitnya" Setya Novanto

  • Oleh :
    • very
Praperadilan, Pemeriksaan KPK dan "Sakitnya" Setya Novanto
Ketua DPR RI Setya Novanto. (Ist)

Oleh: Petrus Selestinus*)

Jakarta, INDONEWS.ID - Jadwal operasi Setya Novanto akibat sakit yang diderita sepenuhnya ditentukan oleh Dokter Rumah Sakit yang merawat Setya Novanto, berdasarkan kewajiban dokter sesuai sumpah profesi dokter. Pertanyaannya, mengapa jadwal operasi dokter dimaksud dilakukan bersamaan waktunya dengan jadwal KPK untuk memeriksa KPK Setya Novanto sebagai Tersangka. Sementara dalam waktu yang bersamaan Praperadilan juga membuka persidangan tanpa harus memerlukan kehadiran Setya Novanto secara fisik.

Baca juga : Kendati Terbukti Lakukan Suap, Eks Wakil Ketua DPR Azis Syamsuddin Bebas Bersyarat

Jika skenario di atas dilihat sebagai sebuah siasat penghindaran atas kewajiban, maka skornya masih menguntungkan Setya Novanto, karena dengan KPK belum bisa meminta keterangan Setya Novanto sebagai Tersangka, maka KPK juga belum bisa melimpahkan berkas perkaranya ke Penuntutan, karena dengan pelimpahan berkas itu berimplikasi hukum berupa gugurnya Praperadilan Setya Novanto.

Dalam kasus "sakit" Setya Novanto kita patut mempertanyakan apakah tindakan medis yang dilakukan dokter untuk mengoperasi Setya Novanto pada saat KPK sudah menjadwalkan pemeriksaan, bisa dikategorikan sebagai tindakan yang bertujuan menghalang-halangi penyidikan terhadap Setya Novanto. 

Baca juga : Emrus Sihombing: Presiden Jokowi Bisa Dimaknai Intervensi Kasus E-KTP

Jika dokter Rumah Sakit yang mendiagnosa penyakit Setya Novanto memutuskan untuk melakukan tindakan medis, supaya pemeriksaan oleh KPK bisa dihambat, maka dalam hal demikian dokter-pun dapat dimintai pertanggung jawaban pidana korupsi, karena KPK sudah menjadwalkan pemeriksaan terhadap Setya Novanto beberapa hari sebelumnya.

Dalam situasi normal, kita tidak patut menduga bahwa sebuah skenario sudah didesain sedemikian rupa untuk menghambat tugas penyidikan kasus dugaan korupsi e-KTP demi membebaskan status Tersangka Setya Novanto.

Baca juga : Ketua DPR RI Puan Maharani dan PM Jepang Fumio Kishida Sepakati Penguatan Kerja Sama Antar Parlemen Kedua Negara

Dalam posisi kasus demikian KPK menghadapi 2 (dua) kendala yaitu soal Sakit dan soal Praperadilan. Dua kendala ini berpotensi menghambat jalannya Penyidikan, karena atas alasan sakit KPK belum bisa memeriksanya sebagai Tersangka sehingga KPK-pun belum bisa melimpahkan Berkas Pemeriksaan ke tahap Penuntutan. Implikasi hukumnya adalah harapan untuk gugurnya Praperadilan akibat berkas perkara naik ketahap penuntutan gagal total. Karena alasan Praperadilan maka bisa saja status Tersangka Setya Novanto menjadi batal dan berimplikasi pada Penyidikan yang sedang berlangsungpun sementara waktu terhenti karena KPK harus mengeluarkan Penetapan Status Tersangka baru untuk melanjutkan penyidikan.

Yang menjadi tanda tanya di sini, mengapa ketika KPK sudah menjadwalkan untuk memeriksa Setya Novanto sebagai Tersangka, dalam waktu yang hampir bersamaan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan juga menjadwalkan sidang Praperadilan Setya Novanto untuk memutus tentang "sah atau tidak sahnya" Penetapan Status Tersangka Setya Novanto, bersamaan dengan itu Setya Novanto jatuh sakit karena vertigo sehingga harus dirawat inap sesuai petunjuk dokter. Rentetan kejadian dimana ada jadwal pemeriksaan KPK, sidang Praperadilan dan  Setya Novanto jatuh sakit di hari yang sama bukanlah sebuah kebetulan tetapi ini bisa saja sebuah skenario besar untuk menyelematkan sebuah spekulasi mencari selamat setidak-tidaknya Setya Novanto berharap bisa mendapatkan putusan yang serupa dengan putusan Hakim Sarpin dalam Praperadilan BG tahun 2015 dimana wewenang Praperadilan diperluas termasuk membatalkan Status Tersangka seseorang. 

Dalam konteks Praperadilan setelah dua bulan lebih KPK tetapkan status Setya Novanto sebagai Tersangka, Publik mulai menduga-duga apakah upaya Praperadilan ini dilakukan setelah Setya Novanto gagal melakukan lobby politik ataukah memang Praperadilan ini buah dari lobby politik sebagai strategi dalam rangka memenuhi target politik bahwa KPK memang sering salah sehingga Pansus Hak Angket KPK merupakan sebuah proses politik yang harus diterima.

Ada hal yang menjadi pertanyaan publik mengapa setelah bulan ketiga baru Setya Novanto mengajukan gugatan Praperadilan dan mengapa Praperadilan dilakukan pada saat menjelang dirinya hendak diperiksa sebagai Tersangka. Waktu jua yang akan menjawab.

*) Petrus Selestinus adalah Koordinator TPDI dan Adovat Peradi

 

Artikel Terkait
Kendati Terbukti Lakukan Suap, Eks Wakil Ketua DPR Azis Syamsuddin Bebas Bersyarat
Emrus Sihombing: Presiden Jokowi Bisa Dimaknai Intervensi Kasus E-KTP
Ketua DPR RI Puan Maharani dan PM Jepang Fumio Kishida Sepakati Penguatan Kerja Sama Antar Parlemen Kedua Negara
Artikel Terkini
Siapkan Penyusunan Peraturan Pembangunan Ekonomi Jangka Panjang, Delegasi Baleg DPR RI Berdiskusi dengan Pemerintah Kenya
Bakti Sosial dan Buka Puasa Bersama Alumni AAU 93 di HUT TNI AU ke-78
Satgas BLBI Tagih dan Sita Aset Pribadi Tanpa Putusan Hukum
Gelar Rapat Koordinasi Nasional, Pemerintah Lanjutkan Rencana Aksi Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan
Pj Bupati Maybrat Diterima Asisten Deputi Bidang Pengembangan Kapasitas SDM Usaha Mikro
Tentang Kami | Kontak | Pedoman Siber | Redaksi | Iklan
legolas