Nasional

Tegar

Oleh : luska - Senin, 17/02/2020 16:01 WIB

Gerbang Kampus IPDN.(ist)

Oleh  Eny Fahriati


Ada yang tegar, tapi bukan Rossa.

Ikutan latah tersenyum dengan kalimat itu. Mungkin aku orangnya. Melewati fase demi fase pendidikan di kampus yang mereka bilang untuk kader pemimpin ini dengan kesungguhan. Berkutat dengan disiplin hidup ala semi –militer. Kenyang dengan apel pagi, siang dan malam. Mengesampingkan hasrat dan ambisi lain dari sisi- sisi remaja beranjak dewasa usia sembilan belas menuju dua puluh tahunan.

Kampus berlatar kaki gunung Manglayang ini, megah di sebuah kecamatan yang hiruk pikuk bernama Jatinangor, kampus IPDN . Yang dulu orang menyebutnya STPDN. Beberapa tahun silam santer diberitakan “kampus maut” yang begitu kontroversial dengan kematian peserta didiknya.
Disini aku sekarang, namun bukan untuk menggali rasa takut dan penasaranku. Tak ada cerita berdarah buatku disini. Aku hanya menemukan……sepenggal hati yang hidup.
***
[Nes, Abang siang ini masuk kuliah lagi. Kayaknya abis kuliah langsung Menza. Kita gak jadi ke kantin ya]
WastsApp dari Bang Micky masuk.
Menza adalah tempat makan khusus untuk peserta didik disini, kami akan makan sesuai barisan asrama masing-masing. Makan dengan penuh keprotokolan dan keteraturan, yang durasinya pun diatur.

Sejak memasuki tingkat Wasana Praja (tingkat empat dalam jenjang pendidikan di kampus ini) yang artinya ini tahun terakhirku disini, aku agak sering malas makan di Menza, karena peraturan tidak seketat dulu, kadang pengasuh juga tak setiap waktu mengecek, hanya kejujuran saja yang diperlukan.

[Okelah ,Bang. Nanti Paper Abang ,ambil besok aja dikelas]
Kubalas dengan kecewa.
Akhirnya kulanjutkan aktivitas sore ini dengan erobik, lari mengitari lapangan besar tempat biasa kami apel. Bosan dengan segala rutinitas monoton ini. Lemas dan letih sebenarnya sehabis kuliah, rasanya ingin tumbang, namun tetap kupaksakan untuk membunuh jenuh.
***
Sabtu hari pesiar untuk kami. Pesiar adalah “kebebasan” . Waktu untuk anak –anak yang terkurung dalam jeruji nan megah ini mencicipi dunia luar. Setiap peserta didik pasti merindukannya, walau keluar hanya untuk sekedar beli cilok sambil menatap gedung kampus tetangga, IKOPIN dan UNPAD Jatinangor .

Mereka yang memiliki “pacar” tentu beda, beli tiket di Jatinangor Town Square dan menghabiskan nonton bersama, makan makanan yang tak dijual dalam kampus, atau hanya sekedar beli nasi padang di Ikonyo. Semua menghabiskan pesiar sesuai standar kenyamanannya masing-masing.

PRAJA. Sebutan peserta didik disini. Dalam konteks pemakaian menggantikan kata “mahasiswa” walaupun sebenarnya sama saja, yang membedakan hanya aturan yang membelenggu.

Praja juga manusia. Seperti mahasiswa lain, di usia remaja beranjak dewasa ingin menikmati dunia mereka. Hidup dalam aturan dari pagi hingga pagi lagi, ketemu manusia itu-itu aja dan “boker di lubang yang sama” setiap harinya, fix bisa membuatmu jenuh setengah-hidup.
Ingin merasakan aroma Indonesia dalam miniatur suku dan budaya? Tinggallah disini. Ada bertumpah ruah ,di tempat tinggal yang kami sebut “barak” ini

Berbeda denganku soal pesiar, tepatnya dua bulan terakhir beberapa waktu aku lebih sering menghabiskan waktu pesiar dengan sholat di masjid, lalu setelah itu duduk sampai berjam –jam. Begitu betah menikmati indahnya pemandangan sekeliling masjid.
“Nes, pesiar kemana? “ Ebot menyentil pundakku.
Membuyarkan lamunan.

Ebot adalah panggilan kesayangan kami di barak untuk Ebi temanku asal Sultra.
Setelah aktivitas kurvei (membersihkan barak dan lingkungan sampai sebersih-bersihnya) WC dan kamar mandi, kami bersiap dengan menyetrika pakaian, membraso lencana/pin yang dipakai sebagai atribut pakaian dinas. Serta menyemir sepatu sampai mengkilat.
Resiko terbesar kalau barak dalam keadaan kotor adalah “cabut pesiar” alias pembatalan izin keluar itu oleh pengasuh. Bisa ambyar semua rencana indahmu.

“Ga tau nih , Bot..badanku kok dari kemarin lemes,ya?”sahutku sambil membetulkan letak selimut.
Aku memang merasakan kelelahan luar biasa sejak memaksakan erobik sore kemarin.
“Yaudah Nes kamu istirahat aja . Nitip apa biar aku beliin?”
“kamu kemana emang?”tanyaku mengabaikan pertanyaannya.
“Bandung.” Matanya mengerling berbinar.
Pasti dengan Mangge Rian. Kedekatannya dengan Mangge Rian bukan rahasia lagi.
“Ngga deh. Aku masih ada roti kok ,Ebot sayang. Biar kamu gak usah mikir bawa apa, have fun aja” kilahku mencoba mengerti posisinya. Aku tak mau memberatkan teman-teman dengan titipan ini-itu.
“Aku di barak aja ya istirahat”
“Ayooo apel pesiar” teriak Mace Maria ketua Barak kami. Semua tergopoh menuruni anak tangga, lengkap dengan atribut masing-masing .

***
[Dek….]
Ku read saja. Bang Micky. Dia tak menanyaiku pesiar kemana, dan akupun tak tau dia kemana.

Pukul 19.00, Selepas sholat maghrib aku memilih mengaji, mengabaikan WhatsApp Micky.Sebagian anak berdatangan, karena setengah jam lagi apel penerimaan pesiar, setiap orang dicek dan diperiksa. Aku mendesah. Seluruh rasa gelisahku terbasuh dengan kalam-NYA. Namun tiba tiba saja menyergap lagi karena pesan masuk oleh lelaki ini.

[Dek..abang nunggu deket barak adek. Ada yang mau dianter nih. Bisa keluar kah?]
Hampir aku tersedak. Nekat betul Abang ini. Kalau ketahuan dia memasuki wilayah asrama putri, pelanggaran besar.
[Iya, tunggu di bawah] sahutku pendek tak seperti biasanya. Memakai jilbab dan seragamku buru-buru.
“Ini, Dek. Banyak nih, biar kamu makin bondeng” sebelah tangannya menunjukkan perutnya yang mulai kegendutan hingga seragam ketat itu sesak.

Tangan kokohnya menyerahkan seplastik besar coklat, dan beberapa buah –buahan kesukaanku. Pasti dia pesiar keluar tadi.
Wajahnya tampak sedikit lelah tertimpa sorot lampu malam, yang berjejer di deretan pinus itu.
“Abang ke Bandung? Kok gak ngajak?” sungutku pelan.
“Ngga Dek. Barak kami cabut pesiar hari ini. Ealahh disuruh kurvei sampai teler, dan abang ada urusan juga bantuin Yudha . Maaf, ya. Tadi Abang nitip Yusuf aja ini, Adek kan suka ini”

Aku tersenyum dikulum. Melihat wajahnya nampak kelelahan seperti itu aku tak tega juga.
Aku tak menuntutnya untuk selalu lapor kemanapun dan aktivitas apapun, karena apa juga hakku. Kami tak pernah mengikat ikrar untuk pacaran, dia tak pernah mengungkapkan perasaannya , dan akupun sama, kami hanya….merasa saling nyaman. Satu sama lain.
Bersamanya seperti aku memiliki sandaran, yang bisa mengerti dan melindungi.

Disini keras, rindu dan tangis menjadi makanan, dia datang mengisi celah dengan sempurna. Diantara hitam putih dia memberi warna.
Dia mengulurkan, kusambut pelan.
Tiba-tiba jarinya yang kokoh menahanku.
“Kok dingin, Dek?Sakit?”
“Kalau panas itu denger omelannya Avatar, Bang”kilahku tertawa sambil menyebutkan gelar salah satu pengasuh Putra yang sangat disegani karena kedisiplinannya.
Dia tertawa. Sederet gigi rapi menyembul. Rahang yang tegas ini selalu cair bila bersamaku.
Aku menarik tanganku dari jemarinya. Dia kaget dan melepasnya, jengah. Dia menyentil hidungku
“Ines awak (Ines-ku) ” desahnya dengan logat khas Medan.
Andai lampu ini lebih terang, mungkin dia bisa melihat pendar kemerahan di pipiku.
***
[Jangan tidur larut Dek. Kamu nampak pucat kali lah tadi]
WA darinya sejurus masuk setelah kami bubar apel malam. Aku sedang berbenah tempat tidur. Malam ini bukan jadwalku jaga serambi (jaga malam) jadi aku bisa tidur dengan tenang tanpa harus berjaga.
[sebenarnya Adek kurang sehat]
[Besok izin aja ga usah ikut kegiatan. Kamu selalu gitu ya , maksain terus]
Lagi-lagi aku mendesah. Dia betul, aku sebenarnya wanita yang keras kepala .
Pucat? Rupanya lippen stroberi ini tak berpengaruh apa-apa di wajahku. Huh.Pasti tampak jelek baginya.
Micky. Namanya yang innocent tak menggambarkan sosoknya. Dia sungguh tegas dan berwibawa. Juga peka dan penyayang. Seperti malam dan siang yang berseberangan, namun saling melengkapi.
Aku tertidur setelah menghabiskan coklat dua bungkus dengan puas, lupa membalas pesannya.
***
Dengking peluit terasa memekakan telinga, membuat jantung berlompatan. Terhenyak, kupaksakan untuk melompat namun terasa berkunang-kunang. Bergegas berlari ke kamar mandi untuk mengeluarkan semuaisi perutku. Jebol sudah pertahananku. Lemas tak berdaya. Mengabaikan hiruk pikuk mereka yang mengenakan training untuk erobik, aku berbaring lagi ke tempatku. Ebot mendekat. Dia mengoleskan minyak kayu putih sekujur tubuhku, mengambilkan air hangat, dan menyelimutiku, sambil berbisik” biar aku yang laporin Bu Sari kalo kamu sakit. Tenang aja, Nes. Nanti UP –mu aku yang kumpulkan ke kelas”
Dia mengerti kekhawatiranku tentang tugas Usulan Penelitian yang harus kami kumpul hari ini. Aku harus menuntaskan pendidikan disini dengan sebaik-baiknya. Demi Eyang Putri-ku.
“Makasih, Ebot Sayang”

Aku menyeka sedikit bulir bening yang nakal memaksa jatuh. Terharu. Disini, mereka melebihi keluarga bagiku. Ebot sejak dulu begitu baiknya. Baju ku yang disita ketika pertama melangkah kaki kesini, dia yang rela berbagi beberapa lembar . Tak bisa dengan mudah keluar dan berbelanja bagi Muda Praja (Mahasiswa tingkat I ) yang kemana-mana dihantui ketakutan akan senior galak.
Disitulah aku mengerti ketulusan Ebot. Nani juga menghampiriku, selain Ebot, aku dekat dengan Ayuk Nani, biasa aku memanggil perempuan sipit asal Palembang ini.

Dia mengusap kepalaku pelan. Memperhatikanku samar.
“Pucat banget. Betulan, Nes. Kamu harus ke KSA (Klinik Sakit Asrama ) hari ini” dia menyebut tempat yang sangat kuhindari itu. Karena selain tempatnya di ujung menyatu dengan hutan kampus, akses kemana-mana sangat jauh. Terasing.
Kalau malam tentu sangat angker disitu.
“Nanti aku yang jaga” Nani mengerti kekhawatiranku.
“Sekarang sudah mulai persiapan laporan Akhir. Kalian jangan terlalu banyak gak ikut kegiatan “
Ebot terkekeh. Nani juga. Biasa menertawai “kedisiplinanku” yang terlalu saklek
“Disini bukan hanya pintar, Nes. Tapi juga “pintar-pintar” ingat itu”
Aku tau dipikiran kedua perempuan ini, menghabiskan waktu santai tiduran di kamar KSA dengan dalih “menjaga Nesya” yang sakit. Hhhh
***

“Woi. Enak kali lah pempek ini. Dimanalah Micky belinya ni”
Dia menyenggol lenganku. Hari ini, aku sudah agak mendingan. Hari kedua menginap di KSA . Dan kerjaan dua perempuan ini hanya makan aja, memohon-mohon Bang Micky untuk membelikan berbagai macam makanan. Aku gemas dijadikan “tameng” untuk menuruti nafsu perut karet mereka. Tapi mana bisa aku marah, aku tak terbiasa marah di lingkungan ini. Kemarahanku tersisa di tempat lain.
“Hari ini Nes sudah boleh keluar”kata dokter Leni saat memeriksaku.
Kedua perempuan yang sedang asik mengunyah itu tampak kecewa
“Gak ditambah lagi, Dok? Satu harii, aja” keluh Ayuk Nani.
dr. Leni tertawa.


Kami berkemas. Ambulan kecil ini mengantar kami kembali ke barak. Setelah mengucap terima kasih kepada Aa Sopir yang baik hati, kami beranjak masuk. Terkaget melihat suasana hening dan tegang di barak, biasa tawa-tawa renyah menanti kebebasan bergumul disini, suara ribut on-air (bertelpon-ria dengan sanak saudara, atau pacar) suara riuh becanda, dan lain sebagainya. Tapi kini, tegang dan hening.
“Ada apa, Mace?” bisikku pada Mace Maria si ketua barak.
“Adila hilang uang di dompetnya nya lima juta. Sa sudah kumpulkan mereka semua, kita orang bicara sama pengasuh”
Deg!!

Adilla satu bagian dengan kami, bed –nya cuma dua buah dari tempat tidurku. Tentu, kami sudah sangat dekat satu sama lain. Aku hafal kebiasaannya menaruh dompet di atas bed dan tak menyimpannya di lemari.
Aku mendesah. Terlebih saat teriakan pengasuh menggelegar seisi barak.
***

Hitam. Barak terasa kelam, semua saling curiga satu sama lain. Apalagi hilangnya uang diduga sekita tiga hari yang lalu , yang artinya aku juga tak luput dari tuduhan. Semua kena hukuman. Tawa-tawa riang mereka berkurang berganti raut kecurigaan satu sama lain, raut lelah dengan hukuman dan cabut pesiar lagi yang artinya semakin membelenggu banyak kesenangan di diri kami, ternyata dibalik darah saudara yang begitu kental antara aku dan kau, terselip satu hati yang kotor menodai semua ini.

Tega. Begitulah kelemahannya hukuman kolektif, kadang kita harus menanggungkan “dosa” orang lain yang tidak kita lakukan sama sekali.
Memikirkan beberapa tugas kuliah yang tertinggal , dan telpon Eyang putri yang putus asa karena Gilang sudah satu minggu tak masuk sekolah, aku menjadi cemas.


Gilang kelas 3 SMP . Sejak seusianya kami hanya dibesarkan Eyang Putri (nenek dari pihak Papa)sejak Mama menikah lagi. Papa sudah meninggal beberapa tahun silam, tepatnya saat aku pertama menginjakkan kaki disini.
Aku tak ingin hidup dengan politisi ayah tiriku itu. Biarlah aku hidup di desa dengan Gilang hingga nasib menggiringku ke kampus ini, karena

Mama juga sibuk dengan keluarga barunya di Kalimantan.
Sejak itu,aku memutuskan semua hal harus kulalui dengan tegar.
Brukk.
Aku menabraknya tak sengaja karena lamunanku
Entah siapa.
Seketika pusing berkunang-kunang . Yang kurasakan terakhir hanya lengan kokoh yang membopongku. Aku mengenal baik aroma parfumnya.
***
Barabai, 17 Februari 2020

 

 

TAGS : tegar cerbung ipdn

Artikel Terkait