Nasional

Mat Kodak

Oleh : luska - Selasa, 19/04/2022 09:45 WIB

Cuplikan Kisah Human Interest (17)

Oleh : Wina Armada Sukardi

Jepret…jepret….jepret!! Juru foto itu berkali-kali mengambil foto diri saya, bak saya ini seorang selebritis saja. Pagi itu saya baru turun dari mobil dan berjalan di trotoar menuju Gedung Pengadilan Tinggi (PT)  Jakarta, daerah Cempaka Putih, Jakarta. Saya ada urusan disana bersama dan terkait organisasi advokat. Lantaran di tempat parkir dan halaman PT sudah penuh, terpaksa mobil saya diparkir di luar gedung PT.  Dari sana saya jalan kaki masuk menuju gedung PT. Di saat itulah saya sudah difoto berkali- kali oleh seorang juru foto.

Sejak ada HP  atawa telepon seluler (ponsel) terjadi konvergensi teknologi, sehingga HP dapat berfungsi macam-macam, termasuk dapat menjadi tustel. Sejak saat itu saya tidak begitu suka difoto oleh tukang-tukang foto yang sering hadir di berbagai acara.    

Mudahnya mekanisme memgambil potret, membuat foto-foto saya yang telah dicetak  dewasa ini sudah sangat banyak, sampai saya tidak tahu mau diapakan. Bahkan yang sudah diberi frame pun tak sedikit, padahal di rumah kami    dindingnya sudah sesak dengan foto dan lukisan. Itu belum yang terkumpul khusus di eksternal disk, yang jumlahnya mungkin sampai ribuan. Oleh sebab itu, jujur saja, saya segan difoto para juru foto yang selalu saja hadir di pelbagai acara itu.

Berbeda dengan  kiwari, dahulu untuk membuat foto, rada repot dan mahal. Untuk memotret dibutuhkan negatif film yang perlu disimpan dan digulung  dalam tustel. Standarnya satu rol film berisi 36 dan 20  buah. Harga satu rol film lumayanlah, meski tidak mahal-mahal amat pula. Masalahnya, dari rol film itu tidak semuanya dapat berubah wujud jadi  foto. Bisa ada yang kebakar, hasilnya buram dan sebagainya. Oleh lantaran itu pemakian film harus hati-hati dan irit.

Sebelum dicetak film harus “dicuci” dulu. Untuk yang hitam putih, masih dapat dikerjakan manual “di kamar gelap.” Sedangkan untuk yang  _color_ atau berwarna, harus diproses di laboratorium.
Di samping itu, alat memotretnya sendiri, tustel, masih belum menjadi benda murah, kalau tak mau disebut mahal. Lagipula fungsinga cuma satu, ya hanya untuk memotret itu saja. Tidak dapat dipakai untuk yang lain.

Pemakiannya pun belum _user frendly_ alias belum mudah dipakai. Guna menghasilkan gambar yang jelas, kita harus menguasai kombinasi keterampilan memakai antara besaran diaframa dan _speed_ atawa kecepatan. Kalau tidak _piawai_ menggunakannya, hasilnya bakal guram, tidak fokus dan itu artinya selain kita kehilangan momentum, juga menghambur-hamburkan duit.

Wajarlah kalau pada zaman itu relatif sedikit orang yang memiliki tustel dan kemampuan memakainya.  Koleksi foto orang juga belum sebanyak zaman kini, termasuk koleksi saya.

Keadaan ini dimanfaat oleh para juru foto, dari mulai yang profesional sampai juru foto keliling. Para juru foto itu oleh kawan saya, Ed Zoelverdi, seorang wartawan dan juru foto beken pada waktu itu, dijuluki “Mat Kodak.” Kodak merupakan  merek produk tustel dan kelengkapannya yang paling populer saat itu, sampai-sampai sebagian orang Indonesia menyebut tustel dengan istilah “kodak.” Padahal masih ada banyak merek tustel lain. Contohnya  Cannon, Pentax, Olimpus, Fuji, untuk menyebut beberapa. Kendati begitu yang paling terpatri di ingatan mayoritas orang Indonesia tetap dan semata hanya merek Kodak. Itulah sebabnya Ed menjuluki mereka dengan “Mat Kodak.” Sejak itu sebutan Mat Kodak dipakai dimana-mana.Para Mat Kodak membidik pelanggannya kemana-mana. Mereka berkeliling ke sudut-sudut kota, termasuk
membidik para asisten rumah tangga (ART) untuk difoto. Biasanya di taman-taman sekitar mereka kerja, atau di depan rumah majikannya. Hasil fotonya diantar langsung oleh Mat Kodak ke para ART yang memesannya. Tentu dengan pembayaran  yang sudah disepakati. 

Saya juga mendengar kabar, beberapa wartawan dahulu nyambi menjadi Mat Kodak. Para narasumber mereka foto, dan hasil mereka perbesar lengkap dengan bingkainya, lalu dikirim kembali ke narasumber tersebut,!dengan harga tertentu. Lumayan buat nambah-nambah biaya  asap dapur.

 Mat Kodak pun muncul dalam berbagai acara  khusus seperti wisuda, seminar,  pelantikan, reuni, pertemuan dengan pejabat tinggi, dan sebagainya. Para Mat Kodak bergerak ceoat, sebelum acara bubar, semua foto sudah selesai lengkap dengan keterangan dan logo acara di bawahnya. Begitu acara selesai, foto-foto sudah tersaji dalam display di seputar arena acara. Untuk lebih laku, para Mat Kodak malah menyodor-nyodorkan hasil fotonya kepada objek yang ada di dalam foto. Soal harga, boleh negolah. Untung-utung dikit mereka sudah lega, apalagi kalau dapat rejeki yang lebih besar.
(kalau di istana atau kantor kepresiden, agar tertib dan menghemat waktu, kini Presiden menyediakan “Mat Kodak” modern secara khsusus. Begitu kita salaman dengan Presiden Jokowi, para juri foto akan mengambil foto  bersalaman dengan presiden itu. Manakala kitab pulang, foto-foto itu dibagikan kepada kita sebagai tetamu. Gratis).

Memang soal fotografi zaman kiwari sudah sangat berbeda. Membuat foto telah semudah menyuap nasi. Setiap orang sudah dapat membuat foto sendiri memakai HP yang dapat disetel otomatis, outofokus. Kalau pun kurang jelas, dapat langsung diedit di HP. Foto gelap dapat dibuat menjadi terang dan sebagainya. Hasilnya , hampir tak ada lagi yang gagal. Biayanya pun sangat murat. Hasil itu pun dapat ditransfer atau foward ke siapapun orang lain yang kita mau. Tak heran jika koleksi foto saya _berjibun._

Itulah sebabnya saya segan difoto oleh Mat Kodak, seperti di acara tersebut. Hari itu sebenarnya sudah menghindari Mat Kodak, tapi ada saja yang terus memburu saya. Mungkin mereka pikir saya orang terkenal atau _tajir,_ sehingga mereka terus membidik saya.
Begitu acara selesai, Mat Kodak yang tadi mengejar-ngejar saya, seraya menyodorkan tiga lembarbfoto dengan objek saya , hasil jepretannya. Terus terang saya sudah males. Saya sudah mengangkat tangan tanda menolak. Tapi dia gigih mengikuti saya. 

Akhirnya sambil tetap jalan saya tanya berapa harganya? 
“Satu Rp 75 ribu!” katanya menyodorlan tiga lembar foto.Saya terus menggeleng.“Ya  udah Rp 100 ribu _deh_ semuanya,” katanya.

Saya bergeming, dan  terus melangkah “Udah ambil semua, berapa aja,” katanya. Pasrah. Saya iba juga. Fotonya sih buat saya tidak penting, tapi saya melihat setidaknya dia sudah mengeluarkan  modal. Kalau gak diambil, dia tekor, bahkan sia-sia mengeluarkan uang. Walau itu mungkin kesalahannya sendiri kenapa spekulatif, tapi ada sedikit rasa iba dia sudah “berjuang” mengeluarkan modal lebih dahulu.

“Kau tulis aja nomer  HP kau di belakang foto, nanti  saya bayar lewat transfer,” ujar saya memperlambat langkah, tapi tidak berhenti karena waktu itu sedang tergesa harus ke acara lain.

Mat Kodak itu mematuhi saran saya. Dia mencari posisi yang  dapat menulis di balik salah satu foto. Setelah  menyerahkannya ke saya.
Dua hari kemudian saya baru inget lagi terhadap foto itu. Saya lihat tulisan nomer HP di bagian belakang foto ukuran 15 cm  X 10  cm. Tintanya udah agak kabur, tetapi untung masih terbaca. Saya WA dia, tanya no rekening, bank apa dan atas namanya siapa. Tak butuh waktu lama, dia sudah membalas pesan yang saya minta.

Setelah berpikir sejenak, berapa saya harus bayar, saya putuskan segera transfer Rp 200 ribu melalui mobil banking.   Saya pikir dengan harga itu dia sudah untung. Bukti transfer segera  saya foward kepadanya melalui WA.
Ada pun yang membuat saya terkejut, ketika  dua jam kemudian dia membalas melalui WA, “*_Terima kasih banyak Pak. Sangat bermanfaaat untuk membantu membiayai pengobatan Ibu saya yang sedang sakit…*_ “ 
     Saya termagu.
       Tabik.***

TAGS : Wina armada

Artikel Terkait