INDONEWS.ID

  • Senin, 18/12/2017 22:05 WIB
  • 2018: Tahun Afrika untuk Indonesia?

  • Oleh :
    • indonews
2018: Tahun Afrika untuk Indonesia?
Christophe Dorigné-Thomson, Program Doktor Ilmu Politik Universitas Indonesia. (Foto:Ist)

Oleh: Christophe Dorigné-Thomson *)

MENUNJUKKAN kembali visi pragmatisnya, Presiden Jokowi telah mengumumkan benua Afrika sebagai prioritas politik luar negeri Indonesia. Presiden Republik Indonesia telah meminta pemerintahnya, terutama Kementerian Luar Negeri, untuk mengembangkan diplomasi ekonomi ke arah benua tersebut untuk meningkatkan dan memfasilitasi pertukaran dan investasi dalam kerangka kerja sama Selatan-Selatan dan perspektif saling menguntungkan. Dalam konteks strategis ini, Indonesia akan menjadi tuan rumah Indonesia Africa Forum yang pertama pada April 2018 di Bali sebagai platform untuk mempercepat hubungan, terutama ekonomi, antara Indonesia dan negara-negara Afrika.

Baca juga : Penyumbang Devisa Negara, Pemerintah Harus Belajar dari Drama Korea

Tempat kelahiran umat manusia, Benua Afrika, dengan luas lebih dari 30 juta kilometer persegi, sangat besar sehingga bisa menampung sepenuhnya bersama negara-negara seperti China, Amerika Serikat, India, Indonesia, Prancis dan banyak lainnya di dalam wilayahnya. Afrika memiliki seperempat dari daratan dunia, 60% lahan garapan global yang tidak dieksploitasi dan sepertiga sumber daya alam global dengan 90% tidak dieksploitasi.

Mewakili lebih dari seperempat negara anggota PBB dengan 54 negara berdaulatnya, Afrika tidak dapat diabaikan oleh aktor global yang serius dalam mencari pengaruh dan mitra.

Baca juga : Strategi Implementasi "Buku Teks Utama Pendidikan Pancasila", Menyemai Nilai Kebangsaan di Tengah Tantangan Zaman

Dengan populasi lebih dari 1 miliar penduduk dan tingkat pertumbuhan penduduk sebesar 2,6%, Afrika dalam 50 tahun akan menjadi benua dengan populasi 2,2 miliar orang yang merupakan 25% populasi dunia. Sejak tahun 2000, pertumbuhan ekonomi di Afrika telah di atas 5% di negara-negara seperti Sierra Leone, Rwanda, Ghana, Mozambik dan Ethiopia yang menunjukkan tingkat pertumbuhan antara 7 dan 9%. Pemimpin Afrika seperti Jenderal Paul Kagame dari Rwanda telah menjadi model global transformasi negara yang sukses demi kemakmuran rakyat mereka.

Dari tahun 1960 sampai 1990an, Afrika dipandang sebagai benua perang, kelaparan dan penyakit; wabah yang membuat Afrika benua pesimisme.

Baca juga : Satgas Yonif 742/SWY Perkenalkan Ecobrick Kepada Para Murid Di Perbatasan RI- RDTL

Sejak tahun 2000-an, terkait konteks geopolitik baru, optimisme tiba-tiba bangkit. Tidak lagi terpinggirkan sepenuhnya, Afrika telah menjadi benua penuh mukjizat. Setelah Afro-pesimisme, Afro-optimisme hadir di antara para komentator dan media. Hampir dalam semalam, Afrika telah berubah dari benua tanpa harapan menjadi benua yang penuh harapan. Afrika tiba-tiba diasosiasikan dengan pertumbuhan, kemakmuran, inovasi, dan semua kualitas yang dihargai globalisasi.

Sekarang negara adidaya seperti China atau Amerika Serikat tapi juga kekuatan menengah seperti Korea Selatan atau Turki bersaing untuk pasar, sumber daya alam dan perhatian Afrika dan masyarakat Afrika.

Tapi Afrika bukan seperti sebuah trend fashion yang naik turun. “Penser l’Afrique” atau “Berpikir Afrika”, seperti yang dikatakan oleh penulis Senegal Felwine Sarr, berarti melampaui klise dan berpikir Afrika dengan berfokus pada pikiran orang Afrika tentang benua mereka sendiri dan tidak memproyeksikan visi eksternal yang tidak sesuai dengan kenyataan Afrika yang sesungguhnya. Agensi Afrika merupakan topik menarik yang perlu dikaji dan didorong.

Realita akan pesimisme kemarin dan optimisme hari ini belum dapat menggambarkan dengan baik benua Afrika dalam semua kompleksitasnya. Visi tentang Afrika selama ini selalu datang dari luar, seakan Afrika belum pernah menjadi milik orang Afrika sendiri. Deskripsi benua mereka sendiri nampaknya lari dari diri mereka sendiri. Tetapi, bahkan dalam penderitaannya, Afrika tidak akan mati. Indikator Barat tentang kemakmuran ekonomi tidak “membuat” dan tidak dibuat Afrika. Afrika memiliki dan harus memiliki ritme sendiri, mimpi sendiri dan tujuan sendiri.

Pan-Africanism bukanlah mimpi. Ini nyata. Uni Afrika didirikan dengan semangat Pan-Africanisme. Unifikasi adalah proses yang benar-benar dimulai di Afrika.

Di bawah kepemimpinan Presiden Jokowi, Indonesia telah memahami dengan jelas pentingnya Afrika. Indonesia telah terlambat terlibat dengan benua ini dibandingkan dengan kekuatan global lainnya, terutama negara-negara Asia atau ASEAN lainnya seperti Malaysia misalnya. Oleh karena itu, pragmatisme Jokowi sangat bermanfaat bagi Indonesia untuk melibatkan diri dengan Afrika dengan visi strategis dan dinamisme yang diperlukan, yang akan memberi dampak bagi masyarakat Indonesia dan Afrika.

Hubungan Indonesia-Afrika diabadikan dalam prinsip solidaritas Afro-Asia di Bandung yang dihasilkan dari Konferensi Asia Afrika tahun 1955. Kenangan Bandung merupakan leverage diplomatik yang fantastis untuk membuka pintu di benua Afrika jika digunakan dengan strategi dan tujuan yang tepat, dan tidak hanya dengan cara seremonial. Indonesia dipandang berbeda dengan negara lain, yang merupakan keuntungan besar jika Indonesia dapat membantu mewujudkan harapan Afrika.

Keterlibatan ekonomi dengan Afrika bersifat strategis dan harus diintensifkan. Namun Indonesia, mengingat kepemimpinan historisnya dalam hubungan Asia-Afrika, dapat mengusulkan cara baru yang akan dianggap lebih inklusif bagi orang Afrika dan keinginan mereka. Seperti Profesor Lloyd Amoah dari Universitas Accra di Ghana menyatakan: "hubungan antara Afrika-Asia telah terbingkai terlalu sempit dalam hal ekonomi."

Karena telah mendukung kemerdekaan banyak negara Afrika, hubungan Indonesia dengan benua Afrika didasarkan pada persahabatan dan sejarah imperialisme dan kolonialisme.

Indonesia dipandang oleh negara-negara Afrika sebagai contoh yang baik dari sebuah negara pada jalur ekonomi, politik dan budaya yang baik. Sebagai negara demokratis yang stabil, Indonesia memproyeksikan soft power dinamis terhadap Afrika dan bisa menjadi mitra alternatif yang baik bagi negara-negara Afrika. Profil sosio-politik Indonesia dapat dimengerti oleh orang-orang Afrika dan membuatnya menarik bagi negara-negara Afrika untuk belajar darinya. Memiliki fokus yang sama pada stabilitas dan pembangunan, Indonesia dan Afrika dalam banyak hal saling melengkapi.

Kerjasama Indonesia-Afrika mencakup berbagai bidang seperti kesehatan dan Keluarga Berencana (KB), kehutanan, pertanian dan perikanan, lingkungan, pemberdayaan perempuan dan demokrasi. Kerjasama ekonomi meningkat terutama dalam hal perdagangan, energi, infrastruktur, dan maritime dan perikanan. Indonesia menyediakan capacity building untuk sumber daya manusia dan institusi, pembiayaan dan bantuan teknis (Bilateral, Gerakan Non-Blok (GNB) dan Kerjasama Selatan-selatan) kepada negara Afrika.

Perusahaan Indonesia baik BUMN maupun swasta semakin terlibat dengan Afrika. Pertamina telah mengakuisisi ladang minyak di luar negeri pertama di Aljazair. Indofood menguasai pasar mie instan di Nigeria dengan merek Indomie dan sedang ekspansi di seluruh Afrika. Perusahaan lain seperti PT DI, PT KAI, Kalbe Farma, Grup Wings, Sinar Mas, Indorama atau Gajah Tunggal dan lain-lain tumbuh cepat di benua Afrika.

Indonesia juga memiliki pendekatan regional di Afrika melalui keterlibatan dengan Regional Economic Communities (RECs)  Afrika seperti Southern African Development Community (SADC), East African Community (EAC), Economic Community of West African States (ECOWAS) dan RECs lain. RECs ini merupakan building blocks untuk semakin menyatukan Afrika dalam semangat Pan-Africanisme seperti yang diterapkan oleh Uni Afrika dan merupakan cara yang baik untuk mendekati wilayah Afrika secara keseluruhan.

Indonesia dan Afrika terkait selamanya dalam sejarah. Sekarang pertanyaannya adalah bagaimana menjawab harapan sejarah akan hal ini.

Jokowi mengajak masyarakat Indonesia untuk mengerti dan mencintai Afrika, dan melupakan klise. Pola pikir harus berubah dengan cepat. Afrika kaya dan penuh dengan peluang. Afrika membutuhkan mitra terpercaya untuk berbagi dan tumbuh bersama. Indonesia adalah mitra yang layak. Temukan Afrika sekarang, bukan besok!

Seperti pemimpin legendaris Afrika Thomas Sankara mengatakan: "Kita harus berani menciptakan masa depan".

*) Christophe Dorigné-Thomson, Program Doktor Ilmu Politik Universitas Indonesia.

 

 

Artikel Terkait
Penyumbang Devisa Negara, Pemerintah Harus Belajar dari Drama Korea
Strategi Implementasi "Buku Teks Utama Pendidikan Pancasila", Menyemai Nilai Kebangsaan di Tengah Tantangan Zaman
Satgas Yonif 742/SWY Perkenalkan Ecobrick Kepada Para Murid Di Perbatasan RI- RDTL
Artikel Terkini
Didik J Rachbini: Salim Said Maestro Intelektual yang Paling Detail dan Mendalam
Penyumbang Devisa Negara, Pemerintah Harus Belajar dari Drama Korea
Bupati Tanahdatar buka Grand Opening Sakato Aesthetic
Strategi Implementasi "Buku Teks Utama Pendidikan Pancasila", Menyemai Nilai Kebangsaan di Tengah Tantangan Zaman
Satgas Yonif 742/SWY Perkenalkan Ecobrick Kepada Para Murid Di Perbatasan RI- RDTL
Tentang Kami | Kontak | Pedoman Siber | Redaksi | Iklan
legolas