INDONEWS.ID

  • Minggu, 11/11/2018 12:02 WIB
  • Membangun Kemandirian Energi Nasional Melalui Optimalisasi Penggunaan Biosolar

  • Oleh :
    • very
Membangun Kemandirian Energi Nasional Melalui Optimalisasi Penggunaan Biosolar
Biosolar. (Foto:ilustrasi)

(M A Ghani/Dirut PTPN VI Jambi-Sumbar/ghani_ne@yahoo.com)

Jakarta, INDONEWS.ID - Menurut World Energy Council, Indonesia memiliki ketahanan energi yang rendah dinilai berdasarkan aspek keamanan energi, ekuitas (keterjangkauan) dan kelestarian lingkungan. Stock bahan bakar minyak (BBM) hanya cukup untuk kebutuhan 2 minggu.

Baca juga : Rifky Effendy: Arahan Presiden Jokowi Soal Ketahanan Energi Butuh Eksekutor Hebat

Kita sangat tergantung impor dan kontribusi BBM ramah lingkungan masih sangat rendah.  Dari sekitar 125 negara di dunia, Indonesia berada di peringkat 75, kalah dari Filipina (peringkat 70). 

Defisit Migas saat ini juga tertinggi dalam sejarah RI. CNBC Indonesia melaporkan, ketika harga minyak bumi triwulan III/2018 menembus batas psikologis US$ 80/barel maka defisit perdagangan migas mencapai US$ 3,5 Milyar.

Baca juga : Fatamorgana Kemandirian Energi

Pemerintah pada Bulan September telah mengeluarkan Inpres No 8/2018 tentang Moratorium pembukaan areal baru kelapa sawit dan peningkatan produktivitas tanaman. Kebijakan tersebut tepat untuk menghentikan perluasan areal yang bisa menjadi bom waktu ketika harga CPO dunia jatuh.

Saat ini luas sawit Indonesia sekitar 14 Juta Ha dengan produksi 41 juta ton CPO serta melibatkan paling tidak 20 juta orang. Dari total 5,61 juta Ha areal sawit rakyat, 2,4 juta Ha diantaranya perlu diremajakan. Pada sisi lain saat ini harga CPO di Bursa Malaysia berada pada tingkat terendah dalam 3 tahun terakhir, yaitu 2.100 MYR/Ton.

Belakangan ini harga TBS di tingkat petani dibawah Rp 1.000/kg sehingga mereka tidak bisa lagi membeli pupuk. Ketergantungan ekspor CPO kita juga sangat tinggi yaitu 80 % dari total produksi karena serapan dalam negeri hanya seperlimanya yaitu 7 Juta ton.

Skenario Kebijakan BBM Nasional

Dari total 74,4 Juta kiloliter (KL) BBM dalam negeri, 20 %  atau 15,6 Juta KL berasal dari Solar dan sisanya premium (termasuk pertalite, pertamak, dll). Program B20 hanya mampu menyerap 3 juta ton CP0 atau setara penghematan devisa 2,4 Milyar USD (lihat tabel 1). 

Kita harus belajar dari Brazil yang sejak krisis minyak tahun 1973 telah memiliki roadmap kemandirian BBM sehingga saat ini 70% kebutuhan BBM nya dipenuhi dari etanol (tebu).

Dengan asumsi kenaikan konsumsi 5 % setahun maka pada tahun 2027 kebutuhan BBM domestik mencapai 115 Juta KL dan tahun 2037 mencapai 188 Juta KL.  Apabila program B30 tercapai maka Tahun 2027 terserap biosolar 7,3 Juta KL dan  Tahun 2037 12 Juta KL.

Tabel 1. Simulasi Penghematan Devisa dari Perubahan Kebijakan BBM Nasional

No

Uraian

2018

2027

2037

1

Konsumsi BBM (Juta KL)

74,4

115,4

188,0

2

Konsumsi Solar (Juta KL)

15,6

57,7

150,4

3

Rasio Solar terhadap Total BBM (%)

20

50

80

4

Konsumsi Biosolar (B30; Juta KL)

4,7

17,3

45,1

5

Penghematan Devisa (Milyar USD)

2,4

8,9

23,1

Ket: Konsumsi Solar 2018 (20% dari total BBM); 2027 (50 %) dan tahun 2037 (80 %)

 

Untuk meningkatkan kemandirian BBM domestik perlu dibuat program nasional dengan sasaran tahun 2027 separuh BBM menggunakan solar dan tahun 2037 dinaikkan komposisinya menjadi 80 %.

 Dampak Positif

Dampak dari perubahan kebijakan tersebut adalah bertambahnya konsumsi CPO dalam negeri Tahun 2027 menjadi 16 Juta Ton (1 liter Biosolar setara 0,91 Kg CPO) dan tahun 2037 41 Juta Ton.

Ketahanan energi meningkat  karena berkurangnya ketergantungan BBM Impor. Secara geostrategis, tersebarnya pabrik prosesing biosolar di sentra produsen CPO di Sumatera, Kalimantan dan Sulawesi akan meningkatkan pemerataan ketersediaan BBM di daerah  dan menciptakan cadangan BBN Nasional.

Nilai tambah lainnya adalah menciptakan lapangan kerja, pertumbuhan ekonomi daerah dan peningkatan kesejahteraan masyarakat di sekitar perkebunan.

Dengan serapan biosolar dalam negeri yang besar maka akan mendorong tumbuhnya industri hilir kelapa sawit didalam negeri dan  meningkatkan kemampuan ekspor.

Upaya Yang Harus Dilakukan

Untuk mendukung sasaran diatas maka Pemerintah perlu membangun kawasan ekonomi khusus (KEK) bagi industri berbasis CPO di daerah sentra perkebunan kelapa sawit seperti di Riau (2,8 Juta Ha); Sumut (1,6 Juta Ha), Kalbar (1,6 Juta Ha), Kalteng (1,5 Juta Ha), Sumbar-Jambi (1,4 Juta Ha), Sumsel (1,2 Juta Ha) dan Kaltim (1,0 Juta Ha). Pemerintah juga perlu membuat regulasi yang memberikan kemudahan bagi investor.

Kebijakan fiskal juga bisa dielaborasi dengan menetapkan PPNBM lebih rendah bagi mobil berbahan bakar solar dibandingkan bensin. Di sektor hilir bisa ditetapkan pajak kendaraan bermotor (PKB) yang lebih murah untuk kendaraan berbahan bakar solar.

Tentu saja merubah kebijakan yang sangat strategis tersebut tidak mudah. Perlu dialog nasional yang intens agar para pemangku kepentingan dan pemburu rente - yang saat ini banyak menikmati keuntungan dari impor BBM bisa menerima dengan lapang dada demi untuk kepentingan rakyat banyak. (Very)

 

Artikel Terkait
Rifky Effendy: Arahan Presiden Jokowi Soal Ketahanan Energi Butuh Eksekutor Hebat
Fatamorgana Kemandirian Energi
Artikel Terkini
Didik J Rachbini: Salim Said Maestro Intelektual yang Paling Detail dan Mendalam
Penyumbang Devisa Negara, Pemerintah Harus Belajar dari Drama Korea
Bupati Tanahdatar buka Grand Opening Sakato Aesthetic
Strategi Implementasi "Buku Teks Utama Pendidikan Pancasila", Menyemai Nilai Kebangsaan di Tengah Tantangan Zaman
Satgas Yonif 742/SWY Perkenalkan Ecobrick Kepada Para Murid Di Perbatasan RI- RDTL
Tentang Kami | Kontak | Pedoman Siber | Redaksi | Iklan
legolas