INDONEWS.ID

  • Sabtu, 04/05/2019 10:56 WIB
  • Mengenang Kerusuhan Mei`98, Seniman Harus Perduli Politik

  • Oleh :
    • very
Mengenang Kerusuhan Mei`98, Seniman Harus Perduli Politik
Lutfhie Eddy, seniman. (Foto: Ist)

Oleh: Lutfhie Eddy *)

INDONEWS.ID -- Memasuki bulan Mei 2019 ini, saya ingin mengingatkan publik dan khususnya pada diri sendiri bahwa gegap gempita politik (pilpres & pileg) dengan durasi kampanye cukup panjang saat ini sangat melelahkan telah menguras energi, biaya serta makin memprihatinkan dengan gejala terbukanya potensi konflik horisontal di masyarakat.

Baca juga : Aksi PNM Peduli Serahkan Sumur Bor Untuk Warga Indramayu Dan Tanam Mangrove Rhizophora

Berbagai issue meramaikan media sosial dengan berita hoaxs, hujatan, cacian, penuh kebencian nan provokatif menjadi santapan setiap hari. Bersamaan dengan issue tidak netralnya aparat dan penyeleggara pemilu, banyaknya jumlah korban petugas pemilu yang telah mencapai 474 orang meninggal dunia hingga saat ini telah menjadi perhatian dunia International. Hingga muncul trending di Google dengan tag #INAelectionObserverSOS

 

Baca juga : PTPN IV Regional 4 Jambi, Bantu Beras Warga Solok

Seniman Perduli Politik?

Iya, seniman harus berpolitik, saya sebagai seniman pelukis pernah menjadi "korban" akibat peristiwa politik berujung Kerusuhan Mei`98.

Baca juga : Umumkan Rencana Kedatangan Paus Fransiskus, Menteri Agama Dukung Penuh Pengurus LP3KN

Dengan musnahnya semua hasil karya lukisan saya karena terbakar pada saat kerusuhan Mei`98 disebuah galeri seni kawasan Glodok Plaza, Jakarta. Dimana telah mengubur mimpi saya untuk berpameran tunggal perdana yang direncanakan digelar di Plaza Indonesia.

Saya yakin, masyarakat/keluarga korban masih mengingat peristiwa kelam tersebut sekaligus berharap tidak terulang peristiwa serupa di tahun politik yang memanas.

Semua warga negara harus sadar politik, tidak terkecuali seniman. Hadirnya seniman di kancah perpolitikan diperlukan. Seniman masuk ke bidang politik dianggap mampu membantu memperbaiki dinamika dunia seni dan budaya di Indonesia.

Politik dan seni sebetulnya saling berkaitan. Apalagi, politik dipandang sebagai sebuah cara untuk menuju perubahan yang lebih baik, bukan sekedar meraih kekuasaan (para kotestan).

Seniman dan politikus semestinya berkolaborasi mengembangkan seni-budaya.

Saat mendengar kata politik, konotasi negatif serta merta ada dalam paradigma berpikir para seniman, terlebih lagi dihadapkan pada realitas perilaku sebagian pejabat dan politikus yang masih jauh dari harapan masyarakat.

Tidak jarang beberapa seniman menempatkan dirinya sebagai makhluk antipolitik/apolitis, seakan bermoral lebih baik dari politikus?.

Tidak!. Ada sebagian perilaku seniman (oknum) lebih buruk dan praktik keseniannya kotor ketimbang politikus, mereka adalah para pemalsu karya yang dicukongi para mafia seni, sudah berlangsung lama dan bukan rahasia umum lagi. Bagi yang mau menelaah lebih jernih, politik merupakan sarana untuk merealisasikan harapan dan cita-cita lewat usaha bersama guna membangun seni budaya lebih baik berikut regulasi dan payung hukumnya.

Seniman dan politikus layaknya bermitra sebagai "Patner Strategis", adalah menjadi keniscayaan. Kesenian sebagai wilayah publik mau tidak mau dan suka tidak suka akan bersinggungan dengan politik, terlebih lagi bila dikaitkan dengan kebijakan pemerintah yang menyoal seni budaya. Sudah lama, sejak kemerdekaan Republik Indonesia, negara belum memiliki Galeri Nasional yang memadai, mestinya ada skala prioritas kebijakan untuk mengelola secara serius seni budaya, sekaligus sebagai sarana diplomatis dalam pergaulan antar bangsa.

Kebijakan dan regulasi yang ada, belum/atau bahkan tidak memihak kesenian dan seniman sebagai pelaku kesenian. Bahkan lebih jauh lagi, payung hukum untuk anggaran kesenian digantungkan pada pos-pos instansi, misalnya pada Dinas Pariwisata. Dengan kejelasan payung hukum maka seniman tidak lagi pada posisi rentan dan punya otonomi untuk mengelola kehidupannya.

Berkaitan dengan hal itu, pilihan seniman untuk berpolitik praktis (masuk partai) maupun non partai bukanlah kesalahan. Kemungkinan itu menjadi salah satu jawaban untuk mendorong percepatan kemunculan kebijakan politik yang memihak seniman. Apakah dengan bendera parpol seniman mampu bertahan dalam mengusung cita-cita memajukan seni budaya? Atau bahkan terjerumus dalam langkah yang makin membingungkan?

Wallahu a`lam bish-shawabi.

"Orang berpolitik itu kan orang mencari cara. Dari perspektif formal, kenapa orang berpolitik?, salah satunya adalah menginginkan adanya perubahan dan perbaikan, tidak semata kekuasaan. Walau semua sepakat bahwa kekuasaan bisa membuat perubahan.

Sejarah mencatat persinggungan politik dan seni sudah berlangsung sejak puluhan tahun silam. Chairil Anwar dan Asrul Sani menyatakan bahwa, "Berjuang di seni dan kebudayaan sama pentingnya seperti di medan peperangan".

Seniman harus berpolitik tetapi bukan sebagai "boneka politik tanpa daya tawar".

Pemilu kali ini muncul keterlibatan lintas seniman berbaur dengan umat dan hampir semua elemen masyarakat, keterlibatan seniman kali ini berbeda dengan keterlibatan pemilu sebelumnya, yakni keterlibatan yang cair dan "tanpa bayaran". Keterlibatan seniman yang bersifat sukarela tanpa ada iming-iming uang, bahkan rela merogoh kocek pribadinya karena semata mata panggilan hati nurani yang menginginkan adanya perubahan, mereka menjadi peserta dan bukan penonton politik.

Ada sejumlah keterlibatan relawan seni, pameran-pameran karya seni bernuansa dukungan politik, ada para musisi yang telah memiliki pengagum/pengikut yang luas dan sebagai pendukung salah satu pihak (secara terbuka).

Sementara para perupa membuat pelbagai poster, komik, meme/mim diproduksi, ditanam di laman web, dan disebarkan secara massif lewat berbagai jenis media sosial.

Ada juga partisipasi kreatif  campuran antara mata-telinga (audiovisual) terdokumentasi dengan baik di laman youtube.

Karena kegusaran menyaksikan akrobatik panggung politik Nasional lalu saya teringat pada sebuah ungkapan:

"Jika politik sudah menjadi liar tanpa kendali, maka seni harus turun gunung untuk menjinakkannya". Karena saya yakin seni-budaya adalah upaya untuk meningkatkan kualitas kehidupan manusia agar dibimbing oleh keindahan yang nyaris tanpa batas itu.

Sudah semestinya menjadi tugas para seniman dan sastrawan untuk turut mengemban tugas penting ini agar kaum politisi memiliki kepekaan, punya rasa malu dan tanggung jawab moral yang tinggi dalam berkiprah untuk kepentingan rakyat banyak. Virus seni dan sastra yang disuntikkan ke dalam otak dan batin politisi diharapkan mampu mengurangi kebobrokan pejabat, para politisi yang sudah nyaris tanpa rasa malu mempertontonkan kejahatannya, cengengesan di depan publik saat menjadi tersangka/terpidana, kerap kali kita saksikan di televisi.

Ayoo para seniman dan pekerja seni, berjuanglah dalam pesta demokrasi, demi perubahan yang lebih baik.

Ada ungkapan: “1000 kali seniman tak berpolitik, 1000 kali pula politik mencampuri seni dan seniman”. 

*) Penulis adalah Seniman

Artikel Terkait
Aksi PNM Peduli Serahkan Sumur Bor Untuk Warga Indramayu Dan Tanam Mangrove Rhizophora
PTPN IV Regional 4 Jambi, Bantu Beras Warga Solok
Umumkan Rencana Kedatangan Paus Fransiskus, Menteri Agama Dukung Penuh Pengurus LP3KN
Artikel Terkini
Ketua Pengadilan Negeri Batusangkar Dirikan Dapur dan Pendistribusian untuk Korban Banjir Bandang Tanah Datar
Aksi PNM Peduli Serahkan Sumur Bor Untuk Warga Indramayu Dan Tanam Mangrove Rhizophora
PTPN IV Regional 4 Jambi, Bantu Beras Warga Solok
Pastikan Arus Barang Kembali Lancar, Menko Airlangga Tinjau Langsung Pengeluaran Barang dan Minta Instansi di Pelabuhan Tanjung Priok Bekerja 24 Jam
Umumkan Rencana Kedatangan Paus Fransiskus, Menteri Agama Dukung Penuh Pengurus LP3KN
Tentang Kami | Kontak | Pedoman Siber | Redaksi | Iklan
legolas