Jakarta, INDONEWS.ID - Politisi Partai Gerindra Fadli Zon mengatakan bahwa membawa kasus Pemilu ke Mahkaman Konstitusi (MK) adalah buang-buang waktu saja. Menurut Fadli, MK tidak becus dalam mengurus sengketa pemilu.
Fadli mengungkapkan, Prabowo memunyai pengalaman mengadukan ke MK saat terjadi sengketa hasil Pilpres 2014. Ia menyebut saat itu MK tidak bisa menjalankan tugasnya sebagai pengadil dalam sengketa Pilpres 2014.
Pada Pilpres 2019, kubunya membawa banyak bukti terkait selisih angka dalam penghitungan suara KPU. Namun, Fadli mengklaim MK sama sekali tidak membuka bukti yang dibawanya itu. Karena itu, ia menilai membuang-buang waktu kalau mengajukan gugatan ke MK.
"Sudah, buang-buang waktu saja yang namanya Mahkamah Konstitusi dalam urusan pilpres. Apalagi orang-orangnya berpolitik semua. Mungkin enggak semua tapi sebagian,” ujarnya di Jakarta, Rabu (15/5).
Menanggapi pernyataan Fadli Zon tersebut, pengamat politik dari President University, Muhammad AS Hikam mengatakan bahwa hal itu merupakan sebuah contoh pendidikan politik yang sangat buruk bagi penguatan demokrasi yang dilakukan oleh seorang petinggi negara.
“Dalam hal ini seorang pemimpin lembaga tinggi negara (DPR) seperti mengajari rakyat untuk tak mempercayai (distrust) terhadap lembaga tinggi negara yang terhormat dan punya track record baik seperti MK. Bahkan jika dibanding dengan DPR, mungkin malah lebih baik!,” ujar Hikam melalui siaran pers di Jakarta, Kamis (16/5).
Menurut Hikam, kalaupun Fadli Zon tidak percaya terhadap MK, secara aturan ia tetap wajib mengikuti prosedur yang telah ditetapkan oleh UU dan berlandaskan kepada konstitusi manakala punya komplain terkait hasil Pemilu.
“Biar rakyat Indonesia yang menilai apakah MK, lembaga penguji UU dan pemutus perselisihan Pemilu itu, telah atau belum bekerja sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya,” ujarnya.
Melulu sebuah pendapat pribadi dan/atau kelompok, yang bisa saja penuh dengan kepentingan politik, jelas tidak valid digunakan sebagai satu-satunya dasar dan ukuran untuk menilai kapasitas MK ataupun lembaga tinggi negara lainnya.
“Tanpa ketaat-asasan terhadap prosedur yang disepakati maka praktik demokrasi akan mudah digeser menjadi tirani mayoritas dan diktor minoritas. Karena rule of law tersia-siakan dan dilecehkan,” pungkasnya. (Very)