INDONEWS.ID

  • Senin, 03/06/2019 14:45 WIB
  • Eulogy Funeral Diplomacy

  • Oleh :
    • hendro
Eulogy Funeral Diplomacy
Pengamat sosial dan politik Christanto Wibisono

Jakarta, INDONEWS.ID - Funeral diplomacy refers to the conference held by world leaders when they assemble together to pay their homage to a deceased international figure. G R Berridge menulis dalam Diplomacy and Statecraft vol 4 no 2 Juli 1993 artikel berjudul Diplomacy after Death: The Rise of  the Working Funeral. Diplomat itu mengisahkan pemanfaatan acara “mendadak” melayat jenazah rekan elite global sebagai kesempatan jarang untuk menerobos kebekuan hubungan bilateral atau multilateral. Beberapa pertemuan “tanpa perencanaan” bisa terjadi dalam “funeral diplomacy”.  

Sabtu kemarin saya menulis “eulogy instant” selamat jalan Ibu Ani berjumpa dengan ayahanda tercinta Sarwo Edi Wibowo,  yang telah berangkat 30 tahun lalu pada 9 November 1989 dalam usia 64 tahun. Karena  Letjen Sarwo Edi lahir 25 Juli 1925 seumur dengan Mahathir yang lahir 10 Juli 1925. Semoga momentum elite melayat bisa mendamaikan cold war elite.Funeral diplomacy between 01 dan 02 by the Grace of God via the 6th president  family.”

Sayangnya yang memanfaatkan hanya Presiden ke-5 Megawati yang melayat ke TMP Kalibata dan bersalaman dengan Presiden ke-6 SBY. Capres 02 menurut running rext hari Minggu, baru akan melayat ke Cikeas hari Senin 3 Juni. 

Sehingga usulan funeral diplomacy untuk bisa mempertemkan Presiden Jokowi dengan capres Prabowo yang lahir 17 Oktober 1952 beda hanya beberapa bulan dari Ani Yudhoyono yang lahir 6 Juli 1952 tidak ter”laksana” pada hari Minggu 2 Juni 2019. 

Indonesia memang unik karena pernah punya Presiden yang “jotakan”(tidak bersedia bertegur sapa atau bertemu dengan lawan politik tertentu, diharamkan dan di-tabu-kan bahkan hanya untuk bersomplokan secara tidak sengaja. Karena itu dimasa Orde Baru orang yang mengundang tamu untuk pesta mantu atau bahkan melayat anggota keluarga yang wafat, harus mewaspadai orangorang tertentu agar tidak masuk daftar tamu yang diundang, sebab Presiden kedua RI tidak berkenan dengan orang tersebut. 

Mereka ini adalah yang disebut kelompok Petisi 50 dengan trio anggota yang terkenal yaitu Jendral Abdul Haris Nasution, Letjen KKO Ali Sadikin dan Jendral Polisi Hugeng Iman Santoso.. Petisi 50 ini diblack list sekirat 15 tahunan, sebelum di cairkan dan dipulihkan oleh Menristek Habibie dan Presiden Soeharto bisa rujuk dengan Nasution, Ali Sadikn dan bahkan Benny Moerdani. Ironisnya justru Soeharto kemudian malah men-jotak-e Habibie danKetua MPR serta menteri yang mbalelo meninggalkan dirinya sendirian pada 20 Mei 1998.

Ketika Soeharto ketemu Benny Moerdani, keduanya menyesal sempat berseteru setelah Moerdani mendadak dipecat 1988 untuk memuluskan Sudharmono menjadi Wapres ke 5 pada Sidang Umum MPR hasil pemilu 1977pada Maret 1988. Tentu saja setelah Soeharto lengser 1998.Sesal kemudian tak berguna.

Konfrontasi dan konflik antara paslon petahana yang memenangkan pilpres dengan meyakinkan melawan pecundang yang telanjur memobilisasi 44,5 % pemilih memang mengejutkan dan musjkil untuk dipecahkan secara “umum”. Tapi delegitimasi KPU jelas tidak valid, tidak gentleman, tidak ksatria dan sangat “infantile” yang malah lebih menyedihkan lagi karena memakai ujaran kebencian dan memecah belah bangsa secara mendasar. Konfrontasi pemilih 01 sebanyak 55,5% dan pemilih 02 sekitar 44,5% tentu tidak boleh diteruskan permanen. 

Hari Senin 3 Juni 2019 petang jam 16.00 dijadwalkan mantan capres Prabowo yang belum mau mengakui  perhitungan KPU akan melayat menyampaikan duka cita ke kediaman Ibu Ani di Cikeas menemui Presiden ke-6 SBY.  Mungkin sudah tidak ada lagi surprise, funeral diplomacy. Sebab yang sekarang trending adalah sejarah Tiananmen 4 Juni 1989, 30 tahun insiden Tiananmen yang sedang direnungkan ulang oleh 1,4 milyar rakyat Tiongkok dengan kesedihan yang tertutup misteri tanpa penjernihan apa yang terjadi  pada demo yang berlangsung sejak April sampai 4 Juni 1989 itu. 

Manusia sejagat yang berhati nurani tentu bersedih dengan insiden Tiananmen 1989 dan atau Jakarta Mei 1998 dan 21-22 Mei 2019.  Secara individu juga kepergian karena tragedi penyakit atau kemendadakan yang menyergap membuat manusia dilanda kesedihan. Sudah cukup Indonesia dilanda tangis 1965 dan 1998 serta 21-22 Mei 2019, jangan ada lagi yang mengulangi tragedi politik keji itu kalau tidak ingin Indonesia dihukum karma bubar seperti Uni Soviet atau Yugoslavia, lenyap dari eksistensi geopolitik karena ulah elitenya sendiri. Jakarta 3 Juni 2019 penulis buku Kencan dengan Karma. (Christianto Wibisono, penulis buku Kencan dengan Karma)

Artikel Terkait
Artikel Terkini
Pj Bupati Maybrat Hadiri Festival BENLAK 2024, Peringati Hari Jadi ke-17 Minahasa Tenggara
Bertemu CEO Hyundai, Menko Airlangga Bicarakan Implementasi Solusi Jaringan Hidrogen dan Peningkatan Kapasitas Pemasok Lokal
Pimpin Peringatan Harkitnas Ke-116, Kepala BSKDN Kemendagri Sampaikan Amanat Menkominfo
Bertemu CEO LG CNS, Menko Airlangga Dorong Investasi Korea Selatan pada Pembentukan Platform Teknologi Masa Depan
Di Hari Kebangkitan Nasional, Lisa Rosanti Nasabah Mekaar Solok Siap Bangkitkan Produk Lokal Rajai Pasar Nasional
Tentang Kami | Kontak | Pedoman Siber | Redaksi | Iklan
legolas