Jepang, INDONEWS.ID -- Setelah memastikan keabsahan kemenangan Pilpres 2019 oleh Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, pada tanggal 27 Juni 2019 malam Presiden Joko Widodo bertolak menuju Osaka untuk menghadiri Pertemuan Tingkat Tinggi G20 (G20 Summit) yang berlangsung pada akhir pekan ini, 28-29 Juni 2019. Menurut rencana, Presiden Jokowi akan membawa agenda digital ekonomi dan kesenjangan.
Hal yang ditunggu tentu saja juga menyangkut solusi untuk mengakhiri perang dagang antara Amerika Serikat dan China yang mempunyai dampak kuat pada gejolak ekonomi global.
Direktur Eksekutif Migrant CARE Wahyu Susilo mengatakan, jika mengacu pada agenda prioritas periode kedua pemerintahan Jokowi mengenai peningkatan sumberdaya manusia Indonesia, Presiden Jokowi tentu harus mengedepankan kepentingan nasional terkait kualitas pembangunan manusia Indonesia dalam setiap proses perundingan di G20 maupun agenda bilateral lainnya di Jepang.
“Hendaknya agenda ekonomi digital tak hanya menyangkut soal start up, unicorn dan sejenisnya tetapi juga menyangkut soal tantangan kesiapan tenaga kerja, kualitas serta jaminan sosialnya yang selama ini diabaikan dalam perbincangan tentang ekonomi digital,” ujar Wahyu, melalui siaran pers, di Jakarta, Jumat (28/6).
Sementara itu, kata Wahyu, agenda mengenai kesenjangan (inequality) sangat terkait dengan komitmen global Sustainable Development Goals.
“Presiden Jokowi harus berani dan tegas menyerukan seluruh negara-negara anggota G20 mengedepankan kerjasama konkrit untuk pencapaian SDGs, antara lain dengan penghapusan praktek perbudakan modern, kemudahan bagi migrasi tenaga kerja untuk kerja layak serta agenda-agenda perlindungan sosial, kesetaraan gender dan kelestarian lingkungan,” ujarnya.
Terkait dengan adanya peluang pekerjaan bagi ratusan ribu warga negara Indonesia di Jepang, Presiden Jokowi, kata Wahyu, hendaknya memastikan bahwa pekerjaan tersebut adalah pekerjaan yang layak, dengan jaminan perlindungan sosial ketenagakerjaan yang memenuhi standar perburuhan dan hak asasi manusia.
“Di masa lampau, Indonesia memiliki pengalaman buruk dalam penempatan pekerja migran atas nama pemagangan yang tidak sesuai dengan standar perburuhan dan hak asasi manusia,” pungkasnya. (Very)