INDONEWS.ID

  • Jum'at, 05/05/2017 14:51 WIB
  • ICJR Dorong Penghapusan Pasal Penodaan Agama dalam RKUHP

  • Oleh :
    • Abdi Lisa
ICJR Dorong Penghapusan Pasal Penodaan Agama dalam RKUHP
Pasal Penodaan Agama harus dihapus dari KUHP dan RKUHP. (Foto: Ilustrasi)
Jakarta, INDONEWS.ID -- Insitute for Criminal Justice Reform (ICJR) memandang rumusan ketentuan penodaan agama, baik dalam KUHP maupun Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) terlampau kabur dan tidak mempunyai kejelasan tujuan. Selain itu, praktik penegakkan hukum tentang penodaan agama juga memiliki masalah tersendiri. Karena itu, ICJR menyerukan penghapusan pasal penodaan agama dalam RKUHP. “Dalam praktiknya ketentuan penodaan agama malah menghambat pemeluk agama atau kepercayaan yang berbeda-terutama kalangan minoritas-untuk menjalankan agama atau kepercayaannya tersebut,” ujar Direktur Eksekutif ICJR Supriyadi Widodo Eddyono, di Jakarta, Jumat (5/5/2017). Supriyadi mengatakan, dalam kasus-kasus penodaan agama, praktik pengadilan tidak bergerak dari asumsi dasar, yaitu ukuran benar atau tidak terjadinya penodaan agama dilihat dari tafsir organisasi keagamaan yang ada. “Karena itu pengadilan selalu gagal dalam menentukan batas-batas tegas kapan suatu pernyataan dapat dikategorikan sebagai penodaan atau permusuhan terhadap agama tertentu,” ujarnya. Supriyadi mengatakan, menafsir batas-batas yang diperbolehkan menurut hukum, menjadi pekerjaan besar yang belum pernah tersentuh sama sekali sampai saat ini. Sulitnya Pengadilan menentukan batas-batas ini merupakan konsekuensi logis dari “lenturnya rumusan delik dalam penodaan agama" yang ada saat ini. Seperti diketahui, pasal penodaan agama yang diatur dalam Pasal 156 a KUHP berasal dari aturan yang disahkan pada masa pemerintahan Presiden Soekarno melalui UU No 1/PNPS/1965 yang diundangkan pada 27 Januari 1965. Pasal 1 UU tersebut menyebutkan dengan tegas larangan mengusahakan dukungan umum dan untuk melakukan penafsiran terhadap sesuatu agama. "Setiap orang dilarang dengan sengaja di muka umum menceritakan, menganjurkan atau mengusahakan dukungan umum untuk melakukan penafsiran tentang sesuatu agama yang dianut di Indonesia, atau melakukan kegiatan-kegiatan keagamaan yang menyerupai kegiatan-kegiatan agama itu, penafsiran dan kegiatan mana menyimpang dari pokok-pokok ajaran dari agama itu," demikian bunyi pasal tersebut. Adapun ketentuan Pasal 156 a KUHP berasal dari ketentuan Pasal 4 UU tersebut yang langsung memerintahkan agar ketentuan tentang penodaan agama, dimasukkan dalam KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana). Menurut pasal ini, seseorang bisa dipidana penjara selama-lamanya lima tahun jika dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan:
  1. Yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia;
  2. Dengan maksud agar supaya orang tidak menganut agama apapun juga, yang bersendikan ke-Tuhanan Yang Maha Esa."
Sementara itu didalam pembahasan Rancangan KUHP, ketentuan tentang Penodaan Agama diatur dalam Pasal 348 hingga Pasal 350. Pasal 348 menyebutkan, “Setiap orang yang di muka umum melakukan penghinaan terhadap agama di Indonesia, dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau pidana denda paling banyak Kategori III”. Pasal 349 menyebutkan, (1)  Setiap orang yang menyiarkan, mempertunjukkan atau menempelkan tulisan atau gambar, sehingga terlihat oleh umum, atau memperdengarkan suatu rekaman sehingga terdengar oleh umum, yang berisi tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 348, dengan maksud agar isi tulisan, gambar, atau rekaman tersebut diketahui atau lebih diketahui oleh umum, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Kategori IV. (2) Jika pembuat tindak pidana sebagaimana  dimaksud pada ayat (1) melakukan perbuatan tersebut dalam menjalankan profesinya dan pada waktu itu belum lewat 2 (dua) tahun sejak adanya putusan pemidanaan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang sama maka dapat dijatuhi pidana tambahan berupa pencabutan hak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 93 ayat (1) huruf g. Sedangkan Pasal 350 menyebutkan, “Setiap orang yang di muka umum menghasut dalam bentuk apapun dengan maksud meniadakan keyakinan terhadap agama yang sah dianut di Indonesia, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun atau pidana denda paling banyak Kategori IV”. Kebebasan Berekspresi ICJR memandang bahwa kebebasan berekspresi adalah “cornerstone” yang memungkinkan hak-hak lain dapat dinikmati dan juga dilindungi, dan karenanya harus dilindungi. Kebebasan berekspresi menjadi kunci untuk mendorong setiap orang menyatakan pendapatnya secara bebas dan tanpa gangguan, dan mendorong terjadinya pertukaran gagasan. “Bila ditilik lebih jauh, (kebebasan berekspresi) merupakan kunci bagi terbangunnya demokrasi elektoral dan membangun kepercayaan publik terhadap pemerintah,” ujar Supriyadi. Supriyadi mengatakan, kebebasan berekspresi juga memiliki kaitan dengan kebebasan memeroleh informasi publik, sehingga dapat memperkuat mekanisme untuk menuntut pertanggungjawaban pemerintah atas janji, dan kewajiban konstitusionalnya. Kebebasan berekspresi jadi dasar penting untuk memerangi korupsi dan mengurangi kemiskinan. “Kebebasan berekspresi pun penting untuk pelaksanaan kebebasan beragama. Jika orang tidak bebas untuk mewujudkan agama mereka, tidak ada hak untuk kebebasan berekspresi,” ujarnya. ICJR juga menyetujui bahwa kebebasan berekspresi bukan tanpa batas namun dapat dibatasi. Hal ini tercermin dalam ketentuan Pasal 18 ayat (3) dan Pasal 19 ayat (3) ICCPR. Supriyadi mengatakan, pembatasan terhadap kebebasan berekspresi terutama dalam kebebasan beragama tetap harus diatur berdasarkan kerangka uji tiga rangkai yaitu: (1) pembatasan dilakukan hanya untuk memenuhi tujuan yang sah; (2) Pembatasan tersebut harus dilakukan berdasarkan UU yang berlaku, yang ditetapkan secara demokratis; dan (3) Pembatasan tersebut juga diperlukan dalam masyarakat yang demokratis. Selain wajib memenuhi ketentuan-ketentuan pembatasan tersebut, perumusan ketentuan pidana harus memenuhi 3 prinsip penting yaitu lex scripta (harus dinyatakan secara tertulis), lex certa (dirumuskan dengan rinci), dan lex sctricta (tidak menimbulkan penafsiran lain). “Dalam konteks tersebut, yang seharusnya dilindungi adalah hak masyarakat untuk menjalankan agama atau kepercayaannya berdasarkan pilihan hati nuraninya. Karena itu, dalam konteks kebebasan berekspresi, diatur kewajiban yang tegas,” ujarnya. (Very)
Artikel Terkait
PT Sri Pamela Group Berkolaborasi dengan UPT II WASNAKER SUMUT dalam Menyemarakkan May Day Sumatera Utara Tahun 2024
PT Perkebunan Nusantara I Regional 4 Raih Penghargaan Indonesia CSR Brand Equity Awards dari The Iconomics
Indonesia Sambut Baik dan Dorong Kolaborasi dalam Perkuat Ketahanan Pangan melalui IDMA Exhibition dan TABADER Summit 2024
Artikel Terkini
PT Sri Pamela Group Berkolaborasi dengan UPT II WASNAKER SUMUT dalam Menyemarakkan May Day Sumatera Utara Tahun 2024
PT Perkebunan Nusantara I Regional 4 Raih Penghargaan Indonesia CSR Brand Equity Awards dari The Iconomics
Empat Jenazah korban banjir Bandang Batang Anai Dishalatkan
Indonesia Sambut Baik dan Dorong Kolaborasi dalam Perkuat Ketahanan Pangan melalui IDMA Exhibition dan TABADER Summit 2024
Nanik Yuliati, Pensiunan Guru Senang Bersama Mekaar Usahanya Berkembang
Tentang Kami | Kontak | Pedoman Siber | Redaksi | Iklan
legolas