INDONEWS.ID

  • Minggu, 15/09/2019 15:01 WIB
  • Ketentuan Aborsi untuk Korban Perkosaan Seharusnya Tak Dibatasi Jangka Waktu

  • Oleh :
    • very
Ketentuan Aborsi untuk Korban Perkosaan Seharusnya Tak Dibatasi Jangka Waktu
Korban pemerkosaan. (Foto: Ilustrasi)

Jakarta, INDONEWS.ID -- RKUHP masih memuat ketentuan mengenai penguguran kandungan. Setiap perempuan yang mengugurkan kandungannya masih dipidana. Namun secara diskriminatif, RKUHP justru memuat ketentuan seperti dalam rumusan UU Kesehatan dengan membedakan perlakukan antara dokter dengan korban.

Jumat, 13 September 2019, DP, perempuan korban perkosaan 4 orang buruh di Padang, dikabarkan hamil 5 bulan. Sayangnya, dengan ketentuan yang ada saat ini, pilihan DP untuk menghentikan kandungannya sudah tidaklah lagi tersedia, meskipun dirinya adalah korban perkosaan yang seharusnya diberikan pilihan untuk melakukan aborsi jika tidak menginginkan kandungan hasil perkosaannya tersebut sebab umur kehamilannya telah mencapai 5 bulan.

Baca juga : Aksi PNM Peduli Serahkan Sumur Bor Untuk Warga Indramayu Dan Tanam Mangrove Rhizophora

“Meskipun Indonesia telah memberikan pilihan bagi korban perkosaan untuk melakukan aborsi melalui ketentuan Pasal 75 ayat (2) huruf b jo. pasal 76 UU tentang Kesehatan, namun dalam praktiknya ketentuan tersebut tidak dapat terlaksana,” ujarn peneliti ICJR, Genoveva Alicia melalui siaran pers di Jakarta, Sabtu (14/9).

Genoveva mengatakan, pasal 75 ayat (2) huruf b jo. Pasal 76 UU Kesehatan secara tegas mengatakan bahwa aborsi boleh dilakukan apabila kehamilan terjadi akibat perkosaan yang dapat menyebabkan trauma psikologis bagi korban perkosaan, dengan syarat hanya dapat dilakukan sebelum kehamilan berumur 6 (enam) minggu dihitung dari hari pertama haid terakhir, kecuali dalam hal kedaruratan medis.

Baca juga : PTPN IV Regional 4 Jambi, Bantu Beras Warga Solok

“Penting untuk diketahui, bagi korban perkosaan untuk dapat membuka diri dan menceritakan pengalaman yang terjadi kepadanya, mereka harus diberikan waktu sehingga bisa melampaui trauma yang dialaminya,” ujarnya.

Data dari Lentera Sintas Indonesia pada 2016 pun menunjukkan bahwa 93% penyintas perkosaan, tidak melaporkan perkosaan yang dialami. Apalagi, untuk dapat menceritakan bahwa dirinya mengalami kehamilan yang diakibatkan dari perkosaan tersebut. Perkosaan yang menimbulkan kehamilan sendiri terhadap korban berdasarkan penelitian Harvard Humanitarian Initiative and Oxfam berjudul The Right to an Abortion for Girls and Women Raped in Armed Conflict pada 2011 dapat menimbulkan kesedihan, kemarahan, ketakutan, kecemasan, rasa malu, dan penderitaan.

Baca juga : Umumkan Rencana Kedatangan Paus Fransiskus, Menteri Agama Dukung Penuh Pengurus LP3KN

“Sayangnya, ketentuan UU Kesehatan gagal mengakomodasi pengalaman korban perkosaan tersebut, dan memunculkan batasan waktu bagi korban perkosaan untuk dapat melakukan aborsi,” ujarnya.

ICJR mengingatkan kembali pada kasus WA, anak di Jambi yang harus menjalani proses pidana karena menghentikan kandungannya yang diperoleh dari perkosaan oleh kakak kandungnya. Sekarang kondisi yang sama bisa terjadi pada kasus DP yang tidak memiliki pilihan sama sekali. Hal ini, jelas akan menimbulkan penderitaan berganda dari korban perkosaan, yang seharusnya mendapatkan perlindungan dari negara.

“ICJR menilai, seharusnya, ketentuan mengenai aborsi untuk korban perkosaan tidaklah dibatasi dengan jangka waktu tertentu. Korban perkosaan harus memiliki hak untuk memperoleh pelayanan kesehatan yang diperlukan, termasuk di antaranya pelayanan untuk melakukan aborsi yang aman berdasarkan alasan kesehatan dan psikologis, secara ilmiah hal ini bisa dilaksanakan,” ujarnya.

Tidak berhenti di sana, kondisi yang ada saat ini, dimana korban perkosaan masih sulit untuk dapat melakukan aborsi atas kehamilannya karena terkendala aturan yang sifatnya sangat teknis, justru diperparah dengan kehadiran pasal pidana aborsi di dalam Rancangan KUHP (RKUHP). Sampai dengan draft versi 28 Agustus 2019, RKUHP masih memuat ketentuan mengenai penguguran kandungan. Setiap perempuan yang mengugurkan kandungannya masih dipidana. Namun secara diskriminatif, RKUHP justru memuat ketentuan seperti dalam rumusan UU Kesehatan dengan membedakan perlakukan antara dokter dengan korban. RKUHP memuat pengecualian berupa tidak memidana dokter yang melakukan penguguran kandungan atas indikasi medis dan untuk korban perkosaan. Sedangkan pengecualian untuk perempuan yang melakukan tidak dimuat.

Karena itu, ICJR meminta kepada Pemerintah dan DPR membuka kembali diskusi dan mempertimbangkan kasus-kasus seperti ini dalam merumuskan ketentuan mengenai aborsi.

“Ketentuan mengenai aborsi apabila tidak diatur minimal sama dengan UU Kesehatan, sebaiknya dihapuskan sebagai perwujudan komitmen Pemerintah dan DPR untuk melindungi korban perkosaan. Jika memang Pemerintah dan DPR tidak mengatur ketentuan mengenai aborsi di dalam RKUHP, maka ketentuan mengenai aborsi dalam UU Kesehatan harus direvisi agar tidak mengandung syarat waktu bagi korban perkosaan untuk melakukan aborsi, namun pertimbangan aborsi didasarkan atas alasan kesehatan dan kondisi psikologis,” pungkasnya. (Very)

Artikel Terkait
Aksi PNM Peduli Serahkan Sumur Bor Untuk Warga Indramayu Dan Tanam Mangrove Rhizophora
PTPN IV Regional 4 Jambi, Bantu Beras Warga Solok
Umumkan Rencana Kedatangan Paus Fransiskus, Menteri Agama Dukung Penuh Pengurus LP3KN
Artikel Terkini
Ketua Pengadilan Negeri Batusangkar Dirikan Dapur dan Pendistribusian untuk Korban Banjir Bandang Tanah Datar
Aksi PNM Peduli Serahkan Sumur Bor Untuk Warga Indramayu Dan Tanam Mangrove Rhizophora
PTPN IV Regional 4 Jambi, Bantu Beras Warga Solok
Pastikan Arus Barang Kembali Lancar, Menko Airlangga Tinjau Langsung Pengeluaran Barang dan Minta Instansi di Pelabuhan Tanjung Priok Bekerja 24 Jam
Umumkan Rencana Kedatangan Paus Fransiskus, Menteri Agama Dukung Penuh Pengurus LP3KN
Tentang Kami | Kontak | Pedoman Siber | Redaksi | Iklan
legolas