INDONEWS.ID

  • Jum'at, 18/10/2019 20:01 WIB
  • Mendorong Pola Pengakuan Masyarakat Hukum Adat Berbasis Inisiatif Lokal

  • Oleh :
    • indonews
Mendorong Pola Pengakuan Masyarakat Hukum Adat Berbasis Inisiatif Lokal
Advokat HAM Greg R. Daeng (Foto:IST)

 

Oleh : Greg R. Daeng, S.H. *)

Masyarakat hukum adat (MHA) dapat diartikan sebagai entitas lokal yang tumbuh dan berkembang di dalam suatu tatanan sosial dan budaya. Sebagai entitas yang unik, karakteristik dari keberadaan MHA adalah (1) adanya sejarah, (2) adanya perangkat hukum yang mengatur, (3) adanya wilayah adat, (4) adanya harta kekayaan/benda-benda adat dan (5) adanya kelembagaan atau sistem pemerintahan adat.

Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 52 tahun 2014 tentang Pedoman Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat (Permendagri 52/2014) merupakan bukti dari komitmen negara dalam rangka menjamin pengakuan negara terhadap keberadaan MHA. Dalam Permendagri ini tegas menyebutkan bahwa mandat untuk mengurus perlindungan dan pengakuan MHA dimandatkan kepada pemerintah kabupaten/kota.

Tugas utama yang dijalankan pun cukup terperinci, seperti melakukan identifikasi terhadap masyarakat hukum adat, melakukan verifikasi dan validasi masyarakat hukum adat dan yang terakhir melakukan penetapan Masyarakat Hukum Adat melalui kebijakan hukum di tingkat daerah.

Dalam konteks pembangunan daerah, peranan yang dimainkan oleh pemerintahan kabupaten/kota ini sebetulnya merupakan justifikasi dari konsep pendekatan jurisdiksi.

Sebab, pada tahapan ini otoritas lokal diberikan kewenangan untuk mengurus entitas lokal (MHA) dengan berbasiskan wilayah kekuasaan pemerintahanya. Dan ini juga merupakan pengejawantahan lanjutan dari rezim UU Pemerintahan Daerah yang baru (UU 23/2014).

Pemetaan Wilayah Adat

Pada 16 Mei 2013, Mahakamah Konstitusi Republik Indonesia (MK RI) mengeluarkan putusan atas perkara permohonan pengujian UU №41/1999 tentang Kehutanan (UU Kehutanan). Dalam perkara ini, Aliansi Masyarakat Hukum Adat Nusantara (AMAN) bersama dengan Kesatuan Masyarakat Hukum Adat Kenagaraian Kuntu (Riau), dan Kesatuan Masyarakat Hukum Adat Kasepuhan Cisitu, bertindak sebagai Pemohon dan meminta MK RI untuk menguji konstitusionalitas beberapa klausul hukum dalam UU Kehutanan, yakni berkenaan dengan status dan penetapan hutan adat serta bentuk dan tata cara pengakuan kesatuan masyarakat hukum adat (Simarmata dan Steni, 2017).

Dalam putusan bernomor 35/PUU-X/2012 (Putusan MK 35) tersebut, majelis hakim MK mengabulkan sebagian permohonan para Pemohon. Pasal-pasal yang dikabulkan antara lain, yang terkait dengan status dan penetapan hutan adat, hal mana yang berdasarkan pertimbangan konstiusionalisme para hakim memiliki pertentangan norma dengan UUD 1945. Dengan Putusan MK 35 ini, paling tidak telah memberikan garis pemisah bahwa hutan/wilayah adat bukan merupakan bagian dari hutan/wilayah negara.

Namun, meskipun sudah ada garansi hukum yang melingkupinya, tetapi pembicaraan tentang bagaimana pengaturan tentang wilayah adat di tingkat tapak, masih menjadi tantangan serius sampai dengan hari ini terutama pembahasan mengenai wilayah adat yang secara klaim dan letaknya berada di dua atau lebih entitas masyarakat hukum adat.

Berangkat dari kelumit fakta di atas, setidaknya ada 2 (dua) pertanyaan mendasar yang muncul: pertama, bagaimana seharusnya proses (mekanisme) pemetaan wilayah adat dilakukan?. Kedua, jika kita berangkat dari perspektif sebagai subjek hukum, maka dimana letak dan kerterlibatan Masyarakt Hukum adat dalam proses pemetaan wilayah adat ini?

Inisiatif Lokal

Kabupaten Fakfak adalah salah satu Kabupaten definitif di Provinsi Papua Barat yang memiliki luas wilayah 11.036 km². Selain secara administrasi, wilayah ini juga terbagi berdasarkan unsur wilayah adat (kerajaan) yang oleh bahasa lokal disebut dengan petuanan.

Terdapat tujuh wilayah petuanan yang mendiami kabupaten ini, yakni Petuanan Ati-Ati, Petuanan Fatagar, Petuanan Arguni, Petuanan Rumbati, Petuanan Patipi, Petuanan Pikpik-Sekar dan Petuanan Wertuar. Saat ini Pemerintah Kabupaten Fakfak sedang merancang satu kebijakan hukum khusus untuk meregistrasi masyarakat hukum adat dengan berdasar pada wilayah petuanan-petuanan yang ada.

Dalam rangka mendukung pelaksanaanya (registrasi MHA), Yayasan Inobu bekerja sama dengan Yayasan Aspirasi Kaki Abu untuk Perubahan (AKAPe), mendorong adanya satu inisiatif lokal untuk kepentingan pemetaan wilayah adat berbasis petuanan.

Langkah ini dinilai tepat, sebab akan melibatkan para pemangku kepentingan adat (raja dan perangkat petuanan) untuk duduk bersama membicarakan tentang bagaimana pemetaan wilayah adat dilakukan.

Terdapat 2 (dua) model yang di dorong disini, pertama, pemetaan secara mandiri. Berdasarkan konsep ini, seluruh proses pemetaan wilayah adat berupa identifikasi dan verifikasi akan dilakukan secara swadaya oleh masing-masing petuanan. 

Kedua, pemetaan dengan melibatkan pihak pemerintah. Menurut model ini, proses pemetaan wilayah adat dilakukan secara kolaboratif, dimana pada tahapan awal identifikasi sampai dengan tahapan kesepakatan tentang batas wilayah adat, akan dilakukan oleh pihak petuanan sendiri.

Sedangkan pada tahapan lanjutan (verifikasi dan penetapan) pihak pemerintah akan terlibat di dalamnya melalui komitmen rencana kerja birokrasi serta kebijakan anggaran daerah.

Guna menuju proses tersebut, ide awal yang sudah dilakukan adalah memfasilitasi forum diskusi bagi para pemangku kepentingan adat. Selain adanya kesamaan persepsi tentang pemetaan wilayah adat, diskusi ini juga menghasilkan tiga hal penting yakni :Pertama: adanya rekomendasi untuk menggali informasi yang lebih mendalam terkait sejarah kepemilikan lahan dan pengelolaan lahan berdasarkan klasifikasi Petuanan dan Marga.

Kedua: adanya usulan metodologi pemetaan wilayah adat berbasis kebun; Ketiga: adanya skema rencana tindak lanjut berupa identifikasi dan verifikasi terhadap masyarkat hukum adat (kebun dan wilayah adat) yang berbasis inisiatif lokal di Kabupaten Fakfak.

Lalu, apa langkah berikutnya?. Setelah ditemukan metode dan alur perencanaan pemetaan wilayah adat, tahapan kegiatan selanjutnya adalah mendiskusikan kesepakatan batas wilayah adat baik di internal petuanan maupun lintas petuanan.

Proses ini pun akan ditempuh melalui “forum buka tikar” dimana para raja/nadi akan menyatakan kesepakatan bersama tentang wilayah adat berdasarkan tujuh petuanan yang ada dan selanjutnya akan dituangkan dalam berita acara adat. Dan dengan landasan inilah yang nantinya akan menjadi rujukan utama bagi Pemerintah Kabupaten Fakfak untuk melakukan penetapan MHA.

Walaupun berliku dan penuh tahapan, tetapi paling tidak kita dapat membayangkan bahwa warna demokratisasi dalam urusan penentuan wilayah adat yang berbasis inisiatif lokal, tergambar jelas dalam proses ini. Pendekatan berbasis hak asasi komunal ini sudah semestinya bisa menjadi contoh untuk kegiatan- kegiatan serupa di tempat lain di Indonesia.

Sebab, fakta dan kendala yang seungguhnya terjadi hari ini adalah bukan soal entitas lokal itu tidak mau diatur, tetapi bagaimana model pendekatan yang dibangun (cultural touch) dan bagaimana pula cara menempatkan rasa hormat kepada mereka (MHA) sebagai subjek hukum yang berdaulat, dilakukan.*

Greg R. Daeng adalah Advokat HAM *)

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Artikel Terkait
Artikel Terkini
Ketua Pengadilan Negeri Batusangkar Dirikan Dapur dan Pendistribusian untuk Korban Banjir Bandang Tanah Datar
Aksi PNM Peduli Serahkan Sumur Bor Untuk Warga Indramayu Dan Tanam Mangrove Rhizophora
PTPN IV Regional 4 Jambi, Bantu Beras Warga Solok
Pastikan Arus Barang Kembali Lancar, Menko Airlangga Tinjau Langsung Pengeluaran Barang dan Minta Instansi di Pelabuhan Tanjung Priok Bekerja 24 Jam
Umumkan Rencana Kedatangan Paus Fransiskus, Menteri Agama Dukung Penuh Pengurus LP3KN
Tentang Kami | Kontak | Pedoman Siber | Redaksi | Iklan
legolas