Jakarta, INDONEWS.ID -- Wacana masa jabatan presiden tiga periode hingga kini masih menuai pro kontra. Presiden Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Shohibul Iman misalnya tegas menolak wacana tersebut. Sementara Ketua MPR Bambang Soesatyo (Bamsoet) mengatakan, bahwa wacana menambah jabatan Presiden tersebut bukan keinginan dari MPR. Melainkan keinginan masyarakat Indonesia.
“Wacana tiga periode presiden bukan dari MPR, karena ini aspirasi yang berkembang di tengah masyarakat,” kata Bamsoet saat jumpa pers di Kantor DPP PKS, Jalan TB Simatupang, Rabu (26/11).
Bamsoet menambahkan, pihaknya tidak dapat melawan apalagi sampai tidak mendengarkan aspirasi masyarakat soal wacana amandemen UUD 1945 itu. “Kami gak punya hak membunuh aspirasi tersebut,” tegas Politisi Golkar ini.
Menanggapi polemik tersebut, pengamat politik dari President University, Muhammad AS Hikam mengatakan bahwa alasan perpanjangan masa jabatan Presiden RI merupakan "desakan kuat publik," hanyalah semacam “political gimmick” atau trik politik yang sedang dijajakan elit politik.
“Namun apabila trik itu terus-menerus dikampanyekan dan disebarluaskan dengan sistematis, massif, dan terstruktur oleh parpol dan politisi, dan pendukungnya, maka ia akan bermetamorfosa menjadi hal yang lain dan lebih berbahaya,” ujarnya dalam pernyataan pers di Jakarta, Rabu (27/11).
Menurut Hikam, pernyataan itu akan menjadi sejenis desepsi politik yang akan menggerogoti demokrasi dan republik. Pasalnya, karena wacana perpanjangan masa jabatan Presiden ini merupakan bagian integral sari sebuah paket transformasi sistem politik yang akan memberantakkan seluruh hasil reformasi dan demokratisasi yang diperjuangkan selama dua dasawarsa lebih ini.
Paket perubahan menuju kepada model politik otoriter ini, kata Hikam, dimulai dengan amandemen UUD 1945, termasuk kembalinya GBHN. Kemudian dilanjutkan dengan perubahan pasal-pasal tertentu, termasuk masa jabatan Presiden.
Perubahan selanjutnya dilakukan dengan mengganti sistem pemilihan langsung dalam Pilkada dengan alasan biaya politik tinggi, efisiensi pelaksanaan dan sebagainya. “Padahal, intinya, sama dengan perubahan di level pusat, ia adalah upaya memperkuat cengkeraman parpol dan elite politik dan mengasingkan publik dari proses partisipasi politik,” ujar mantan Menteri Ristek di era Presiden Gus Dur itu.
Desepsi politik ini tak akan lengkap jika belum ditambah dengan penciptaan kondisi psikologis publik yang sarat dengan kecemasan dan kekhawatiran terhadap keamanan dan ketertiban umum. Dengan kondisi psikologis demikian paket perubahan sistem politik yang sejatinya sangat bertentangan dengan prinsip-prinsip demokrasi akan bisa dinormalisasikan dan diterima publik bahkan didukung.
“Apakah proyek kembali ke otoriterisme itu akan mulus karena parpol, elite politik, dan kekuatan oligarki telah bersinergi? Terpulang kepada kita semua untuk menjawabnya,” ujar Hikam. (Very)