INDONEWS.ID

  • Rabu, 10/05/2017 10:42 WIB
  • Vonis Ahok, Negara Gagal Lahirkan Hakim Visioner dan Berwawasan Kebangsaan

  • Oleh :
    • Abdi Lisa
Vonis Ahok, Negara Gagal Lahirkan Hakim Visioner dan Berwawasan Kebangsaan
Jakarta, INDONEWS.ID - Putusan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Utara yang menghukum Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) dengan dua tahun penjara disertai perintah penahanan merupakan bukti bahwa Majelis Hakim dalam perkara Ahok tersebut sangat arogan. Putusan majelis hakim pimpinan Dwiarso Budi Santiarto itu dinilai hanya menjadi corong undang-undang tanpa menggali dan menemukan hal-hal baru demi perkembagan hukum pidana, perkembangan politik hukum di Indonesia dan rasa keadilan. “Putusan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Utara dalam perkara Ahok dengan vonis dua tahun penjara disertai perintah untuk menahanan sementara Ahok untuk kepentingan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan secara hukum, menjadi bukti bahwa Majelis Hakim dalam perkara Ahok sangat arogan atau congkak,” ujar Koordinator Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI) Petrus Selestinus, di Jakarta, Rabu (10/5/2017). Petrus mengatakan, selama 70 tahun lebih bernegara dengan menamakan diri sebagai negara hukum, namun bangsa ini gagal melahirkan hakim-hakim yang visioner dan berwawasan kebangsaan serta belum mampu melepaskan diri dari belenggu kekuasaan lain di luar kekuasaan kehakiman. “Majelis hakim dalam kasus Ahok sama sekali tidak memiliki wawasan kebangsaan yang luas dan komprehensif, hal itu terlihat dari begitu minimnya Majelis Hakim menggali dan mengelaborasi sejarah lahirnya pasal 156a KUHP dan suasana kebathinan dan dinamika perdebatan para pihak dan pihak terkait ketika pasal 156a KUHP dan UU No. 1/PNPS Tahun 1965 Tentang Pencegahan Penyalahgunaan Dan/Atau Penodaan Agama diuji tentang konstitusionalitasnya di MK tahun 2009 dan tahun 2012. Hakim Konstitusi dalam pertimbangannya bahwa penerapan sanksi pidana dalam pasal 156a KUHP merupakan sanksi yang bersifat ‘ultimum remedium’,” ujarnya. Karena itu, kata Petrus, pemidanaan terhadap Ahok dengan menggunakan pasal 156a KUHP, harus merupakan upaya terakhir. Karena itu, Ahok tidak dapat dikenakan sanksi pidana pasal 156a KUHP karena menurut pasal 2 UU No. 1/PNPS Tahun 1965 yang melahirkan pasal 156a KUHP, Ahok harus diberi peringatan terlebih dahulu. Namun, jika tetap melanggar maka perbuatan Ahok dikualifikasi sebagai tindak pidana dan dapat diproses dengan sanksi pidana menurut pasal 156a KUHP. Petrus mengatakan, sebagai sebuah kasus yang menarik perhatian media internasional, penampilan Majelis Hakim dalam mengadili perkara Ahok sungguh-sungguh memalukan. Putusan tersebut, kata Petrus, juga tidak memberi sumbangsih apapun bagi dunia pendidikan hukum dan perkembangan ilmu pengetahuan hukum pidana di tanah air. Hal itu terjadi karena majelis hakim kurang menggali dan menemukan hukum baru, namun hanya menjadi alat kepentingan kelompok penekan. Rampas Kewenangan Pengadilan Tinggi Menurut Petrus, mejelis hakim secara keliru memasukan perintah penahanan Ahok sebagai satu kesatuan dengan amar putusan yang mempidanakan Ahok dengan pidana penjara 2 tahun. Sementara, majelis hakim tidak lagi memiliki kepentingan pemeriksaan karena itu harus menahan Ahok. Lagi pula, kepentingan majelis hakim itu sudah berakhir dengan dibacakannya vonis. “Dengan demikian pertanyaannya untuk apa menahan Ahok saat Ahok menyatakan banding. Bukankah penahanan pada tahap banding sepenuhnya menjadi wewenang Hakim Pengadilan Tinggi Jakarta,” kata Petrus. Menurut Petrus, pertimbangan majelis hakim untuk menahan Ahok terkait kebutuhan persidangan dan alasan-alasan menurut pasal 21 KUHAP sudah tidak relevan karena kebutuhan majelis hakim untuk memeriksa Ahok sudah tidak adalagi karena vonis sudah dibacakan. “Posisi majelis hakim sudah berada di luar garis finish atau sedang berada pada posisi offside, karena sidang perkara Ahok untuk pemeriksaan tingkat pertama sudah berakhir dengan dibacakannya vonis 2 tahun penjara. Dengan memasukan perintah menahan Ahok menjadi satu kesatuan dalam amar putusan pemidanaan dua tahun penjara, maka pada saat Ahok mengacungkan jari dan memberitahu hakim bahwa dirinya akan banding ke Pengadilan Tinggi Jakarta, maka saat itu juga perintah penahanan majelis hakim serta-merta tidak mengikat lagi karena putusan majelis hakim belum berkekuatan hukum tetap,” ujarnya. “Disini Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Utara telah merampas kewenangan Hakim Pengadilan Tinggi Jakarta untuk menahan dalam tingkat banding jika kebutuhan persidangan pada tingkat banding majelis hakim merasa perlu menahan Terdakwa,” ujarnya. (Very)  
Artikel Terkait
Mendagri Ingatkan Pemda Terus Jaga Inflasi di Tengah Instabilitas Global
Buka SPM Awards 2024, Wamendagri Dorong Pemda Berikan Pelayanan Optimal bagi Masyarakat
Mendagri Minta Pemda Lakukan Terobosan Peningkatan Pendapatan Asli Daerah
Artikel Terkini
PTPN IV Regional 4 Latih 20 Petugas PSR
Pj Bupati Maybrat hadiri Upacara Peringatan Hari Otonomi Daerah XXVIII Tahun 2024
Mendagri Ingatkan Pemda Terus Jaga Inflasi di Tengah Instabilitas Global
Buka SPM Awards 2024, Wamendagri Dorong Pemda Berikan Pelayanan Optimal bagi Masyarakat
Mendagri Minta Pemda Lakukan Terobosan Peningkatan Pendapatan Asli Daerah
Tentang Kami | Kontak | Pedoman Siber | Redaksi | Iklan
legolas