INDONEWS.ID

  • Minggu, 02/02/2020 12:45 WIB
  • Mengatasi Defisit BPJS Kesehatan, Perspektif Perubahan Mendasar

  • Oleh :
    • very
Mengatasi Defisit BPJS Kesehatan, Perspektif Perubahan Mendasar
Abdullah Antaria. (Foto: Ist)

Abdullah Antaria*)

Persoalan Defisit: Demand Vs Supply

Baca juga : Pimpin Proses Penyiapan dan Percepatan Keanggotaan Indonesia pada OECD, Presiden Joko Widodo Tunjuk Menko Perekonomian sebagai Ketua Tim Nasional OECD

Jumlah peserta didorong terus hingga mencakup seluruh segmen penduduk (permintaan otomatis akan terus meningkat) dengan harapan iuran yang dibayarkan oleh jumlah peserta yang semakin banyak akan semakin meningkatkan pendapatan. Kenyataannya pendapatan yang ada belum cukup menutupi pengeluaran. Disisi lain, supply faskes belum efektif dan efisien, kendali mutu dan kendali biaya belum mampu dikendalikan dengan baik oleh para pihak (BPJS Kesehatan, Kemenkes, Pemda). Akhirnya peningkatan jumlah peserta hanya menyebabkan permintaan penggunaan layanan kesehatan secara signifikan tanpa dibarengi dengan kendali biaya yang baikdisisi faskes. Akhirnya pengeluaran akan selalu menjadi lebih besar dari pendapatan.

Hal ini menggambarkan pengendalian defisit tidak hanya bisa dengan mendorong penerimaan dengan mengandalkan sisi permintaan (jumlah peserta) apalagi hanya dengan menaikkan iuran. Pengendalian defisit juga harus dilakukan terhadap sisi pengeluaran (kendali biaya manfaat), dimana pada sisi ini peran pembinaan Kemkes dan Pemda terhadap faskes sangat diperlukan.

Baca juga : Kemendagri Dukung Pelaksanaan Proyek Strategis Nasional Melalui Optimalisasi Kebijakan Fiskal Nasional

Perspektif Kemenkes : Masalah Mendasar

  1. Lemahnya Pembinaan Faskes

Kemenkes memiliki peran penting khususnya dalam kendali biaya manfaat. Sayangnya peran Kemenkes selama ini sebagai regulator cenderung bersifat pasif khususnya dalam melakukan fungsi pembinaan faskes. Menurut Chairul Radjab (2019), Kemenkes cenderung menggeser beban (shifting the burden) pembinaan faskes dan nakes, terlebih pasca UU Pemda (UU 23/2014), dimana pembinaan faskes FKTP dan RS tipe B/C/D diserahkan pada Pemda. Sementara Pemda sendiri belum menjalankan fungsi pembinaannya dengan baik, bahkan justru kembali menggeser beban tersebut khususnya pada BPJS Kesehatan dan Kemenkes, termasuk beban anggaran (mengandalkan kapitasi, klaim, DAU BOK). Sebagian besar Pemda tidak berkontribusi maksimal melalui anggarannya melainkan hanya mengandalkan peran Kapitasi, klaim, DAK, BOK.

Baca juga : Kemendagri Dorong Percepatan Pemenuhan Sarana dan Prasarana Pemerintahan di 4 DOB Papua

Disisi lain, Kemenkes tidak dapat seutuhnya membina di lapangan, melainkan hanya menyalurkan anggaran sesuai regulasi. BPJS Kesehatan selaku agen juga tidak memiliki kemampuan membina Faskes. Pada akhirnya tidak ada satu pihak pun yang secara serius menangani pembinaan faskes, dan menimbulkan celah kebijakan (pengabaian). Padahal pembinaan faskes secara serius adalah kunci utama dalam pengendalian biaya manfaat.

  1. Kendali tata kelola obat

Salah satu kendala yang menghambat faskes dan menimbulkan biaya-biaya yang tidak perlu bahkan berpotensi fraud adalah penyediaan obat. Distribusi obat yang buruk dan harga obat yang mahal menjadi masalah yang turut mendorong terjadinya defisit JKN.

 

  1. Paradigma Fee for Service yang Kental di FKRTL

Masih kentalnya paradigma fee for service menyebabkan tenaga kesehatan khususnya dokter spesialis dan subspesialis sulit menerima pola tarif berbasis biaya INA CBGs. Di sisi lain pola tarif RS sendiri umumnya berbeda dengan pola tarif INA CBGs, dimana pola tarif tersebut masih berdasarkan konsep fee for services atau biaya per unit barang/jasa yang digunakan, belum mengacu pada pola biaya berbasis grup diagnosa.

Potensi Peran Kemenkes

Jika dikaji secara utuh Kemenkes dapat mengoptimalkan peran regulatornya untuk mengendalikan defisit. Hal ini baik dalam hal: pembinaan pemda terlebih anggaran DAK dan BOK masih dikendalikan Kemenkes; penataan kembali tata kelola obat; hingga perubahan paradigma biaya di FKRTL. Lalu langkah apa yang harus dilakukan oleh Kemenkes?

  1. Melakukan kendali langsung terhadap Sistem Rujukan Nasional dan memperkuat peran RS vertikal sebagai Pusat Rujukan Nasional (implementasi total Sistem Rujukan Nasional)

Kebijakan ini dilakukan dengan memperkuat pengendalian layanan kesehatan melalui penguatan fungsi Pusat Rujukan Nasional yang tertuang dalam suatu Blueprint Sistem Rujukan Nasional. Dalam hal ini seluruh Pusat Rujukan Nasional diarahkan menjadi RS Vertikal yang terkendali langsung melalui koordinasi Kemenkes, RS Vertikal menjadi Pusat kendali Rujukan Nasional yang memiliki kewajiban pembinaan terhadap Jejaring Rujukannya hingga ke level terendah (FKTP). Dalam hal ini RS Pusat Rujukan Nasional memiliki kendali pembinaan yang efektif dalam mengelola layanan kesehatan secara nasional khususnya dari sisi kompetensi layanan rujukan. tanpa mengganggu desentralisasi wewenang pembinaan faskes yang sebagian besar telah dilimpahkan kepada Pemda. 

  1. Diversifikasi Risiko Pembiayaan Kesehatan melalui Penguatan Peran Swasta dan Pemda

Kebijakan ini dilakukan untuk menggeser risiko adverse selection yang selama ini ditanggung BPJS Kesehatan atas segmen peserta Mandiri (PBPU). Melalui kebijakan ini pengelolaan jaminan kesehatan peserta mandiri (PBPU) khususnya pada tahap rujukan dialihkan pada pihak swasta dengan melibatkan peran asuransi kesehatan nasional. Dalam hal ini BPJS Kesehatan diarahkan untuk berfokus mengelola manfaat kapitasi bagi seluruh segmen peserta, dan manfaat rujukan terbatas hanya bagi peserta Penerima Bantuan Iuran (PBI) APBN dan Pegawai Negeri serta pensiunan. Sementara bagi non peserta PBI, penjaminan manfaat rujukan dilakukan melalui mekanisme koordinasi manfaat dimana BPJS Kesehatan hanya menanggung manfaat kapitasi (144 penyakit dasar) dan manfaat rujukan terbatas pada 10 penyakit terbanyak), manfaat rujukan lainnya diserahkan pada Asuransi Kesehatan yang berkoordinasi manfaat. Dalam hal ini peserta Mandiri (PBPU), dan Peserta Penerima Upah wajib memilih asuransi yang diinginkan sesuai dengan paket manfaat rujukan ditawarkan asuransi di pasar. Dalam hal ini Pemda melalui APBD juga dapat menjamin manfaat rujukan bagi masyarakat diluar segmen PBI APBN melalui BPJS Kesehatan atau melalui Asuransi Kesehatan lainnya dengan produk manfaat rujukan yang sesuai dengan kemampuan fiskalnya.

  1. Penerapan Cost Sharing pada Manfaat Rujukan tertentu

Melalui kebijakan ini seluruh peserta JKN segmen non PBI wajib berkontribusi (cost sharing) secara terbatas dalam pengeluaran biaya kesehatannya khususnya untuk penyakit Katastropik dan tindakan Sectio Cesaria non Darurat/Cito). Peserta non PBI juga wajib berkontribusi dalam hal obat khususnya pada obat-obat berharga tinggi.

  1. Mengembangkan Lembaga Klaim dan HTA Nasional

Untuk menghindari adanya konflik kepentingan dan potensi dispute klaim yang selama ini selalu terjadi sehingga menghambat proses pembayaran klaim, maka fungsi review dan Penilaian Klaim harus dilakukan secara terpisah dan independen. Dalam hal ini penilaian klaim (verifikasi) tidak lagi dilakukan oleh BPJS Kesehatan melainkan melalui lembaga klaim tersendiri dengan verifikator yang profesional dan tetap tersertifikasi. Lembaga ini didirikan di setiap daerah hingga ke level Kab/Kota dan terstruktur hingga di level nasional. Lembaga ini juga dapat berfungsi konsultasi khususnya dalam melakukan penilaian HTA khususnya terkait dengan diagnosa klaim dan penyusunan tariff RS sesuai dengan INA CBGs.

  1. Mengembangkan Lembaga Tata Kelola Obat dan Alkes Nasional

Perbaikan tata kelola obat nasional khususnya dilakukan untuk mendorong penurunan harga obat nasional dan pemenuhan kebutuhan obat JKN. Salah satu langkah penting yang harus dilakukan adalah melalui pendirian suatu Lembaga Tata Kelola Obat dan Alat Kesehatan Nasional, Lembaga ini berwenang mengatur rantai distribusi obat beserta mekanisme pengadaannya secara online melalui e-catalogue (kewenangan LKPP dialihkan pada lembaga ini) juga melakukan assessment HTA. Lembaga ini juga bertanggungjawab melakukan perbaikan Pola Penyusunan Formularium Nasional bersama Kemenkes yang mengintegrasikannya secara berkesinambungan dengan e-Catalogue. Selain itu dilakukan pula perubahan Pola penyusunan Peta Kebutuhan Obat Nasional/ Metode Penyusunan RKO daerah dan Faskes. Kebijakan perbaikan tata kelola obat juga diarahkan pada upaya Penguatan Industri Bahan Dasar Obat Nasional khususnya untuk mengurangi ketergantungan bahan baku Impor, termasuk didalamnya upaya mendorong pemberian insentif untuk pelaku industri/investasi bahan dasar obat.

  1. Mewajibkan RS untuk merubah paradigma pola Tarif Biaya

Melalui kebijakan ini, pemerintah melalui Kemenkes segera melakukan perbaikan tarif INA CBGs dengan melakukan penyusunan sistem tarif CBGs yang bersifat dinamis (penyesuaian secara berkala melalui sistem). Disisi lain, RS Wajib menggunakan tarif berbasis biaya CBGs sebagai dasar dengan marjin tariff teratas +/- 5% dari tariff INA-CBGs yang telah ditetapkan. Selain itu RS mulai diwajibkan untuk menerapkan Remunerasi bagi dokter umum dan Dokter Spesialis.

Revisi Regulasi Nasional Di Bidang Kesehatan

Sebelum melangkah pada upaya-upaya tersebut diatas, Kemenkes harus berani terlebih dahulu mendorong adanya  Revisi Regulasi Nasional di bidang Kesehatan. Kemenkes harus mendorong adanya upaya revisi secara signfikan terhadap beberapa regulasi yang perlu disesuaikan dengan konteks saat ini diantaranya:

  • Revisi UU BPJS – khususnya terkait kesehatan Perubahan pola kepesertaan, perubahan manfaat, perubahan tata kelola, dll
  • Revisi UU RS - pengaturan terkait sistem rujukan nasional yang belum tertuang dalam UU RS
  • Revisi UU Kesehatan – pengaturan secara lebih spesifik terkait pembiayaan kesehatan dan pelaksanaan sistem rujukan.
  • Revisi Perpres SKN – dirubah agar lebih implementatif. Selama ini Perpres tidak berjalan. Selain itu diperlukan pengaturan lebih rinci terkait subsistem Pembiayaan/jaminan Kesehatan, dimana selama ini belum ada pembagian peran dan tugas yang jelas khususnya peran Pemda pada subsistem pembiayaan/jaminan kesehatan).

*) Penulis adalah Dosen Pasca Sarjana pada Universitas UHAMKA Mata Kuliah Sumber Daya Manusia Kesehatan untuk Mutu Serta Administrasi & Kebijakan Kesehatan, dan mantan Staf Pada Direktorat Pencegahan dan Pengendalian Masalah Kesehatan Jiwa dan Napza, Kementerian Kesehatan RI.

Artikel Terkait
Pimpin Proses Penyiapan dan Percepatan Keanggotaan Indonesia pada OECD, Presiden Joko Widodo Tunjuk Menko Perekonomian sebagai Ketua Tim Nasional OECD
Kemendagri Dukung Pelaksanaan Proyek Strategis Nasional Melalui Optimalisasi Kebijakan Fiskal Nasional
Kemendagri Dorong Percepatan Pemenuhan Sarana dan Prasarana Pemerintahan di 4 DOB Papua
Artikel Terkini
Menjadi Tulang Punggung Pengembangan Usaha Ultra Mikro Indonesia, PNM Ikuti 57th APEC SMEWG
Tiga Orang Ditemukan Meninggal Akibat Tertimbun Longsor di Kabupaten Garut
Pimpin Proses Penyiapan dan Percepatan Keanggotaan Indonesia pada OECD, Presiden Joko Widodo Tunjuk Menko Perekonomian sebagai Ketua Tim Nasional OECD
Kemendagri Dukung Pelaksanaan Proyek Strategis Nasional Melalui Optimalisasi Kebijakan Fiskal Nasional
Kemendagri Dorong Percepatan Pemenuhan Sarana dan Prasarana Pemerintahan di 4 DOB Papua
Tentang Kami | Kontak | Pedoman Siber | Redaksi | Iklan
legolas