INDONEWS.ID

  • Senin, 02/03/2020 19:44 WIB
  • Diskusi Buku, Salah Kaprah Tentang "Hidup Adalah Panggilan"

  • Oleh :
    • very
Diskusi Buku, Salah Kaprah Tentang "Hidup Adalah Panggilan"
Romo Agustinus L. Nggame, OFM, dalam acara bedah bukunya yang berjudul “Hidup Itu Panggilan, Refleksi dan Strategi dalam Menggiatkan Pastoral Panggilan,” di lahan gereja Santa Faustina, Bojonggede, Bogor, Jawa Barat, Sabtu (29/2). (Foto: Indonews.id)

Jakarta, INDONEWS.ID – Frase "hidup itu panggilan" sering disematkan pada setiap orang yang menjalani hidup sebagai kaum klerus, yaitu hidup sebagai imam, biawaran, biarawati. Karena itu, “menjawabi panggilan Tuhan” hanya diperuntukkan bagi kaum “terpilih” yang dengan rela mau mengikuti panggilan Tuhan untuk bekerja di kebun anggurnya. Padahal - sejatinya- panggilan Tuhan itu ditujukan pada setiap manusia, yang dengan sadar dan ikhlas menjawabi panggilannya, entah sebagai seorang klerus maupun non-klrerus.

Paus Paulus VI dalam Populorun Progressio misalnya menulis bahwa "setiap hidup adalah panggilan". Seruan ini menggarisbawahi kodrat manusia sebagai makhuk yang dipanggil kepada kepenuhan. Dengan kata lain, tidak ada satu individu pun yang terlempar begitu saja ke dunia. Tak ada seorang pun yang lahir secara kebetulan. Namun setiap manusia membawa dalam dirinya sebuah proyek atau rencana Allah untuk direalisasikan.

Baca juga : Gelar Rapat Internal di Istana, Indonesia Semakin Siap Berproses Menjadi Anggota OECD

Selain itu, Paus Benediktus XVI dalam Verbum Domini mengatakan bahwa Tuhan “memanggil setiap orang secara personal dan dengan demikian menyingkapkan bahwa hidup itu sendiri adalah sebuah panggilan kepada persekutuan dengan Allah”.

Namun sebagian besar orang Katolik salah kaprah mengartikan “hidup sebagai sebuah panggilan”. “Padahal `hidup itu panggilan` adalah sebuah gagasan yang besar. Saya baru menemukan frase ini (hidup itu panggilan) ketika belajar di Roma. Karena itu, muncul niat saya untuk mengembangkan gagasan ini dan akhirnya membagikannya lebih lanjut (kepada Anda),” ujar Romo Agustinus L. Nggame, OFM, dalam acara bedah bukunya yang berjudul “Hidup Itu Panggilan, Refleksi dan Strategi dalam Menggiatkan Pastoral Panggilan,” di lahan gereja Santa Faustina, Bojonggede, Bogor, Jawa Barat, Sabtu (29/2).

Baca juga : Di Hadapan Media Jerman, Menko Airlangga Sebut Investasi Tidak Memiliki Bendera, Indonesia Membuka Peluang Investasi dari Semua Pihak

 

(Romo Agustinus L. Nggame saat memaparkan isi buku, didampingi oleh moderator, Dr. Agustinus Bandur. Foto: Indonews.id)

Baca juga : Menjadi Backbone Agenda Transformasi, Pemerintah Terus Akselerasi Pengembangan Proyek Strategis Nasional

Hadir sejumlah tokoh dari Kelompok Wilayah Bojonggede antara lain, Dr. Frans Datang, Thomas Ataladjar, dan Tarsisius Gantura. Acara yang dipandu oleh Dr. Agustinus Bandur itu juga dihadiri oleh para ibu, maupun Anak Muda Katolik (OMK) di Bojong.

Romo Agustinus – bisa disapa Romo Gusty - yang menyelesaikan Master Ilmu Pedagogi di Universitas Kepausan Salesiana, Roma itu mengatakan, dirinya tertarik menulis buku itu karena adanya anggapan bahwa panggilan Tuhan itu hanya ditujukan untuk para Romo, Suster, Frater dan Bruder. Padahal, katanya, panggilan Tuhan itu ditujukan pada setiap manusia, karena itu harus dikenali dan dijalankan, sehingga bisa mengarahkan seluruh hidupnya pada panggilan Tuhan tersebut.

Persepsi yang keliru ini, katanya, tidak terlepas dari peran gereja yang mempromosikannya. Karena itu, Hari Panggilan Sedunia yang dirayakan setiap tahun, harus menjadi ajang mempromosikan bahwa setiap manusia mendapat panggilan Tuhan. "Saya beranggapan bahwa seruan `hidup adalah panggilan` masih sangat relevan dan harus terus dihembuskan oleh gereja melalui kegiatan-kegiatan partoral panggilan yang dijalankan secara sistematis dan terpadu,” ujarnya.

Mempromosikan panggilan, menurut Romo Gusty, bisa menjawab dua masalah serius yang menghantui gereja hingga saat ini.

Pertama, secara internal, gereja masih memiliki pekerjaan rumah untuk mengoreksi pandangan lama yang cenderung mengasosiasikan panggilan dengan kehidupan para imam, dan religius. Sampai sekarang, kata Romo Gusty, tidak sedikit umat Katolik yang melihat panggilan sebagai anugerah khusus yang hanya diterima oleh para kaum berjubah saja.

“Padahal, Konsili Vatikan II, khususnya dalam Lumen Gentium, sudah secara eksplisit menjelaskan bahwa Allah memanggil semua orang yang telah dibaptis kepada kekudusan,” ujar Romo Gusty.

Kedua, dalam relasi dengan lingkungan eksternal, gereja sedang menghadapi ancaman materialisme dan sekularisme yang terus memengaruhi kehidupan masyarakat. Dampak dari kedua ancaman tersebut, masyarakat menjadi tidak memiliki sistem nilai dan horizon yang transendental dalam hidupnya.

“Karena itu, memahami ‘hidup adalah panggilan’ harus menjadi tujuan sekaligus prinsip dasar dari seluruh gerakan pastoral panggilan yang dilakukan gereja,” ujarnya.

Romo Gusty juga menguraikan sejumlah tantangan-tantangan dalam menjawabi panggilan Tuhan dalam hidup saat ini.

Tantangan pertama yaitu terkait dengan identitas dan makna hidup. Panggilan tidak bisa dipisahkan dari konsep tentang identitas dan makna hidup. Kedua hal inilah, kata Romo Gusty, yang membuat panggilan menjadi otentik.

Kedua, kebebasan dan tanggung jawab. Kebebasan merupakan tuntutan mutlak bagi panggilan. Allah tidak pernah memaksa seseorang untuk memilih dan menjalani hidup tertentu. Kebebasan pun menentukan otentisitas sebuah panggilan.

Ketiga, kesetiaan. Panggilan, kata Romo Gusty, tidak berhenti ketika seseorang secara definitif memutuskan untuk menjalani bentuk hidup tertentu. Karena itu, dibutuhkan kesetiaan untuk terus menjalani bentuk hidup itu dengan setia sampai mati.

Keempat, relasi dengan Tuhan dan orang lain. Panggilan mengandaikan adanya relasi dengan orang lain, yaitu Tuhan dan sesama. “Menjalani panggilan tanpa memiliki kesadaran tentang relasi rangkap dua ini (relasi dengan Tuhan dan sesama, red) ibarat membangun rumah di atas pasir,” ujarnya.

 

(Romo Gusty bersama para peserta diskusi buku di pendopo lahan gereja Santa Faustina, Bojonggede, Bogor, Jawa Barat. Foto: Indonews.id)

Panggilan Besar dan Kecil

Bedah buku ini diisi dengan sharing menarik dari beberapa orang yang hadir.

Thomas Ataladjar misalnya mengemukan perjalanan hidupnya dengan menarik. Mantan seminaris ini mengatakan, dirinya shock ketika pembina memutuskan untuk memberhentikannya dari seminari. Padahal, sejak awal, dia bercita-cita menjadi seorang pastor.

“Sejak awal saya bercita-cita menjadi pastor dan tidak menjadi yang lain. Menjadi pastor itu hidupnya enak. Mereka makan enak, bisa naik kuda ketika berkunjung ke tengah umat. Jadi, ketika saya dikeluarkan dari seminari, saya menjadi shock,” ujarnya.

Guncangan hidup itu dialaminya cukup lama. Karena itu, dia pun memutuskan untuk tidak aktif mengikuti kegiatan di gereja.

Namun, saat ini, Thomas seperti menemukan panggilan hidupnya sebagai seorang awam. Dia aktif dalam kegiatan menggereja, bahkan menjadi prodiakon di paroki.

Salah satu peserta lainnya menanyakan terkait waktu panggilan Tuhan itu datang. “Apakah Tuhan memanggil manusia setiap hari atau bahkan setiap jam. Atau mungkin panggilan itu datang secara tiba-tiba seperti banjir di Jakarta, yang sering datang sekonyong-konyong. Ataukah panggilan Tuhan itu sekali datang, dan untuk seterusnya tidak ada panggilan lagi”?

Romo Gusty menjawab, “ada panggilan besar seperti panggilan hidup menjadi imam, seperti yang saya alami ini. Namun ada juga panggilan kecil, ketika Tuhan terus memanggil setiap saat dalam hidup kita. Contohnya, hari ini, saya juga dipanggil untuk mengikuti acara bedah buku ini. Panggilan besar yaitu yang memengaruhi jalan hidup seseorang. Namun, panggilan kecil juga sangat penting dalam mendukung sebuah panggilan besar tersebut mendapat kepenuhannya,” ujarnya.

Pada awal acara, Dr. Frans Datang menyambut gembira atas terbitnya buku dan terselenggaranya bedah buku tersebut. “Kami menyambut gembira atas terselenggaranya bedah buku ini. Semoga dengan acara bedah buku ini kita semua bisa menimba manfaatnya dalam masa ret-ret agung, masa puasa ini,” ujarnya.

Sementara Dr. Agustinus Bandur mengatakan diskusi buku tersebut merupakan salah satu ajang untuk mengangkat potensi para penulis dari Kabupaten Manggarai, umumnya dari Provinsi Nusa Tenggara Timur. Agus berharap, diskusi serupa bisa dilaksanakan di hari-hari mendatang.

Bedah buku ini ditutup dengan foto bersama seluruh peserta yang hadir. (Very)

 

Artikel Terkait
Gelar Rapat Internal di Istana, Indonesia Semakin Siap Berproses Menjadi Anggota OECD
Di Hadapan Media Jerman, Menko Airlangga Sebut Investasi Tidak Memiliki Bendera, Indonesia Membuka Peluang Investasi dari Semua Pihak
Menjadi Backbone Agenda Transformasi, Pemerintah Terus Akselerasi Pengembangan Proyek Strategis Nasional
Artikel Terkini
Pj Bupati Maybrat Sambut Kedatangan Tim Badan Nasional Penanggulangan Bencana
Tips Memilih Jasa Pengurusan Visa
Rekomendasi Jasa Penerjemah Tersumpah Terbaik di Jabodetabek
Gelar Rapat Internal di Istana, Indonesia Semakin Siap Berproses Menjadi Anggota OECD
Di Hadapan Media Jerman, Menko Airlangga Sebut Investasi Tidak Memiliki Bendera, Indonesia Membuka Peluang Investasi dari Semua Pihak
Tentang Kami | Kontak | Pedoman Siber | Redaksi | Iklan
legolas