Jakarta, INDONEWS.ID - Menjelang pemilihan kepala daerah (Pilkada) Serentak 2020, sejumlah nama beken mulai mencuat. Anak-anak Presiden Joko Widodo atau Jokowi dan wakil presiden terpilih Ma'ruf Amin ikut menyemarakkan pesta demokrasi itu.
Pilkada serentak ini akan digelar di 224 Kabupaten, 37 kota dan 9 provinsi yang akan menggelar Pilkada. Partai politik mulai menyaring tokoh-tokoh yang layak untuk dicalonkan.
Seperti menantu Presiden Jokowi, Bobby Afif Nasution akan maju sebagai calon Wali Kota Medan tahun 2020. Hal ini dibuktikan dengan dirinya yang telah mengembalikan formulir pendaftaran untuk maju sebagai calon Wali Kota Medan ke DPD PDIP Sumatera Utara.
Lalu putra sulung Presiden Joko Widodo, Gibran Rakabuming maju dalam Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada), Solo tahun 2020.
Untuk memuluskan langkahnya maju sebagai calon Wali Kota Solo, Gibran resmi menjadi kader PDIP setelah mendapatkan Kartu Tanda Anggota (KTA).
Sedangkan putri Wakil Presiden Ma'ruf Amin, Siti Nur Azizah juga mendaftar sebagai calon Wali Kota Tangerang Selatan. Dia sudah mendaftar ke sejumlah partai, di antaranya adalah PDIP, Hanura dan Gerindra.
Menanggapi fenomena tentang majunya anak dan menantu Presiden RI dan Wakil Presiden RI di pilkada 2020 dikaitkan dengan isue dinasti politik, eks Menteri Negara Riset dan Teknologi di era reformasi Prof AS Hikam mengatakan bahwa hal ini tidak sesuai dengan amanat reformasi.
Untuk, lanjutnya lagi, perkembangan peniddikan politik dan penguatan sistem demokrasi, praktik demikian sangat merugikan.
" Politik dinasti bagi saya melanggar etik tersebut, dan bahkan salah satu amanat reformasi adalah menghilangkan nepotisme dan kolusi, termasuk dalam hal politik itu," terang Prof AS Hikam saat dimintai pendapatnya oleh Pemimpin Redaksi indonews.id Asri Hadi di Jakarta, Jumat (6/3/2020).
Menurutnya, kalau hanya dilihat dari satu aspek, yakni legal formal, orang bisa berargumen bahwa hal tersebut merupakan hak asasi masing-masing warganegara .
"Tetapi dalam kehidupan bermasyarakat dan khususnya berdemokrasi, ada aspek etika yang juga dijadikan sebagai salah satu dasar," jelasnya lagi.
" Politik dinasti bagi saya melanggar etik tersebut, dan bahkan salah satu amanat reformasi adalah menghilangkan nepotisme dan kolusi, termasuk dalam hal politik itu."imbuhnya.
Ditambahkannya, jika argumentasi di atas dipakai sebagai dasar, maka isu terkait majunya anak dan menantu Presiden dan Wapres sejatinya secara etika berdemokrasi perlu dipertanyakan legitimasinya.
" Selain akan membuka peluang tudingan politik dinasti, juga akan berpotensi dituding aji mumpung. Bisa saja secara individual anak dan menantu itu punya kualifikasi utk menjadi Bupati, Walkot, Gubernur, dll, tetapi secara etiks berdemokrasi akan dipertanyakan legitimasinya," pungkas Prof AS Hikam. (Lka)